Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Tarian Kelopak Rindu
Tarian Kelopak Rindu
Tarian Kelopak Rindu
eBook112 halaman1 jam

Tarian Kelopak Rindu

Penilaian: 2.5 dari 5 bintang

2.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Sebuah novel tentang benturan dua sudut pandang syariat dan hakikat, siapa yang paling benar dan terselamatkan. Novel ini memberikan gambaran tentang betapa ngerinya sebuah penghakiman.

Kisah Tuan Guru Fikri, yang lebih cenderung kepada penghayatan hakikat yang tak terpahami oleh nalar orang awal yang cenderung kepada pendalaman syariat, hingga terjadi gesekan konflik berdarah dengan masyarakatnya. Puncaknya saat perkawinannya dengan Maryam yang dalam lanskap normatif adat adalah cinta tabu dan terlarang, Fikri dan Maryam harus menebusnya dengan kematian yang tragis.

Membaca novel ini akan membongkar kedangkalan-kedangkalan kita dalam menilai kehidupan orang lain.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis23 Jun 2021
ISBN9786026581761
Tarian Kelopak Rindu
Penulis

Hendrawansyah

Hendrawansyah. Lahir di Takalar Sulawesi Selatan sepertiga abad yang lalu. Mulai mengenyam pendidikan dari SD hingga Perguruan Tingi di yayasan Muhammadiyah. Melanjutkan studi SI & S2 jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar. Tumbuh sebagai Kader muda Muhammadiyah, menjadikannya akrab dengan gagasan-gagasan islam progresif.Ia gandrung pada buku-buku pemikiran Islam, Filsafat, Tasawuf, dan Sastra. Baginya buku adalah sumber penjelajahan ide dan muara masa depan kemajuan peradaban. Kini konsentrasi kesibukannya selain menulis, adalah sebagai seorang pendidik. Buku yang sudah ditulisnya Kuncup: sebuah Novel Romantisme Filosofis, Novel Pucuk: Sebuah Novel Sufistik dan Paradoks Budaya Tinjaun Struktrualisme Genetik. Bisa bertukar kabar dengan penulis via email hendrawansyah.saung21@gmail.com

Terkait dengan Tarian Kelopak Rindu

E-book terkait

Kategori terkait

Ulasan untuk Tarian Kelopak Rindu

Penilaian: 2.5 dari 5 bintang
2.5/5

2 rating1 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 4 dari 5 bintang
    4/5
    Saya baru selesai membaca bab 1. Penulisannya tidak menggurui walau akan memberikan bayangan tentang Murid dari Wali Allah yang sesungguhnya tentang bagaimana Guru yang memiliki berkahNya akan menarik muridnya kembali melanjutkan hidupnya yang seharusnya...semoga tetap pada rangka yang benar bab-bab selanjutnya. Bacaan untukmu yang sudah berTarekat. Bismillah

Pratinjau buku

Tarian Kelopak Rindu - Hendrawansyah

Hendrawansyah

Penerbit Garudhawaca

Tarian Kelopak Rindu

Hendrawansyah

Penyunting: Jalu Sentanu

Desain sampul: Jalu Sentanu

ISBN 978-602-6581-76-1

Terbit Mei 2019

Penerbit Garudhawaca

Yogyakarta

https://penerbitgarudhawaca.com

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang RI

Pastikan Anda mendapatkan buku ini melalui cara-cara yang shalih dan tidak melukai. Selalu belilah buku/ebook garudhawaca dengan cara-cara yang jujur. Anda tidak diperkenankan meng-copy dan kemudian menyebarkan materi ebook ini kepada orang lain.

~*~

Kupersembahkan Karya ini pada matahari hidupku,

insan yang selalu tulus mendekapku dalam segala musim, Ayahnda Hasnuddin Dg. Rowa dan

Ibunda Mutiara Dg. Intang

Tarian Kelopak Rindu (Title)

Bagian 1

Bagian 2

Bagian 3

Bagian 4

Bagian 5

Bagian 6

Bagian 7

Bagian 8

Bagian 9

Penulis

Bagian 1

Penakluk Jiwa

Kembalilah pada kesejatianmu. Karena jauh di kedalamanmu akan kau temukan jalan menuju Yang tercinta.

(Rumi)

Malam terakhir keluarnya ia dari kepompong kealpaan, Fikri bertemu dengan pak Syahrir dalam sebuah mimpi yang paling berkesan. Mimpi itulah titik kulminatif dalam dirinya, di antara pusara-pusara yang ia jagai, saat malam paling kelam, ia didatangi penampakan wujud sang guru pembimbing ruhaniyahnya yang telah lama tiada itu.

Bangunlah Fikri! Jangan kaulelapkan hatimu dan kesadaranmu. Engkau tidak boleh berhenti di sini, terus berjarak dengan dunia. Tataplah cahaya yang akan menuntunmu pada kebahagian hakikat, keluarlah dari tempurung dunia yang menyesatkan pikiranmu, nyalakan spiritual fitrah yang masih berkedip dalam bilik qalbumu. Jubah sucimu harus kau kenakan membawa pijar pada orang-orang yang membutuhkan cahaya. Bangunlah! Kau punya tugas mulia. Jangan kau lelap terus dalam kubangan ilusif, kau harus sembuhkan orang-orang yang sedang sakit ruhaniyahnya. Sembuhkan mereka Fikri, sembuhkan!

Di tengah malam saat langit kehilangan bintang, Fikri terbangun dengan keringat bercucuran laiknya ia telah mandi api. Nafasnya tersentak-sentak seakan ia baru saja lari terbirit–birit dikejar sesuatu yang menakutkan. Ia menggigil, tubuhnya terasa panas. Ia rasakan dalam tempurung kepalanya ada yang mendidih. Langit bergemuruh diikuti tarian kilat yang seperti lemparan anak panah api. Kilat itu meronta-ronta tepat di atas di mana ia duduk terpaku. Fikri mulai membaca pertanda alam itu yang tak mengizinkannya lagi berbetah diri bersunyi di pemakaman itu. Ia harus beranjak, beranjak seperti pesan gurunya dalam mimpi agar ia menjadi sang penyembuh, sang tabib ruhani. Itulah malam kontemplasi terakhirnya, malam yang telah melahirkannya kembali menjadi bayi manusia.

Sekali-kali berhentikan langkahnya memandangi raut muka wajah-wajah orang yang ditemuinya. Ia melempar senyumnya, namun tak seorang pun membalas. Orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan ketus tiada gurat keramahan. Ia juga begitu heran perubahan-perubahan sifat pada orang-orang itu. Oh mungkin, mereka masih mengira dirinya masih sesat akal. Ia terus mengayunkan langkahnya mengikuti saja irama hati, masygul beritme rona pujian pada Tuhan. Ia menghirup dalam-dalam udara dan menampungnya dalam rongga dadanya. Saat itu pula jantungnya berdegup-degup nada zikir. Ia terus melangkah ke arah selatan di sepanjang jalan perkampungan itu.

Di setiap tempat-tempat yang dilaluinya, berpasang mata selalu terpatri tertuju kepadanya, melirik diikuti gerak bibir membincang penampakan dirinya. Ia mengerti dirinya dulu adalah seorang gelandangan yang telah bertahun-tahun tinggal berumah di pekuburan. Sudah lama ia tidak pernah muncul membaur. Semua orang telah mengenalnya sebagai sosok petapa yang kesehariannya mengucil diri di sekitar hutan perkampungan itu. Lelaki yang hanya bermain-main dalam sunyi, tertawa dan menangis kadang bersajak penuh rindu. Ia lebih memilih berkabung dalam keterasingan, meratap enggan membagi dukanya. Karena baginya serpihan-serpihan kesedihannya tak bisa dipahami seorang pun. Memang kadang manusia tiada mau lagi saling membagi, karena memang sudah jadi tabiat manusia untuk lebih mencari senangnya sendiri. Lukamu adalah lukamu sendiri, demikian prinsip di zaman yang menjunjung prinsip individualisme.

Senja yang mulai beranjak maghrib, ia terus berjalan di jalan perkampungan itu, dengan pakaiannya yang serba putih dengan sorban serta janggut yang begitu rapi dan biji tasbih yang senantiasa berputar berulang-ulang di tangan kanannya. Sudah dua puluh tahun silam ketika penampakannya selalu kumal, kali ini ia terlihat dengan penampilannya yang drastis berubah. Rambutnya yang acak-acakan dan pakaiannya yang compang-camping selalu mengundang tawa dan cemoohan kala ia berjalan. Kini ia telah jauh berbeda. Sepanjang langkahnya semua mata orang-orang tertuju kepadanya. Namun ia hanya terus melangkah, berjalan dengan tenangnya. Ia tiada peduli dan tak menghiraukan lagi segala yang dilaluinya. Ia tampak tenang. Keteduhan tampak di wajahnya yang beraura kharismatik. Sepanjang ayunan langkahnya nafas dan zikirnya seirama, ritme nafasnya berias asma Allah, Allah, Allah.

Apa itu Fikri? Warga yang sedang duduk di teras rumahnya bertanya. Iya betul, itu Fikri! Sahut salah satu warga yang ditanya itu. Mereka penasaran dengan sosok yang kini dilihatnya, sosok yang dulunya dikenal si gelandangan yang kusam, manusia yang terkucil, manusia yang dulu tidak punya harga itu. Mengapa ada manusia dianggap berharga? Mengapa ada manusia dipandang rendah? Fikri sadar dalam dirinya, predikat itu bukan warisan biologis, tapi bentukan paradigma sosial. Akh, ia tampik rasa itu yang sempat mencuat terlintas di batok kesadarannya.

Waktu maghrib kian mulai beranjak, semesta mulai dikurung senja merah yang menjejal ufuk barat. Anak-anak dan para pemuda kampung itu masih saja bergeming, asyik duduk bercengkrama di area lapangan di tengah perkampungan itu. Mereka hanyut dalam kesibukannya bercanda ria. Muda-mudi itu asyik bercakap dengan yang lainnya. Betapa senangnya mereka.

Di suasana waktu maghrib itu tidak ada lagi adzan berkumandang. Mati sunyi, bisu membeku dalam dada manusia. Hanya tawa dan canda-canda itu yang paling meriah, semeriah suara burung-burung gereja yang begitu riuh mulai sibuk beterbangan pulang ke dahan-dahan pohon rindang di pinggir jalan, hendak mencari tempat mendengkur karena gelap kelam mulai datang. Suara siul burung-burung itu membingkai senja memelodikan sembah titah rindu pada Tuhan. Bangsa burung yang hanya memiliki daya jiwa yang natural temporal, yang tiada punya beban takhlifi, tapi lebih mengerti makrifat.

Kini segalanya serba berubah di kampung itu. Tidak seperti dulu lagi, kala para tokoh-tokoh agama mereka masih hidup. Adat digenggam, syari’at dijunjung, menyatu dalam segala nafas dan gerak. Namun kini kesalehan itu tinggal simbolnya, maknanya telah luntur dan yang dijunjung adalah perlambangan-perlambangan luarnya. Orang tak lagi mementingkan makna, yang ditawajjuhi adalah kesenangan, kesenangan yang temporal. Lihatlah tawa-tawa mereka, tiadapun mengekspresikan kegundahan dan kegelisahan eksistensial.

Kampung religius yang telah menjadi indentitas kini mulai sepi dari suara manusia melantunkan ayat-ayat Tuhan. Masjid yang megah yang berada di perempatan jalan kini nampak bisu. Pintu dan jendela Masjid itu terlihat murung dalam kekokohannya. Catnya telah mengelupas, dindingnya telah hitam kebiruan dijamuri lumut. Masjid itu sudah lama menunggu tamu-tamu Tuhan yang rindu pada kehidupan yang lebih esensi. Namun tetap saja jiwa-jiwa manusia tak tersentuh, tiada lagi getar pada resapan makna. Masjid itu telah buram aura kesakralannya seburam wajahnya yang tak nampak sebagai rumah suci.

Di depan gerbang masjid itu, Fikri lama mematung memandangi rumah suci yang kini telah sepi. Pintu rumah Tuhan itu masih tertutup. Fikri mulai ragu, apakah mungkin tidak ada lagi orang yang tertarik hatinya untuk bersimpuh

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1