Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Bintang Kejora
Bintang Kejora
Bintang Kejora
eBook173 halaman1 jam

Bintang Kejora

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Dua orang gadis titisan Bintang Jatuh dan Bintang Kejora yang dibuang oleh Raja Langit ke bumi yang berupaya untuk kembali ke Kerajaan Langit dengan cara mengisi penuh liontin mereka dengan kebahagiaan dan keceriaan. Dengan kilau liontin itulah mereka bisa kembali ke Kerajaan Langit.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitPIMEDIA
Tanggal rilis2 Mei 2022
ISBN9786236488126
Bintang Kejora

Terkait dengan Bintang Kejora

E-book terkait

Ulasan untuk Bintang Kejora

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Bintang Kejora - Fredeswinda Wulandari

    Kata Pengantar

    Punya novel di tahun 2021 adalah harapan yang sungguh diidamkan. Berawal dari satu cerpen yang berjudul Pada Suatu Ketika di Kerajaan Langit, imajinasi penulis berkelana membayangkan pasti akan sangat menyenangkan bila itu menjadi prolog sebuah novel. Puji Syukur ke hadirat Tuhan ternyata semesta mendukung.

    Bergabung dengan BBS (Belajar Bareng Sari) yang kemudian atas saran dari Mak Sari Aryanto dimasukkan dalam Grup Menulis Mengarang Bebas (Sekarang menjadi Real Authors Society) yang mengadakan event 30 hari Mengarang Novel dengan cara posting di grup minimal 500 kata per hari. Hanya berbekal kemantapan dan niat hati untuk mencoba hal baru di tahun yang baru. Tempaan, kritik, dan saran dari Bang Ikhwanul Halim, Mbak Nisrina, dan Mas Ahmad Bay Maulana sungguh membuka wawasan baru dalam dunia kepenulisan yang baru saja dipijak penulis. Hal ini juga merupakan tantangan yang luar biasa karena kesibukan di dunia nyata yang terkadang menyita waktu. Kembali syukur yang bisa dihaturkan kepada Tuhan karena dalam event tersebut bisa menamatkan satu novel berjudul Bintang Kejora ini.

    Terima kasih kepada Pimedia dan tim yang memberikan penulis kesempatan untuk mengkhayal dan mewujudkan mimpi. Terima kasih juga atas kesabaran dalam menunggu penyelesaian naskah yang pada awalnya setengah matang. Semoga novel ini sudah well done dan siap dinikmati para pembaca.

    Cerita ini adalah bagian dari imajinasi. Ambil yang positif, buang yang negatif, dan semoga menginspirasi untuk selalu berbuat baik kepada semua orang. Semoga buku ini bermanfaat dan tidak berhenti sampai di sini.

    Tuhan memberkati

    Fredeswinda Wulandari

    Daftar Isi

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Prolog

    1. Tangis Bayi Tak Bertuan

    2. Surat Misterius

    3. Hidup Ini Indah

    4. Rezeki Bertubi

    5. Tamu Tak Diundang

    6. Tamu Lagi!

    7. Yang Tak Terelakkan

    8. Kehidupan Menyenangkan

    9. Keinginan Terkabulkan

    10. COD yang Gagal

    11. Mimpi Mencekam

    12. Jerit Tengah Malam

    13. Pertemuan Terencana

    14. Semesta Memanggil

    15. Rahasia Liontin

    16. Para Ibu Menyelidik

    17. Persiapan Jumat Berkah

    18. Liontinnya Hilang!

    19. Pencarian tak Berujung

    20. Di Rumah Singgah

    21. Lemas Mendera

    22. Toh Penanda

    23. Perjuangan Mendebarkan

    24. Pertanda

    25. Akhirnya

    Epilog

    Tentang Penulis

    Prolog

    Kala itu, ketika Galaksi Bimasakti sedang berbahagia memperlihatkan kelip benda langit yang memantulkan cahaya yang didapat dari matahari. Di balairung langit, tempat para petinggi angkasa berkumpul. Tujuh pilarnya membumbung tinggi terbuat dari marmer sewarna air jernih mengalir. Di setiap pilarnya terukir kisah penciptaan yang legendaris. Dindingnya berwarna emas berkilau berhiaskan lukisan kisah hidup manusia dari jaman ke jaman. Tahta berdiri angkuh. Meja berukuran besar berada di hadapan tahta itu dikelilingi kursi-kursi empuk terbalut sutra lembut. Atapnya berbentuk kubah melengkung sewarna langit yang terkadang berubah sesuai dengan situasi yang ada.

    Raja Kerajaan Angkasa Raya, Baginda Bagaskara mengadakan pertemuan terbatas dengan para panglima dari empat penjuru mata angin saat ini. Mereka tertunduk dalam-dalam dihantam tatapan murka sang Raja. Tempat duduk lingkaran yang digunakan sudah ditata sedemikian rupa sehingga Sang Baginda Raja tampak berkilau lebih dari yang lainnya.

    Panglima Bintang Timur, aku mendengar bahwa ada gejolak di bawah pimpinanmu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa kerjamu selama ini, ha? bentaknya.

    Maaf, Baginda. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Para Bintang Kejora menuntut upah lebih dari biasanya dengan alasan mereka selalu disebut dalam lagu yang dinyanyikan oleh anak di seluruh dunia. Mereka rasa anak-anak senang dan bersemangat, dan juga bahagia berkat kehadirannya.

    Membuat anak-anak senang dan gembira, ya? Sok penting mereka itu! Sejak kapan Bintang Kejora bertarif? Apa kelebihannya dibanding dengan aku? Aku ini penguasa langit. Enak saja mereka ingin upah lebih. Baru disebut namanya sudah melonjak, apalagi kalau mereka sudah merasa dibutuhkan seperti aku. Mereka pasti meminta yang lebih aneh lagi.

    Baginda Bagaskara merasa tak terima jika ada sesuatu yang mengalihkan perhatian manusia dari dirinya. Dialah tokoh sentral di semua aspek kehidupan! Tak ada yang lain. Sedari kecil ia selalu mendapat semua perhatian dan kasih sayang dari semua kalangan. Jadi, saat inipun tak ada yang bisa mengubah kenyataan yang bertahun-tahun terpampang nyata, apalagi ini hanya karena bintang-bintang kecil tak penting.

    Keempat panglima tertunduk lebih dalam tak berani buka suara. Semenit kemudian Sang Baginda membuka suara kembali.

    Panglima Bintang Barat, kurasa tidak ada masalah yang berarti dari daerah teritorialmu?

    Maaf, Baginda. Sebenarnya … ada, katanya agak tersendat.

    Apa? Baginda Bagaskara bangkit berdiri seketika. Apa yang terjadi, ha?

    Hmmm … anu, Baginda. Hmmm …, jawab Panglima Bintang Barat ragu.

    Halaaah … lama. Panglima kok plegak-pleguk nggak jelas. Katakan dengan lantang apa masalahnya. Cepaaat!

    Bintang jatuh, Baginda.

    Kenapa mereka?

    Mereka juga minta tambahan upah karena tanpa mereka manusia akan merasa hampa tak berdaya tanpa harapan. Manusia selalu mengucapkan doa dan keinginan ketika ada bintang jatuh. Mereka merasa manusia mampu bertahan dalam penderitaan dan cobaan hidup karena adanya mereka. Jadi mereka merasa lebih penting dari ….

    Kenapa terdiam? Bintang Jatuh lebih merasa penting dari aku, ya? Baginda Bagaskara. Hah! Bintang Jatuh tidak ada apa-apanya dibanding denganku. Manusia banyak meminta dari mereka, katanya. Sombong sekali!

    Baginda Bagaskara tak henti-hentinya mengumpat untuk mencurahkan kemarahan dan kejengkelannya.

    Panglima Bintang Utara dan Selatan, kalian tak perlu laporan. Aku yakin kalian hanya membawa permasalahan di sini. Dasar kalian ini!

    Braaak!

    Baginda Bagaskara menggebrak meja balairung sekuat tenaga. Untung saja, meja balairung terbuat dari baja tahan uji sehingga tidak sampai terbelah dua. Baginda Bagaskara mencoba menyembunyikan nyeri tangan yang menjalar sampai ke ubun-ubun akibatnya ulahnya sendiri itu. Keempat Panglima tentu saja tidak melihat kejadian itu karena mereka terlalu takut bahkan untuk menggaruk rambut mereka yang gerah tertimpa sinar Sang Baginda.

    Bintang Kejora dan Bintang Jatuh itu hanya bintang kecil di bentangan angkasa tak bertepi. Mereka tak ada artinya tanpa aku. Tanpa sinarku yang cemerlang, mereka mau jadi apa? Mereka hanya akan jadi bintang mati! Tidak bersinar lucu dan berkelap-kelip indah seperti yang manusia pandang dari bumi. Tanpa cahayaku yang benderang, mereka mau bagaimana? Memantulkan ruang hampa? Bisa? Hah!

    Baginda Bagaskara berjalan melintasi balairung lalu kembali lagi, dan dia melakukannya berulang-ulang sambil mencari cara meredam kedua jenis bintang yang menurutnya sudah bertindak kelewatan.

    Atau perlu mereka kukirim ke galaksi lain yang lebih suram supaya mereka tidak merasa angkuh? Apa mereka perlu kuleburkan dalam panas membara yang keluar dari intiku? Apa mereka perlu kuhancurkan dengan lidah-lidah apiku? Atau aku hanya perlu menyampaikan kejadian ini pada Dia, Sang Empunya Alam Semesta? Ahhh … tentu saja. Aku akan membuat cerita, kuberi bumbu sebanyak-banyaknya, kupelintir realita hingga Dia percaya hanya kepadaku saja lalu memberi hukuman yang pantas untuk mereka berdua. Bagaimana menurut kalian?

    Ampun, Baginda. Kami tak berhak memberi pendapat dalam hal ini, jawab mereka serempak. Mereka sudah hafal akan perangai junjungan mereka yang memang pandai bersilat lidah di depan siapa saja.

    Hahahaha … bagus … bagus. Aku yakin kalian pasti setuju.

    Setuju atau tidak setuju, apakah ada artinya suara kami ini, bisik Panglima Bintang Selatan.

    Apa? Apa ada yang mengucapkan sesuatu? selidik Baginda Bagaskara.

    Tidak ada, Baginda, sahut mereka dengan hati mencelos. Sesungguhnya mereka mendengar apa yang dikatakan Panglima Bintang Selatan.

    Baiklah. Pertemuan ini selesai. Tunggu hasil dari diskusiku dengan Dia. Akan aku kabari secepatnya. Aku sudah tak tahan dengan mereka berdua, Bintang Kejora dan Bintang Jatuh ini.

    Para Panglima menjura dalam-dalam lalu berbalik. Mereka melangkahkan kaki bergegas ingin segera berlalu dari hadapan Baginda Bagaskara yang memuakkan. Dalam hitungan hari, mereka berempat mendengar kabar bahwa Bintang kejora dan Bintang Jatuh dibuang ke luar galaksi tak terdefinisi yang mereka tak tahu dimana. Mereka yakin ini hasil dari cara licik yang diambil Baginda Bagaskara untuk melenyapkan Bintang Kejora dan Bintang Jatuh. Mereka yakin dalam beberapa hari ini pula Baginda Bagaskara akan mengundang mereka untuk memberikan hasil lobi-lobi dengan Dia.

    Hari itu, keempat panglima dan Baginda Bagaskara kembali berkumpul di balairung langit.

    Para panglimaku. Dengar! Masalah Bintang Kejora dan Bintang Jatuh sudah selesai. Mereka sudah mendapatkan sanksi atas apa yang mereka perbuat. Mereka pikir mereka hebat? Tidak. Mereka rasa mereka penting? Tidak. Sekali lagi ... TIDAK. Dia tentu saja lebih percaya padaku dan menghukum mereka sesuai permintaanku. Bahkan Ratu Chandra tak bisa mengubah keputusan Dia untuk menyelidiki lebih lanjut. Ha ha ha ha ha! Biar mereka kapok! Seenaknya mempermainkan Baginda Bagaskara. Ha ha ha ha ha .... tawanya menggelegar memenuhi balairung langit.

    Para panglima hanya diam dan mengelus dada. Mereka mengasihani junjungan mereka yang tak pernah bisa berubah. Sifat angkuh dan sombong, juga kepandaian bersilat lidah yang membuat mereka bergidik ngeri. Tawa jahatnya tak henti-henti menggema, bukan hanya di balairung melainkan ke seluruh alam semesta.

    Sementara itu di seluruh alam semesta, kilat dan guntur menggelegar bergantian tak henti. Manusia bersembunyi dalam ketakutan. Timbul tanya yang tak ada jawabnya. Cuaca terang benderang tetapi banyak halilintar menghantam. Anak kecil menangis. Orang tua kebingungan hendak menghibur anaknya tetapi mereka tercekat ketika hendak menyanyikan lagu bintang kejora. Seolah kata itu tiada. Orang muda pun juga hilang harapan. Mereka menunggu bintang jatuh yang tak jua muncul. Mereka meringkuk dan membungkuk dalam kesedihan mendalam.

    Hidup menjadi suram dan tak ada harapan.

    1. Tangis Bayi Tak Bertuan

    Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Pagi itu matahari bersinar cerah. Sinar terangnya memberi kulit kesempatan untuk mengubah pro vitamin D menjadi vitamin D yang berguna untuk kesehatan tulang. Kecerahan yang kontras dengan hujan lebat semalam diiringi guntur dan halilintar yang membuat semua orang enggan melepaskan diri dari empuk kasur dan hangatnya selimut.

    Bu Gayatri berjalan pelahan melalui jalan raya yang setiap ia lewati ketika ia pergi berbelanja ke pasar untuk kebutuhan memasak setiap hari.

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1