Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Perempuan Bergaun Kafan
Perempuan Bergaun Kafan
Perempuan Bergaun Kafan
eBook165 halaman2 jam

Perempuan Bergaun Kafan

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Rengganis gadis kota yang berprofesi sebagai jurnalis tidak sengaja mengalami kejadian yang mengerikan. Ia nyaris menjadi korban perkosaan saat kemalaman meliput di suatu desa. Beruntung Rengganis bertemu nenek tua di sebuah gubuk. Nenek itu mengetahui bahwa Rengganis memiliki aji pemikat yang membuat setiap laki-laki ingin tidur dengannya, meski gadis itu tidak menyadari. Nenek tua itu juga memberi sebuah kain mori putih dan memakaikannya pada Rengganis.

 

Sejak saat itu tanpa di sadari setiap kali marah atau merasa terancam, ia bisa melukai bahkan membunuh hanya dengan kekuatan pikirannya. Kelebihan Rengganis diketahui oleh Anggara, detektif swasta yang memiliki banyak musuh karena selalu menolak konspirasi, pungli atau suap dalam mengungkap kasus kejahatan. Bersama dengan Anggara mereka banyak mengungkap kasus kejahatan dengan kekuatan pikiran yang dimiliki Rengganis.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitPIMEDIA
Tanggal rilis29 Jun 2023
ISBN9786236488102
Perempuan Bergaun Kafan

Baca buku lainnya dari Tari Abdullah

Terkait dengan Perempuan Bergaun Kafan

E-book terkait

Fiksi Umum untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk Perempuan Bergaun Kafan

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Perempuan Bergaun Kafan - Tari Abdullah

    Prakata

    Rengganis gadis kota yang berprofesi sebagai jurnalis tidak sengaja mengalami kejadian yang mengerikan. Ia nyaris menjadi korban perkosaan saat kemalaman meliput di suatu desa.

    Beruntung Rengganis bertemu nenek tua di sebuah gubuk. Nenek itu mengetahui bahwa Rengganis memiliki aji pemikat yang membuat setiap laki-laki ingin tidur dengannya, meski gadis itu tidak menyadari.

    Nenek tua itu juga memberi sebuah kain mori putih dan memakaikannya pada Rengganis. Sejak saat itu tanpa di sadari setiap kali marah atau merasa terancam, ia bisa melukai bahkan membunuh hanya dengan kekuatan pikirannya.

    Kelebihan Rengganis diketahui oleh Anggara, detektif swasta yang memiliki banyak musuh karena selalu menolak konspirasi, pungli atau suap dalam mengungkap kasus kejahatan.

    Bersama dengan Anggara mereka banyak mengungkap kasus kejahatan dengan kekuatan pikiran yang dimiliki Rengganis.

    Namun, masalah timbul ketika sedang mengungkap kasus mafia trafficking internasional, ternyata bos mafia itu adalah ayahnya sendiri.

    Rengganis berada pada pilihan yang sulit, di satu sisi dia tidak dapat menghentikan kekuatan pikirannya yang seringkali muncul spontan saat bertemu dengan orang jahat, dan saat itulah dia menyadari kekuatan pikirannya yang spontan telah membuat ayahnya celaka.

    Dalam kebingungannya, Rengganis mendapat bisikan agar melepas kain mori putih yang sering dikalungkan ke lehernya dan mengembalikan pada nenek tua yang memberinya. Rengganis ingin kekuatannya hilang dan hidup kembali normal.

    Masalah makin rumit ketika Rengganis tidak bisa menemukan Nenek tua itu dan semakin berusaha untuk mengendalikan kekuatan pikiran, justru makin banyak korban yang celaka.

    Daftar Isi

    Prakata

    Daftar Isi

    1. Malam Berdarah (1)

    2. Malam Berdarah (2)

    3. Arena Balap

    4. Sudut Lain Arena Balap

    5. Ketika Setia Ternoda (1)

    6. Ketika Setia Ternoda (2)

    7. Penawaran

    8. Mawar Hitam (1)

    9. Mawar Hitam (2)

    10. Menembus Jaringan Terlarang

    11. Kolaborasi

    12. Penyergapan

    13. Kemenangan Kecil

    14. Pengintaian

    15. Pengejaran

    16. Kebenaran Yang Tersamarkan

    17. Mengalihkan Perhatian

    18. Melanjutkan Tugas

    19. Menguping

    20. Sindikat

    21. Di Penyeberangan

    22. Eksekusi

    23. Sisi Lain

    24. Reuni Kecil

    25. Dari Sebuah Operasi

    26. Simalakama

    27. Kakek Misterius

    28. Tentang Papa

    29. Kenyataan Pahit

    30. Titik Balik

    Tentang Penulis

    1. Malam Berdarah (1)

    Rengganis menatap tidak percaya pada dua sosok yang berlumur darah di hadapannya. Pikiran mendadak absurd, rasa bersalah menggusur emosi. Perempuan cantik itu amat terpukul menyadari dirinya telah membunuh laki-laki yang hendak mencelakainya, meski tanpa menyentuh dengan alat apapun. Amarah dan benci yang meledak-ledak telah melahirkan imajinasi brutal, menyebabkan dua orang pengejarnya mati dengan beberapa luka tusukan, sama seperti yang ia pikirkan semalam.

    ***

    Tunggu ...! Seseorang dengan napas terengah-engah berusaha mengejar. Tak ada pilihan karena tak mungkin terus berlari dalam situasi seperti ini. Mata perempuan itu tertuju pada sebuah gubuk dengan lampu remang dari sentir. Ia mengarahkan langkah ke sana, setidaknya akan aman untuk sesaat.

    Gubuk reyot terbuat dari anyaman bambu itu tampaknya tak terkunci. Rengganis mencoba masuk, gelap ... hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang sumbunya hampir habis. Diedarkan pandangan, sepi seolah tak berpenghuni, lalu menuju ke belakang, asap tipis mengepul dari tungku tanda api belum lama padam. Namun, di mana gerangan penghuninya, ia menghampiri gentong besar di sudut, menunduk di belakang tempat air yang terbuat dari tanah liat, berharap jika mereka mengejar hingga tempat itu tak dapat menemukannya.

    Suara pintu dibuka kasar, terdengar langkah dua pasang kaki memasuki gubuk. Perempuan bertubuh mungil itu makin pucat ketakutan, cuma pasrah dengan bibir gemetar dan lutut lemas bagai tak bertulang merapal doa yang ia bisa.

    Suara kaki makin mendekat, keringat dingin membanjiri punggung yang hanya mengenakan kaos.

    Bangsat, ke mana perempuan itu! umpat laki-laki berwajah brewok.

    Awas kalo ketemu! sahut seorang yang berkepala botak.

    Rengganis memicingkan mata, berusaha melihat dengan jelas wajah kedua laki-laki yang mengejarnya. Mereka mengobrak abrik apa saja yang ditemui sambil terus mengeluarkan makian dan umpatan.

    Aaarghh! Lampu padam bersama suara erangan laki-laki brewok, rupanya seekor kucing meloncat dan mendarat tepat di kepalanya, hingga tangannya reflek menyenggol sentir.

    Toro! teriak laki-laki berewok. Hening tak ada jawaban.

    Toro ... ah, erangnya, kakinya menabrak gentong. Rengganis terpekik, menutup mulut, menahan napas takut ketahuan, menggenggam sesuatu yang siap dilempar jika keadaan darurat. Tiba-tiba sebuah benda jatuh tepat mengenai mata laki-laki berwajah sangar tersebut.

    Ah ... bangsat, opo maneh iki, lolongnya berlari tak tentu arah dalam gelap. Beruntung malam berhias rembulan menjadi penerang di pinggir hutan.

    Jo, syukur kamu selamat. Laki-laki berkepala botak yang ternyata lebih dulu keluar menyambut temannya lega.

    Lho ... lho, kamu kenapa, Jo? tanya si Botak heran melihat temannya melolong sambil menutup matanya dengan tangan

    Ndak tahu, Ro. Ada yang melempar abu panas. Ayo minggat, Ro! Omahe ono demite.

    Demit ... tenane, Jo?

    Terus perempuan itu gimana?

    Hahhh! Laki-laki berewok itu menggeram marah lalu berlari menjauh diikuti temannya.

    Waduh, batal pesta kalo gini ceritanya.

    Perempuan itu masih menunduk dengan wajah pucat, memastikan keadaan benar-benar aman. Hening ... tampaknya kedua laki-laki itu telah benar-benar pergi. Ia beringsut perlahan, memandang awas sekeliling.

    Tiba-tiba jantungnya serasa melompat dari tempatnya ketika menatap seorang perempuan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Melihatnya terkejut, perempuan itu tertawa terkekeh dengan laungan panjang. Rambutnya yang hampir semua memutih terurai lepas menutup hampir separuh wajahnya yang keriput, kain panjangnya dinaikkan selutut dan sehelai mori putih seperti kafan melingkar di tubuhnya yang setengah bungkuk dimakan usia.

    Maaf, Nek. Tadi saya masuk enggak permisi, ujar Rengganis terbata setelah sedikit menetralkan perasaan.

    Hmm .... Perempuan tua itu berdehem, lalu kembali tertawa panjang. Genggem sukmo, ujarnya di sela tawanya, menepuk-nepuk pundak Rengganis yang menatap tak mengerti

    Maksud Nenek?

    Perempuan yang diduga berusia hampir seratus tahun itu berjalan terbungkuk-bungkuk, menyalakan sentir yang mati lalu duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu. Rengganis mendekat ragu, ikut duduk di sampingnya, memperhatikan perempuan tua itu meracik daun sirih yang ditambahkan kapur, gambir dan pinang. Lalu dikunyah dengan nikmat.

    Jangan keluar malam sendirian, kamu itu punya aji genggem sukmo, siapa saja laki-laki yang melihatmu pasti langsung kepincut pengin tidur sama kamu, ucapnya lagi sambil meludahkan kunyahan sirihnya, yang berwarna merah darah ke dalam tempayan. Perempuan bertubuh mungil itu menatap tak mengerti, bingung apa yang dimaksud.

    Aji genggem sukmo ... ajian untuk apa? Perempuan yang berasal dari kota itu bahkan tidak tahu apa maksudnya. 'Perempuan aneh,' batinnya sekali lagi. Rengganis berniat untuk pulang, banyak hal yang tak dimengerti di sini.

    Jangan pergi! hardik perempuan tua itu, berdiri dari duduknya, lalu melangkah menuju pintu yang terbuat dari bambu disusun. Diambilnya sebilah bambu berukuran satu meter dengan diameter sepuluh senti lalu dipasangkan melintang pada pintu. Rengganis bergeming, menatap nanar ... bingung, bagaimana perempuan tua itu tahu kalau dirinya berniat pulang, bahkan sebelum berucap.

    Mereka belum jauh, dua bandot itu bisa menangkapmu kalau kamu keluar, ujarnya. Rengganis bergidik ngeri membayang jika harus bertemu dengan dua laki-laki yang haus birahi tadi, tapi lagi-lagi perempuan cantik itu tak mengerti dari mana perempuan tua itu tahu.

    Tinggallah di sini sampe terbit fajar. Kamu bisa tidur di bale.

    Rengganis hanya mengangguk mengikuti langkah Nenek tersebut, kalau boleh menaksir umurnya mungkin sekitar 90 tahun bahkan lebih, tapi giginya masih utuh berwarna merah kehitaman akibat mengunyah sirih. 'Nenek yang aneh,' cuma membatin yang bisa dilakukan Rengganis.

    2. Malam Berdarah (2)

    Malam kian larut, temaram pepohonan ditimpa sinar bulan membuat suasana semakin seram. Suara burung hantu yang tak henti bernyanyi makin menambah kesan mistis. Rengganis tak dapat memejamkan mata barang sedetik pun. Pikirannya masih berkelana pada peristiwa yang hampir merenggut kehormatannya tadi sore.

    ***

    Hari ini kegiatan memang cukup berat. Lokasi baksos jauh dari kecamatan, dan kebetulan jurnalis itu mendapat tugas meliput wilayah di Desa Klitik yang berbatasan dengan hutan. Terlalu asyik dengan kegiatan dan berbincang dengan warga setempat membuatnya lupa waktu. Magrib telah lewat. Dan sialnya ponsel mati kehabisan baterai hingga tak bisa menghubungi teman-temannya.

    Jalanan desa yang sepi membuatnya kehilangan arah. Rengganis hanya meraba-raba mengikuti kata hati untuk bisa keluar dari desa yang jauh dari keramaian. Bahkan rumah penduduk pun hanya beberapa yang menyala, selebihnya bagai kampung mati tak berpenghuni.

    Tiba-tiba, seseorang membekap mulutnya dari belakang, reflek ia memberontak ... sialnya tenaga laki-laki brewok itu sangat kuat, seorang lagi tertawa terkekeh-kekeh mengelus kepalanya yang botak.

    Lumayan, Jo. Kita bisa pesta.

    Perawan iki ketoke, joss tenan, timpal si brewok.

    Rezeki ndak ke mana, wes suwe pengen madon ... eh, ndilalah ono perawan kesasar.

    Ayo, Jo! Sikat ojo kesuwen.

    Kedua bandot itu menyeret tubuh mungil Rengganis menuju semak-semak, perempuan cantik itu mulai putus asa, tenaganya hampir habis berusaha memberontak, kini tangan-tangan harimau lapar itu mulai mencabik kaos yang ia kenakan, satunya lagi berusaha melepas jeans yang ketat membalut kakinya. Kesulitan membuka celana dengan gesper sabuk ala tentara itu membuat pegangan si brewok longgar. Tak mau menyiakan kesempatan itu, Rengganis menjejakkan kaki kuat-kuat di atas kaki laki-laki brewok hingga mengerang kesakitan, memegangi kakinya. Selanjutnya mengarahkan tendangan tepat mengenai selangkangan si botak yang membuatnya jatuh terjengkang, kesempatan untuk berlari sekuat tenaga. Syukurlah gubuk tua itu menyelamatkan, tapi membayangkan apa yang terjadi pikiran

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1