Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Kearifan Jawa
Kearifan Jawa
Kearifan Jawa
eBook124 halaman1 jam

Kearifan Jawa

Penilaian: 3 dari 5 bintang

3/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Kearifan Jawa tercermin dalam banyak peribahasa dan pepatah Jawa.  Itu adalah saripati ilmu kehidupan yang berdasarkan pengalaman panjang orang Jawa mengarungi samudera kehidupan.  Agar tidak hanya orang yang memahami bahasa Jawa saja yang bisa memetik manfaatnya maka saya tulis dalam bahasa Indonesia.   Di dalamnya ada keindahan bahasa, ada kiat menghadapi naik turunnya gelombang kehidupan.  Mereka ibarat mutiara yang sangat berharga.  Apabila dipahami dengan baik dan diterapkan dengan baik maka insya Allah banyak manfaatnya.

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis14 Des 2020
ISBN9781393944690
Kearifan Jawa
Penulis

Bambang Udoyono

Bambang Udoyono is a writer, a tourist guide and a tour leader.  He conducts inbound tours to Indonesia and outbound tours abroad. He writes books on tourism, English, and culture.  Based on his experience he writes this book.

Baca buku lainnya dari Bambang Udoyono

Penulis terkait

Terkait dengan Kearifan Jawa

E-book terkait

Filsafat untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk Kearifan Jawa

Penilaian: 2.75 dari 5 bintang
3/5

4 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Kearifan Jawa - Bambang Udoyono

    1.Tepo seliro.

    KALI INI KITA AKAN membahas lagi kearifan lokal dari Jawa yang menjadi bukti bahwa kebudayaan nènèk moyang kita sudah sangat tinggi.  Tingginya kebudayaan tidak hanya diukur dari capaian keuangan saja, tidak dari capaian pembangunan fisik saja (meskipun kita punya juga Borobudur dll yang merupakan capaian tinggi),  tapi juga adat istiadat, seni, dan tidak kalah penting adalah tata krama.  Nènèk moyang kita adalah orang yang sangat beradab.  Buktinya mereka mewariskan ajaran tata krama yang berdampak sangat baik kepada masyarakat kalau kita mampu menerapkan dengan baik.  Mereka mampu menciptakan frasa yang hanya dua kata, tapi sangat dalam maknanya yaitu ‘tepo seliro’  Artinya dalam bahasa Indonesia kira kira tenggang rasa.

    Almarhum ayah saya dulu sering menasehati saya dengan frasa ini.  Menurut beliau orang yang beradab adalah orang yang mampu melihat dari sisi orang lain atau merasakan perasaan orang lain.  Masih menurut beliau, caranya menurut orang Jawa adalah dengan menerapkan pada diri sendiri perkataan atau perbuatan.  Kata seliro  atau sariro artinya adalah diri sendiri.  Jadi kata ayah saya, kalau mau berbicara atau berbuat pikirkan dulu jika diterapkan pada diri sendiri bagaimana perasaan kita.  Kalau mau omong kasar ke orang lain,  bayangkan maukah kita dikasari orang?  Kalau tidak mau ya jangan berkata kasar ke orang lain.  Kalau mau menyakiti hati atau fisik orang lain coba terapkan ke diri sendiri.  Maukah anda disakiti hati atau fisik anda?  Kalau tidak mau ya jangan. 

    Saya kira inilah salah satu aspek budaya Jawa yang sangat unggul.  Saya bisa mengatakan unggul karena tidak hanya berhenti pada norma, tapi sudah sampai pada cara, atau teknis mengatasi egoisme.  Kita mestinya sudah sering mendengar anjuran agar tidak egois, tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok sendiri.  Tapi anjuran itu tidak memberi cara bagaimana mengatasi egoisme.  Sedangkan nènèk moyang kita sudah lebih maju.  Mereka punya cara yang bisa dijalankan, seperti di atas tadi.  Terapkan pada diri sendiri.  Kalau anda keberatan maka orang lain juga pasti keberatan.

    Kita tengok kasus Prancis terkini ketika ada seorang guru sekolah di Prancis dibunuh.  Pembunuhan memang kejahatan.  Itu perbuatan melanggar hukum.  Meskipun demikian perbuatan itu tidak berdiri sendiri. Ada pemicunya yaitu pelecehan sang guru kepada nabi Muhammad saw.  Itulah  contoh orang yang tidak memiliki tepo seliro .  Dia memaksakan kehendaknya.  Dia maunya bebas berbicara, berekspresi, tanpa peduli perasaan orang, tanpa peduli prinsip orang. Tanpa mau menghargai prinsip orang.  Nabi Muhammad saw adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh Muslim seluruh dunia lalu dia melecehkan dan berharap  Muslim senang hati dan menghormatinya.  Apakah itu beradab?  Sila dinilai sendiri. 

    Di  Indonesia semoga tidak terjadi kejadian seperti itu.  Semoga tidak ada orang yang maunya dihargai tapi tidak mau menghargai prinsip, perasaan, dan marwah orang lain.  Meskipun demikian tidak sedikit orang yang akhir akhir ini rajin memakai kata kata kasar di medsos.  Sedangkan nènèk moyang kita mengajarkan tata krama.  Perilaku mereka beradab atau tidak sila dinilai sendiri. 

    Mari kita kembali ke ajaran tata krama nènèk moyang yaitu tepo seliro.  Terapkan pada diri anda sendiri kata kata dan perbuatan yang akan atau sudah anda terapkan pada orang lain.  Jadikan ini sebagai pertimbangan untuk berkata kata dan bertindak.  Kalau anda melakukannya dengan baik maka anda akan menjadi orang yang sopan santun, orang yang beradab.  Jangan kecewakan orang tua kita yang sudah mendidik kita agar menjadi orang beradab.

    Jika semua orang, semua pihak mampu menerapkan tepo seliro maka insya Allah pergaulan akan enak, hubungan antar manusia, antar komunitas akan harmonis.  Konflik akan tercegah.  Kerjasama antar unsur akan manis sehingga semua bisa bekerja sengan tenang, tidak perlu diganggu oleh keributan yang tidak perlu.

    Monggo berkontribusi positif kepada masyarakat dengan menerapkan tepo seliro

    Foto 1. Novel baru saya. Kisah konflik seru dengan latar belakang sejarah Jawa. 

    2. Adigang, adigung, adiguna

    KALI INI KITA AKAN membahas lagi kearifan lokal dari Jawa yang tertulis dalam Serat Wulangreh  karya Sunan Paku Buwono IV.  Ketiga kata tersebut kira kira artinya sombong, arogan, takabur.  Untuk memahaminya mari kita baca dalam bahasa Jawa.

    Ketiganya diibaratkan sebagai sifat binatang kijang, gajah dan ular.  Berikut ini syairnya.

    Si kidang ambegipun, angandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angandelken gung ainggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot.

    (Si kijang sifatnya, mengandalkan lompatannya, sedangkan si gajah mengandalkan tinggi besarnya,  ular mengandalkan gigitannya)

    Iku upamanipun, aja ngandelaken sira iku, suteng nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digang, ing wasana dadi asor.

    (Itulah perumpamaannya, jangan mengandalkan kamu itu anak raja tidak ada yang berani, itulah sifat orang adigang, akhirnya bisa jatuh)

    Adiguna puniku, ngandelaken kapinteranipun, samubarang kabisan dipundheweki, sapa bisa kaya ingsun, togging prana nora enjoh.

    (Adiguna itu mengandalkan kepintarannya, bisa melakukan banyak hal, siapa yang bisa seperti saya)

    Ambek adigung iku, angungasaken ing kasuranipun, para tantang candhala anyenyampahi, tinemenan nora pecus, satemah dadi geguyon.

    (Adigung itu menyombongkan kekuatannya, tapi sejatinya tidak mampu, akhirnya menjadi bahan pelecehan)

    Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, kang waskitha solahing wong.

    (Orang hidup itu jangan memiliki tiga sifat tersebut,  pakailah sifat hati hati, pikirkan semua tindakan, waspada dengan tingkah orang)

    Sunan PB II adalah seorang raja yang arif bijaksana.  Beliau tidak

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1