Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa
9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa
9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa
eBook207 halaman2 jam

9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa

Penilaian: 2.5 dari 5 bintang

2.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Benarkah leluhur orang Minahasa itu datang dari Tiongkok? Benarkah leluhur Minahasa adalah penguasa Dinasti Han?

Buku ini mencoba menjawab pertanyaan itu, dengan menganalisa secara kritis buku karya pak Weliam H. Boseke, yang
mengklaim kalau penduduk Minahasa saat ini merupakan keturunan dari rombongan yang datang ketika terjadi kemelut di istana Kerajaan Han.

Buku ini mengulas dari berbagai aspek, seperti bahasa, kelayakan sumber acuan, soal marga, perbandingan adat istiadat dan temuan arkeologis.

Buku ini patut dibaca oleh Anda yang selama ini percaya bahwa orang Minahasa merupakan keturunan dari "keluarga kerajaan" di Tiongkok. Anda yang selama ini tak percaya dengan klaim itu, juga perlu membaca buku ini guna mendapatkan alasannya.

Untuk Anda yang masih bingung dan ragu-ragu apakah harus percaya atau tidak, buku ini juga bisa memberi jawaban.

Dan yang terutama, buku ini patut dibaca oleh Anda yang merasa bangga menjadi orang Minahasa...
 

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis13 Mar 2020
ISBN9781393015345
9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa

Baca buku lainnya dari Fary Sj Oroh

Penulis terkait

Terkait dengan 9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa

E-book terkait

Sejarah Asia untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk 9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa

Penilaian: 2.4 dari 5 bintang
2.5/5

5 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa - FARY SJ OROH

    Diterbitkan oleh

    Daun Ilalang Publishing

    Gambar sampul: Tonas dan Walian Minahasa sekitar tahun 1900 (dokumentasi KITLV)

    Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

    Dilarang mengutip atau memperbanyak

    sebagian atau seluruh isi buku ini

    tanpa izin tertulis dari Penerbit

    Ucapan Terima Kasih

    - Pertama dan yang terutama, Tuhan Yesus Kristus yang memberi nafas kehidupan, yang memberi kekuatan, juga beragam ide, sehingga buku ini bisa dibuat.

    - Bapak Weliam Boseke, yang telah bersusah payah melakukan penelitian dan menyusun buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa yang menjadi alasan utama sehingga buku ini bisa dibuat. Kalu pak Boseke nyanda beking tu buku itu, ta pe buku ini juga nyanda pernah mo ada...

    - Audy WMR Wuisang, orang pertama yang tahu tentang rencana pengadaan buku ini, yang menyediakan waktu untuk berdiskusi panjang lebar ketika buku ini masih dalam taraf embrio. Yang di tengah kesibukan sebagai Tenaga Ahli Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi KPK, masih bersedia meluangkan waktu menulis Pengantar untuk buku ini.

    - Dr Denni H. R Pinontoan, yang komentarnya di grup Facebook yang secara langsung memberi kekuatan serta keyakinan, bahwa saya ternyata tidak sendiri, terkait sikap pada buku yang ditulis pak Boseke. Yang di tengah kesibukan sebagai dosen, masih bisa menulis Pengantar untuk buku ini.

    - Senior Joppie Worek, yang semasa menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Telegraf, kerap membagi dan memberikan tips praktis tentang menulis. Salah satu tip yang diberikan waktu itu adalah: Menulislah dalam bahasa yang ringan dan mudah dipahami, tanpa mengurangi bobot dan substansi naskah. (Senior Joppie mungkin so lupa kalu dulu pernah bilang bagitu, mar Qt nda lupa. Karena nasehat itu yang sampe skarang ta se praktek dan jadi semacam Qt pe ciri khas dalam menulis...)

    - Teman-teman di grup Facebook Suara Rakyat Minahasa, baik yang tidak sepaham dengan tema buku ini, maupun yang mendukung. Banyak komentar dalam sejumlah posting di grup yang secara langsung dan tak langsung memacu saya untuk menulis lebih jernih dan lebih baik. (Qt da coba tulis di sini samua tu nama tamang-tamang di grup yang pernah terlibat diskusi deng Qt, mar ternyata kote pe banyak skali, kong somo makang tampa. Jadi tu nama nda jadi ditulis. Jang marah ne, hehehe)

    - Bro Bode Grey Talumewo, yang menghubungi via japri guna mengingatkan kekeliruan pada gambar draft cover buku. Juga atas blog-nya yang memberikan sejumlah informasi penting untuk melengkapi data di buku ini

    - Teman-teman di harian Metro: Bos Jemmy ‘Bugsy’ Saroinsong, bos Raymond Pasla, bos Agustinus Randang, Reynald Pangaila, Hence Poli, Lynvia Gunde, Fransiskus Talokon, Yoseph Ikanubun, Devie Bawotong dan teman lain yang namanya tak disebut, atas dukungannya selama ini...

    - Istriku Fione, dan ketiga malaekatku: Nathanael, Cyra dan Rael atas dukungan dan pengertiannya, selama buku ini dibuat

    - Orang tuaku, Hendrik L Oroh dan Susje Tumundo, dan mami Jeanne Wuwungan atas dukungan yang diberikan. Makase papi untuk masukan penting seputar sejumlah istilah dalam Bahasa Toulour dan Tontemboan

    - Adik-adikku Deiby-Jacky, Lucy-Ryan, Syulce-Huygens, dan sepupu Stayfie-Deifry, Herke-Trully atas dukungan dan doanya

    - Larry Page dan Sergey Brin, yang menciptakan Google, yang memudahkan saya mencari sejumlah informasi, termasuk sejumlah buku penting yang bisa diunduh secara gratis dan lengkap.

    - Jimmy Wales dan Larry Sanger, pendiri Wikipedia, yang menyediakan sejumlah informasi

    - Teman-teman dan saudara, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, yang memberikan dorongan dan dukungan demi terbitnya buku ini. Termasuk beberapa pihak yang bahkan sebelum buku ini dipublikasi, telah menawarkan untuk memfasilitasi Bedah Buku, termasuk yang menawarkan untuk mencetak

    - Semua rakyat dan masyarakat Minahasa, terutama yang peduli dan tertarik pada Budaya dan Sejarah Minahasa. Untuk Anda-lah buku ini dibuat...

    Pengantar Penulis

    ADA beragam alasan kenapa sebuah buku dibuat dan diterbitkan. Terkadang, alasan itu tergolong sepele dan tidak direncanakan. Seperti buku ini.

    Cikal bakal buku berjudul 9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa ini berawal dari posting yang rencananya akan saya publikasi di group Suara Rakyat Minahasa Facebook (FB). Topiknya merupakan tanggapan saya pada pro-kontra seputar terbitnya sebuah buku yang mengklaim kalau leluhur Minahasa berasal dari China, secara khusus penguasa Dinasti Han.

    Tapi setelah ditulis, ternyata lumayan panjang. Terlalu panjang untuk sebuah posting atau status FB.

    Karena terlalu panjang, lalu muncul ide: kenapa tidak sekalian dibuat buku saja? Karena menanggapi sebuah buku, bukankah seharusnya ditulis dalam bentuk buku juga? Lagipula, diterbitkan dalam bentuk buku akan meminimalisir munculnya debat-kusir tanpa akhir seperti yang saya saksikan terkait kontroversi leluhur Minahasa keturunan Penguasa Dinasti Han di media sosial.

    Posting di FB dibatalkan dan dialihkan menjadi buku.

    Tentu, menulis posting di media sosial dan membuat buku itu berbeda. Mediumnya beda. Sebuah posting atau status di FB tak bisa serta merta diubah menjadi buku. Tulisan yang terlalu panjang untuk dijadikan posting realitanya terlalu pendek, bahkan sangat pendek untuk dijadikan buku. Untuk menyiasati hal ini, mau tidak mau saya perlu menambahkan (banyak) ‘huangango’ dalam buku ini, hehehe

    Versi digital

    Buku ini saya putuskan untuk diterbitkan dalam bentuk digital. Kenapa digital? Ada beberapa alasan.

    Alasan pertama, untuk menyesuaikan dengan kekinian. Sekarang adalah era digital. Di jaman now, semuanya sudah serba digital. Termasuk membaca buku. Memang, masih banyak yang lebih menyukai membaca buku secara konvensional, dengan membaca buku versi cetak. Berkunjung ke toko buku juga masih menjadi sesuatu yang menyenangkan (seperti yang selalu saya lakukan jika ada waktu).

    Tapi ketika waktu semakin sempit, ketika gadget semakin canggih, cara instan menggunakan digital sudah menjadi alternatif.

    Kini, membeli buku tak harus ke toko buku. Membeli buku bisa menggunakan ponsel atau tablet. Hanya beberapa kali pencet dan buku digital sudah berada di gadget.

    Alasan kedua, buku digital lebih praktis dalam proses pembuatan. Saya punya pengalaman mengajukan dan menerbitkan naskah ke penerbit papan atas seperti Elex Media Komputindo. Biasanya, setelah diajukan, naskah akan diperiksa oleh editor apakah layak terbit atau tidak. Umumnya proses pemeriksaan memerlukan waktu tiga hingga enam bulan.

    Jika naskah dianggap layak terbit (dari sisi tema, kelayakan pasar dan penulisan), naskah kemudian memasuki proses penerbitan (diedit, lay out, membuat cover hingga dicetak). Proses ini juga memerlukan waktu beberapa bulan karena harus menunggu antrian.

    Pada versi digital, prosesnya lebih simpel. Setelah naskah selesai, proses membuat cover dan pengajuan ke ritel buku digital hanya memerlukan waktu satu hari. Buku sudah bisa dibeli pembaca dari seluruh dunia dalam rentang waktu dua hingga tiga hari kemudian.

    Alasan ketiga, buku digital pembuatannya lebih murah. Jika naskah untuk versi cetak ditolak penerbit karena dianggap tidak layak, terutama dari sisi pasar, alternatif yang bisa dipilih adalah menerbitkan sendiri atau self publishing. Namun menerbitkan dan mencetak buku secara mandiri itu ribet dan juga mahal.

    Saya harus mencari orang yang bisa membuat cover dan melay-out naskah. Selanjutnya naskah dicetak. Untuk 3.000 eksemplar, biaya cetak bisa Rp 15.000 hingga 20.000 per eksemplar. Artinya sedikitnya saya harus menyediakan uang sekitar 50 hingga 60 juta rupiah.

    Salah satu solusi untuk self publishing adalah mencari donatur yang bersedia menanggung biaya cetak. Sayang saya tak punya waktu untuk melakukan nego dengan calon donatur potensial, hehehe.

    Jika diterbitkan versi digital, saya sama sekali tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Cover saya buat menggunakan situs online (hasilnya memang tak terlalu bagus namun lumayan, hehehe). Naskah tak perlu dilay-out. Pengajuan ke ritel raksasa seperti Google Play dan iTunes Apple juga tak memerlukan biaya alias gratis.

    Alasan keempat, buku digital lebih awet dari sisi penjualan. Di tahun 2007, cerita silat yang saya buat dan sempat tayang di Harian Metro Manado berjudul Waraney Negeri Minahasa, bagian pertamanya terbit dalam versi cetak. Buku itu dicetak dengan metode self publishing dengan donatur bapak Benny Mamoto. Setelah terbit, buku itu dijual di Gramedia Manado dan sejumlah toko buku lainnya termasuk di Jakarta. Kini, stok yang dicetak sudah habis.

    Tahun 2016, versi digital buku itu saya jual di Google Play, iTunes, Kobo dan sejumlah ritel lain, dengan sedikit perubahan pada judul, menjadi Pendekar Negeri Minahasa. Karena merupakan versi digital, buku ini tak memakan tempat dan juga tak perlu gudang. Itu sebabnya, buku Pendekar Negeri Minahasa masih bisa dibeli, dan filenya tetap ada di ritel terkemuka selama internet masih ada dan selama ritelnya tidak ditutup.

    Begitu juga dengan buku 9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa ini. Hingga beberapa tahun ke depan, buku versi digital ini tetap tersedia dan tetap bisa dibeli. Ketika buku versi cetak yang berkisah tentang Minahasa sudah lama lenyap di toko buku (atau dimasukkan ke gudang dan kemudian diobral sepuluh ribu tiga), buku digital tentang Minahasa yang saya buat ini tetap eksis dan akan tetap eksis.

    Alasan kelima, buku digital bisa diupdate kapan saja. Jika menemukan informasi baru, atau ada kesalahan eja dan penulisan, saya bisa melakukan perbaikan untuk kemudian meng-update kapan saja ketika saya punya waktu. Versi terbaru dari buku digital yang sudah diperbaiki bisa online dalam hitungan jam.

    Sementara untuk buku yang dicetak, tak sesederhana itu. Jika ada perbaikan, harus menunggu hingga edisi pertama habis terjual. Biasanya perbaikan dilakukan pada cetakan kedua, ketiga dan seterusnya. Jika sebuah buku tak mengalami cetak ulang, perbaikan tak akan pernah ada.

    Kekurangan buku digital

    Di pihak lain, menerbitkan buku digital juga punya kelemahan. Terutama yang terkait dengan kenyamanan pembaca. Masih banyak pembaca yang belum terbiasa membaca sebuah buku menggunakan telepon genggam. Jika hanya membaca status di Facebook, tentu bukan masalah. Namun membaca satu buku? Itu bakal melelahkan.

    Juga, penerbitan buku versi digital ini akan menyulitkan jika, misalnya ada acara bedah buku. Apakah peserta yang mengikuti acara bedah buku akan merasa nyaman membedah sebuah buku menggunakan ponsel?

    Buku digital juga menyulitkan saya untuk menyisipkan catatan kaki, seperti yang lazimnya ada dalam buku ilmiah. Pada buku cetak, catatan kaki biasanya diletakkan di bagian bawah setiap halaman. Sementara pada buku digital, halaman yang tampil pada gadget seseorang bisa berbeda.

    Pada buku digital, seseorang bisa melakukan zoom sehingga hurufnya menjadi lebih besar, sehingga bisa saja satu halaman pada gadget hanya berisi tiga atau empat kalimat. Juga tampilan pada layar gadget akan berbeda tergantung pengaturan si pemilik gadget, apakah dalam tipe ‘portrait’ atau ‘landscape’.

    Namun lepas dari kekurangan pada versi digital, untuk saat ini saya memang berencana hanya menerbitkan dalam versi digital dan bukan versi cetak. Tentu jika ke depan ada pihak yang bersedia menjadi penyandang dana untuk menerbitkan versi cetak, saya akan menerima dengan senang hati. (Menjelang buku ini terbit, saya mendapat informasi bahwa ada teman yang serius ingin menerbitkan buku ini dalam bentuk cetak. Namun hingga buku ini terpublikasi, belum ada pembicaraan konkrit).

    Perkaya khasanah literasi

    Sejarah dan asal usul Minahasa merupakan topik yang menarik dan seksi. Sayang, sejauh ini, dari yang saya amati, buku yang membahas secara mendalam tentang sejarah dan budaya Minahasa itu masih sangat jarang. Kalau toh ada, isinya rata-rata sama dan seragam.

    Kesamaan isi dan tema itu bisa dipahami, karena rata-rata penulis buku tentang sejarah Minahasa menggunakan rujukan yang sama. Yakni tulisan atau buku yang dibuat oleh para zendeling tempo doeloe. Karena itu, sangat menarik membaca buku tentang Minahasa yang membawa nuansa baru, dengan sudut pandang yang baru dan sama sekali berbeda.

    Itu yang membuat buku yang memaparkan bahwa leluhur orang Minahasa merupakan keturunan penguasa Dinasti Han, menjadi sangat menarik. Lepas dari benar tidaknya klaim itu, namun secara tematik buku itu sangat menggoda.

    Itu pula yang menjadi alasan kenapa saya membuat buku ini. Selain mencoba menghadirkan sisi yang berbeda, sekaligus berupaya menawarkan sisi pandang yang berbeda, terkait benar tidaknya leluhur Minahasa itu keturunan penguasa Dinasti Han.

    Tentu, sebagai karya manusia yang tidak sempurna, buku ini jauh dari sempurna. Banyak bolong-bolongnya. Karena itu, kritik, saran, dan masukan dari Anda, pembaca, sangat diharapkan.

    Kritik dan saran (atau pertanyaan, jika ada), bisa disampaikan melalui akun Facebook saya, www.facebook.com/waraneyminahasa. Atau melalui salah satu komentar di blog pribadi saya, www.faryoroh.com, atau email melalui faryoroh@gmail.com.

    Akhir kata, terima kasih atas kesediaan Anda membaca buku ini. Semoga buku ini bisa menghadirkan khasanah baru bagi dunia literasi Minahasa.

    I Yayat u Santi

    Pakatuan wo Pakalawiren (wo nda usah Pakatangan, hehehe)

    Fary SJ Oroh

    Kata Pengantar

    Pencarian yang Belum (Tidak Akan?)

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1