Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
eBook132 halaman2 jam

Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan

Penilaian: 3.5 dari 5 bintang

3.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Disini Jakob memberikan pemahaman yang jelas tentang babad Guru Gantangan, dan juga tentang bagaimana pentingnya penerapan hermeneutika. Buku ini menyadarkan kita, betapa banyak warisan yang berupa teks-teks kuno yang menunggu untuk dijadikan sasaran penelitian dan akan menjelaskan dunia leluhur kita, suatu wilayah dari mana kita datang dan di mana akar-akar kehidupan kita dewasa ini menghunjam.

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis14 Nov 2012
ISBN9781301898701
Hermeneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Penulis

Jakob Sumardjo

Jakob Sumardjo is a freelance writer of literary criticism and cultural articles for several mass media. A historian and lecturer in The Indonesian Dance Institute (Bandung, West Java), he has written more than 20 books, most of them about Indonesian literature.

Terkait dengan Hermeneutika Sunda

E-book terkait

Ulasan untuk Hermeneutika Sunda

Penilaian: 3.5 dari 5 bintang
3.5/5

10 rating1 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 1 dari 5 bintang
    1/5
    mine,

Pratinjau buku

Hermeneutika Sunda - Jakob Sumardjo

GURU GANTANGAN: SEBUAH APRESIASI

Oleh: Saini K.M.

Hermeneutika adalah filsafat dan atau ilmu tentang (metoda) penafsiran secara ilmiah. Dalam kehidupan, manusia terus-menerus dituntut untuk menafsirkan berbagai gejala, fakta dan atau teks. Di dalam upaya menafsirkan itu orang dapat merujuk sepenuhnya kepada subjektivitasnya, kepada pendapat orang lain, atau kepada takhyul, yaitu kepercayaan yang tidak pernah dipertanyakan secara kritis. Hasil dari penafsiran seperti itu, selain tidak dapat dipertanggung-jawabkan karena tidak ada tolok-ukur bagi ketepatan atau kebenarannya, juga sering tidak dapat dikomunikasikan. Sebagai contoh, tafsiran subjektif sering nyaris tidak dapat bersambung dengan tafsiran subjektif lainnya; tafsiran yang merujuk kepada pendapat seseorang dapat bertentangan dengan pendapat orang lain; sedang tafsiran yang berdasarkan takhyul tidak akan dapat diterima oleh orang yang tidak percaya pada takhyul, dsb. Menafsir secara ilmiah, dengan kata lain secara hermeneutik, berarti menafsir dengan metoda tertentu yang diakui kesahihannya oleh komunitas tertentu, yaitu komunitas ilmu (sosial). Artinya, di dalam upaya menafsirkan itu hukum kausal (sebab-akibat) dihormati, demikian juga penggunaan teori dan data yang sahih yang dijadikan titik-tolak penyimpulan tafsiran. Sudah barang tentu teori yang dipergunakan sebagai 'pisau bedah' di dalam analisis harus memiliki wibawa (otoritas) yang diakui oleh bagian besar ilmuwan-ilmuwan lain. Dengan demikian, tafsiran terhadap gejala, fakta dan atau teks tertentu akan dapat dikaji dan dikritisi oleh banyak orang (ilmuwan), hingga kebenaran penafsiran tersebut dapat diterima, sedang kekeliruan dapat diperbaiki bersama oleh kerjasama antar ilmuwan.

Dalam praktek hermeneutik ada tiga kata-kunci utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu makna (arti, meaning), teks dan konteks. Makna suatu gejala, fakta atau teks hanya dapat ditemukan atau berada dalam hubungan gejala/fakta sebagai teks dengan lingkungnya atau konteksnya. Sebagai contoh, gejala sakit kepala yang kita alami hanya dapat kita tafsirkan kegawatannya (maknanya), setelah kita kumpulkan berbagai hal di sekeliling gejala sakit kepala itu. Sebelum gejala itu muncul ternyata, misalnya, kita banyak minum kopi karena harus tidur larut akibat tumpukan kerja; kitapun punya gejala tekanan darah tinggi; di samping itu, walau tidak merokok, kita bekerja di tengah-tengah asap rokok dari sejumlah rekan sekerja pengisap rokok. Maka makna gejala sakit kepala itu menjadi jelas, yaitu adanya peningkatan tekanan darah kita. Gejala itu mungkin bermakna lain kalau muncul kronis tanpa alasan yang jelas. Kita memeriksakannya kepada dokter yang menyampaikan beberapa pertanyaan, misalnya: Apakah kita pernah terbentur? Apakah punya kebiasaan meminum-minuman keras? Apakah punya keluhan tekanan darah, tinggi atau rendah? dsb. Ternyata misalnya, kita pernah mendapat benturan di kepala selagi latihan tinju di masa remaja. Itu adalah salah satu unsur dari konteks. Lalu dokter melakukan pemeriksaan rontgen, dan ternyata mencurigai adanya gumpalan darah beku di selaput otak. Pada tahap itu, hubungan teks (gejala sakit kepala) dengan dua unsur konteks (benturan dan bayangan bekuan) sudah mengarah kepada makna gejala itu.

Contoh sederhana tentang tiga kata kunci tadi sudah barang tentu tidak menggambarkan proses hermeneutik yang sebenarnya, yang pada kenyataananya sangat rumit. Walaupun demikian, dengan merujuk kepada contoh-contoh itu, kiranya akan lebih mudah kita memahami proses hermeneutik yang sebenarnya yang sangat rumit itu. Berikut secara langsung kita akan mencoba menerapkan pemahaman kita pada kasus yang lebih rumit.

Bayangkan, pada suatu kali kita menemukan karya sastra kuno (babad, pantun, wawacan) sebagai teks. Dalam pembacaan pertama makna teks sama sekali gelap, kendati bahasa teks itu sampai batas tertentu (misalnya 50%) kita pahami. Upaya pertama kita di dalam memahami atau menangkap makna teks itu ialah mengajukan tiga pertanyaan: Di mana teks itu ditulis? Kapan ditulisnya? Dalam keadaan apa? Setelah melakukan penelusuran, misalnya kita sampai kepada kesimpulan sebagai berikut: Teks itu ditulis di wilayah Pasundan, abad IX, dalam keadaan normal (tidak ada perang, wabah atau bencana alam). Kesimpulan itu akan menampilkan pertanyaan-pertanyaan baru, misalnya: Bagaimanakah lingkungan fisik (geografik) Pasundan itu? Bagaimana kehidupan spiritual, sosial, ekonomi, politik dsb. masyarakat Pasundan abad IX itu? dsb. Kesimpulan-kesimpulan yang kita ambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara logis dan merujuk kepada baik data maupun teori yang dapat diterima oleh ilmuwan-ilmuwan lain; juga kaum awam, seandainya laporan penelitian itu ditulis secara populer.

Kiranya jelas pula, bahwa rujukan-rujukan akan kita ambil dari cabang-cabang ilmu yang berkaitan, seperti geografi, sejarah, antropologi, etnologi, philologi, sosiologi, ekonomi maupun politik.

Dalam buku HERMENEUTIKA SUNDA Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan, Prof. Jakob Sumardjo telah melakukan telaah hermeneutik terhadap teks berupa sebuah babad dan menemukan maknanya. Penemuan itu bukan saja mengagumkan akan tetapi juga kita sangat menghargai upaya Prof Jakob Sumardjo yang penuh pengabdian itu.

Penghargaan kita bertambah seandainya kita menyadari pula, bahwa selama ini banyak ilmuwan (sosial) yang beranggapan bahwa babad atau sastra lama seperti pantun Sunda, Kaba Minangkabau, dsb. kurang berharga. Ada kecenderungan untuk menganggap teks-teks kuno itu sebagai karya fantasi dari orang-orang yang tidak berpendidikan (Baca: barat). Sebagai contoh, para sejarawan 'modern' beranggapan bahwa babad, pantun, legenda, mitos lokal, dsb., membingungkan, tidak masuk akal, kekanak-kanakan dsb., dan oleh karena itu kurang bermanfaat. Sikap merendahkan itu justru merupakan akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang cara berfikir leluhur kita, para pencipta babad, pantun dsb. itu. Mereka yang biasa berfikir linear seperti yang diterapkan dalam sejarah modern, pasti merasa asing terhadap cara berfikir para leluhur yang siklik dan atau puitik. Dengan demikian, untuk memahami teks-teks kuno itu, kita harus menempatkan diri sebagai leluhur kita dan menerapkan cara berfikir mereka dalam menanggapi dunia.

Buku Prof Jakob Sumardjo bukan saja memberikan pemahaman yang jelas tentang babad Guru Gantangan, melainkan juga tentang bagaimana pentingnya penerapan hermeneutika. Buku ini menyadarkan kita, betapa banyak warisan yang berupa teks-teks kuno yang menunggu untuk dijadikan sasaran penelitian dan akan menjelaskan dunia leluhur kita, suatu wilayah dari mana kita datang dan di mana akar-akar kehidupan kita dewasa ini menghunjam. Di samping itu, buku ini akan menyadarkan kita tentang kearifan leluhur kita yang pernah berhasil membangun suatu peradaban, yaitu di zaman Kerajaan Pajajaran, yang sampai sekarang tetap menjadi sasaran kerinduan dan ilham bagi orang Sunda.

Walaupun buku ini bermanfaat bagi siapa saja, bagi orang Sunda ia punya makna tersendiri. Seorang sarjana bersuku Jawa yang kebetulan berdomisili di Bandung telah tertarik dan menulis karya-karya ilmiah tentang warisan budaya Sunda dengan cemerlang. Kenyataan itu hendaknya tidak hanya akan menimbulkan rasa terimakasih yang tulus, melainkan juga mendorong sarjana-sarjana bersuku Sunda melakukan penelitian-penelitian lanjutan tentang warisan budaya yang besar jumlahnya dan yang masih belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena belum dipahami.

Akhirnya, selamat membaca buku yang ditulis dengan menarik dan berisi pengetahuan yang berharga ini.

Bandung, Januari 2004

PENGANTAR

Semula naskah ini ditulis untuk sebuah jurnal seni. Dalam penggarapannya ternyata melebar, karena begitu banyaknya informasi budaya yang dikandung oleh Babad Pakuan ini. Tulisan yang rencananya dapat diselesaikan dalam 15-20 halaman, ternyata mencapai 3-4 kali lipat panjangnya. Maka lebih baik tulisan ini diterbitkan dalam bentuk buku kecil.

Bekal saya dalam menafsir kandungan budaya sezaman dalam babad ini, masih berpegang pada pola pikir primordial ekologis masyarakat-masyarakat tua di Indonesia. Pola pikir kosmologi masyarakat tua Indonesia bukan antroposentris seperti dalam tradisi budaya Yudeo-Kristian, tetapi lebih biosentris dan ekosentris. Manusia hanyalah bagian integral dari alam semesta, dan alam semesta adalah bagian dari realitas yang lebih tinggi.

Cara berpikir kita sebagai manusia modern berasal dari tradisi budaya Yudeo-Kristian ini. Manusia sebagai pusat semesta. Manusia diberi wewenang sebagai penguasa semesta. Segala yang ada ini diberi nama-nama oleh manusia dan demi kepentingan manusia. Kebudayaan ini berkembang menjadi perjuangan untuk kebebasan manusia sepenuh-penuhnya, pemuliaan individualitas, jaminan terhadap hak-haknya sebagai manusia, memandang segala hal di luar dirinya sebagai obyek yang perlu diteliti, difahami dan dikuasai; sekularisasi, humanisasi, dan materialisme.

Cara berpikir babad ini berbeda. Manusia bukan raja semesta. Manusia hanya satu dari kenyataan-kenyataan semesta. Hak azasi manusia tunduk pada hak azasi semesta itu. Dan kenyataan semesta mereka alami dalam lingkungan hidup kongkrit mereka, yakni alam yang menghidupinya. Inilah sebabnya manusia bersahabat dengan dewa-dewa, binatang, pohon, sungai, gunung, laut, mega. Dalam persepsi manusia modern, babad ini hanya dongeng belaka. Tetapi bagi manusia yang berpikir biosentris dan ekosentris, itulah

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1