Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Transhumanisme untuk Pemula
Transhumanisme untuk Pemula
Transhumanisme untuk Pemula
eBook538 halaman9 jam

Transhumanisme untuk Pemula

Penilaian: 5 dari 5 bintang

5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Transhumanisme adalah gerakan budaya dan intelektual yang menyarakan mengunakan teknologi untuk peningkatan batas biologi spesies-manusia. Dengan adanya perkembangan teknologi khususnya bioteknologi, nanoteknologi, kecerdasan buatan dan teknologi komunikasi transhumanisme percaya bahwa isu tentang kematian, penuaan , dan kesengsaraan akan dapat teratasi dengan cara penyatuan manusia dengan teknologi, dimana dalam visi transhumanisme untuk menuju pada “manusia akhir” yang unggul, dan mereka menyebutnya post-human, yang mana diprediksi akan memulai puncaknya pada tahun 2045.

Transhumanisme muncul pada akhir abad ke-20 sebagai perluasan dari konsep humanisme pencerahan, dengan menawarkan pendekatan kosmos-historis untuk mengeksplorasi realitas alam semesta, pada akhirnya mempertanyakan kembali tentang eksitensi dan hakikat manusia, yang sering kali tidak lagi dipertanyakan pada ilmu pengetahuan modern. Dilain hal tersebut transhumanisme adalah ide-ide teknofilia, dan kosmopolitan yang semakin berkembang pada dekade ini.

Perkembangan selanjutnya transhumanisme mulai berembiro menjadi sebuah gerakan formal dan politik mulai tahun 1990-an yang ditandainya munculnya berbagai lembaga advokasi, lembaga intelektual, dan Partai politik. Hal ini-pun terus menjamur di belahan dunia, dengan ide-ide futuristik dan benar-benar baru dalam spektrum ideologi, yang terbuka, universaliti, kosmopolitan dan teknofilia dan ini menjadi keunikan dari transhumanisme itu sendiri.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitHartanto
Tanggal rilis6 Apr 2022
ISBN9786239620783
Transhumanisme untuk Pemula

Baca buku lainnya dari Hartanto

Terkait dengan Transhumanisme untuk Pemula

E-book terkait

Sains & Matematika untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk Transhumanisme untuk Pemula

Penilaian: 5 dari 5 bintang
5/5

2 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Transhumanisme untuk Pemula - Hartanto

    KATA PENGANTAR

    Transhumanisme sebagai ideologi futuristik tidak hanya sekadar berisi tentang teori dan praktik tapi juga suatu kebutuhan. Ia adalah dialog ketuhanan pasca manusia, yang benar benar baru . Tanshumanisme adalah ide berbahaya sekaligus ide yang didambakan di masa depan

    ( Jakarta , 1 Februari 2022 )

    Sebagai awalan dalam penulisan buku kali ini, saya mengucapkan banyak terima kasih pada keluarga besar saya, ayah, ibu dan saudara, keponakan-keponakan saya yang hingga kini terus memberikan kasih sayangnya tak ter-hingga ; ucapan terima kasih juga kepada yang terhormat Mayor Jendral (purn) TNI Kivlan Zen, SIP.,M.Si. ,beserta ibu yang terus memberikan support moral dan finansial untuk saya terus berkarya; Ucapan terima kasih juga kepada mas Tommy monyeng, Ardi, Guntur (sekjen GRIB Jaya), semua jajaran ormas GRIB Jaya; mas Dono, mas Didit, Abbas (yang selalu memberikan utang kopi kepada saya) , Koh Aming , pak Latif (baik bener ma aku), Pak Alex (ketum Sandi Brata), Seluruh jajaran Sandi Brata, Adhi Darmawan, Bungalan Songko Jati, Roni Dwi Hartanto, Fahrudin Nugraha, Netty, Pawestri, Suciwati, Kawan-kawan SMI, SEKAM, JARNAS dan seluruh alumni SD, SMP, SMA, dan UMY, IP Malam UMY, keluarga angkat saya bu Karti; ucapan terima kasih juga kepada mantan-mantan kekasih saya, dan seluruh teman-teman saya yang tidak bisa saya tulis satu persatu; tidak luput pula ucapan terima kasih pada U.S. Transhumanist Party (UTP) yang memberikan beberapa referensi atas penulisan ini.

    Baru-baru ini pada bulan April 2021 dalam sesi online Russian Geographical Society, Menteri Pertahanan Rusia melemparkan ide gila bahwa Rusia akan mengekstrak DNA yang layak dari prajurit Skit kuno berusia 3.000 tahun yang ditemukan di permafrost Siberia, hal ini disinyalir sebagai tujuan militer rahasia. Scythians adalah suku pejuang yang diyakini berasal dari tempat yang sekarang menjadi Iran utara. Mereka dianggap sebagai pasukan yang pertama menguasai pertarungan di atas kuda. Hal ini pada dasarnya tentu tidak mengejutkan bagi para transhumanis, dimana mereka telah lama memberikan ide-ide tentang teknologi cryonic seperti FM-2030 yang ingin dihidupkan kembali pada ulang tahunnya yang ke-100. Di lain hal tersebut beberapa kelompok peneliti para furtunis dunia terus berupaya mewujudkan manusia-cyborg, yang ia percaya sebagai manusia masa depan.

    Kemunculan transhumanisme pada akhir abad ke-20 ini, menjadikan bahan perbincangan dan perdebatan pada akhir-akhir ini, terlebih lagi ketika Elon Musk terus memperbincangkan tentang prediksi-prediksinya di masa depan, melalui promosi produk neuralink pada akhir-akhir ini. Penulis sendiri sangat yakin bahwa Elon Musk adalah seorang transhumanisme yang secara nyata menerapkan semua inovasi teknologi-nya pada visi masa depan transhumanisme, seperti halnya implan otak dalam teknologi neuralink yang menjadikan manusia adalah sang pencipta atas kebebasan kehendaknya sendiri. Hal ini tentunya tidak bisa dihindarkan pada peradaban manusia di abad 21.

    Di lain pihak wacana manusia mesin atau cyborg terus menjadi tema utama pada karya fiksi ilmiah hingga sekarang, yang memberikan gambaran tentang masa depan yang penuh dengan perang cyborg, yang pada dasarnya kita telah menjadi cyborg sudah berabad-abad lamanya, ketika teknologi purba ditemukan, seperti kapak batu, tombak batu, dan peralatan teknologi lainnya di zaman tersebut. Tentu dalam makna hal ini kita merasa begitu ambigu ketika terjadinya penyempitan makna kata teknologi dalam sebuah batas piranti yang futuristik, seperti teknologi digital yang pada abad ini menjadi suatu pembicaraan tentang fenomena di masa depan. Sehingga dalam hal tersebut penulis dalam membatasi penulisan maka mendekatkan pada makna teknologi tersebut pada makna kedua.

    Dalam beberapa tulisan sebelumnya penulis telah memberikan gambaran tentang fenomena loncatan sains dan teknologi khususnya dalam era digital dalam sebuah kerangka perubahan sosial, dimana adanya sebuah kaitan yang erat antara teknologi dengan perubahan aspek-aspek sosial yang ada didalami masyarakat kontemporer. Sehingga tentu dalam penulisan kali ini mempunyai keterkaitan dari penulisan-penulisan sebelumnya.

    Adapun pada tahun 2045 beberapa pemikir futuristik telah memprediksi adanya perubahan peradaban manusia yang sangat radikal, hal ini diakibatkan adanya penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi teknologi khususnya nanoteknologi, kecerdasan buatan dan bioteknologi yang pada akhirnya menggeser isu-isu politik masa depan pada isu bio-politik, selain isu-isu perpajakan, kesejahteraan, ras, ekologi. Dorongan yang kuat ini terjadi akibat peran serta dan promosi-promosi atas peningkatan individu tanpa batas yang dilakukan oleh para transhumanisme.

    Maka dalam buku ini penulis mencoba memberikan gambaran tentang dasar filosofis dan pemikiran transhumanisme itu sendiri, dan perkembangnya hingga saat ini.

    Perlu diketahui bahwa transhumanisme yang digambarkan sebagai tekno-filia atau-pun tekno-holik mempunyai karakter yang longgar, sehingga memunculkan berbagai varian pemikiran dan kelompok-kelompok pemikir dan gerakan-gerakan transhumanisme yang satu dengan yang lain berbeda akan tetapi mempunyai kemiripan visi yang sama yaitu mereposisi masalah dilema keamanan terhadap promosi teknologi kepunahan menuju pada teknologi keabadian.

    Di lain pihak transhumanisme sebagai ideologi filosofis yang terletak di persimpangan antara budaya populer, genetika, teknologi cyber, nanoteknologi, bioteknologi dan teknologi maju lainnya, bio-etika, spekulasi sains, fiksi ilmiah, mitologi, gerakan zaman baru, kultus, perdagangan dan globalisasi.

    Transhumanisme sendiri memang menjadi wacana yang sangat futuristik dan bahkan dipandang sebagai sebuah fiksi ilmiah, akan tetapi mereka terlihat semakin berkembang dan semakin nyata keberadaannya dalam mewujudkan visi manusia akhir.

    Dengan hal tersebut di atas maka penulis memberikan judul buku ini : Transhumanisme Untuk Pemula. Dengan penulisan buku ini diharapkan sebagai memperkaya sebuah sumber referensi pustaka khususnya di Indonesia. Tentunya dalam penulisan ini akan banyak kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan maka penulis memohon maaf sebesar-besarnya

    Jakarta, 29 Maret 2022

    Hartanto

    https://biocyber.eu.org

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR

    BAB 1 PERJALANAN TRANSHUMANISME

    1.1. Pengertian dan Sejarah Transhumanisme

    1.1.1. Humanisme (Humanisme 1.0)

    1.1.2. Transhumanisme (Humanisme 2.0)

    1.2. Tokoh Terkemuka Transhumanis

    1.2.1. Julian Sorell Huxley

    1.2.2. FM-2030

    1.2.3. Max More

    1.2.4. Natasha Vita-More

    1.2.5. Nick Bostrom

    1.2.6. Raymond Kurzweil

    1.2.7. James J. Hughes

    1.2.8. Kim Eric Drexler

    1.2.9. Frank Jennings Tipler

    BAB 2 DASAR PEMIKIRAN TRANSHUMANISME

    2.1. Materialisme

    2.3. Empirisme

    2.3.1. Pengertian Tentang Empirisme

    2.3.2. Teori Kausalitas David Hume

    2.4. Evolusi Manusia

    2.4.1. Pengertian Teori Evolusi

    2.4.2. Teori Evolusi Charles Darwin

    2.5. Eksistensialisme

    2.5.1. Pengertian Eksistensialisme

    2.5.2. Kehendak Bebas Nietzsche

    BAB 3 TUBUH YANG BERDOSA

    3.1. Spesies-Manusia dan Manusia

    3.2. Merancang Varian Tubuh

    3.2.1. Mengatasi Kematian

    3.2.2. Mengatasi Penuaan

    BAB 4 KONSEPSI JIWA DAN KESENANGAN

    4.1. Aliran Filsafat Tentang Jiwa

    4.1.1 Aliran Monisme

    4.1.2 Aliran Dualisme

    4.2. Jiwa Menurut Transhumanisme

    4.2.1. Keberadaan Jiwa

    4.2.2. Gangguan Jiwa

    4.2.3. Melampaui Kebahagiaan

    BAB 5 KESADARAN KOSMIK

    5.1. Tentang Kosmologi

    5.1.1. Pengertian Dasar Kosmologi

    5.1.2. Teori Terbentuknya Alam Raya

    5.2. Singularitas

    5.2.1. Singularitas dan Transhumanisme

    5.2.2. Ledakan Kecerdasan Manusia

    5.2.3. Eksploitasi Alam Semesta

    5.3. Keabadian Digital

    BAB 6 KEBEBASAN DAN PEMBEBASAN

    6.1. Konsepsi Dasar Tindakan

    6.2. Kebebasan Menurut Transhumanisme

    6.2.1. Kebebasan Morfologi

    6.2.2. Kebebasan Bereksperimen

    6.2.3. Kebebasan Reproduksi

    6.3. Teknologi NBIC

    6.3.1. Nanoteknologi

    6.3.2. Bioteknologi

    6.3.3. Teknologi Informasi

    6.3.4. Ilmu Kognitif

    BAB 7 OVERMAN DAN POSTHUMAN

    7.1. Overman Nietzsche

    7.2. Posthuman

    7.3. Cyborg

    7.4. Metahuman

    BAB 8 MASA DEPAN TRANSHUMANISME

    8.1. Aliran Transhumanisme

    8.1.1. Ekstropianisme

    8.1.2. Singularitarianisme

    8.1.3. Imperatif Hedonistik

    8.1.4. Survivalisme

    8.2. Visi Transhumanisme

    8.2.1. Kehidupan Berkelimpahan

    8.2.2. Kehidupan Demokrasi

    BAB 9 POLITIK TRANSHUMANISME

    9.1. Faksi Sayap Atas

    9.2. Arah Politik 2.0

    BAB 10 GERAKAN TRANSHUMANISME

    10.1. Humanity+

    10.2. Partai Transhumanis

    10.2.1. Sejarah Partai Transhumanis

    10.2.2. Partai Transhumanis Amerika

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN – LAMPIRAN

    BIOGRAFI PENULIS

    itu, yang hanya terbatas 24 jam dalam sehari dan ketika itu pula aku membayangkan tentang keterbatasan tubuh akan kematian, dan terlebih lagi hari-hari pasca kematian begitu menakutkan ketika dosa dalam kehidupan-ku ditimbang untuk mendapatkan reward surga atau neraka. Semua itu membuat aku sangat tidak aman, dan depresi di kehidupan yang terus memaksa aku untuk berlari..berlari dan terus berlari.. Akhirnya aku hanya pada suatu kebahagiaan yang semu, kebahagiaan yang berbohong, aku telah membohongi diriku sendiri pada senyuman yang tidak pernah tulus, dorongan yang tidak pernah bebas, dan aku tidak memiliki tubuh ini sepenuhnya"

    BAB 1

    PERJALANAN TRANSHUMANISME

    1.1. Pengertian dan Sejarah Transhumanisme

    Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang terus berkembang, hingga mendapatkan posisi yang strategis dalam peradaban manusia, ia-pun telah mempertanyakan kembali tentang doktrin-doktrin yang dominan mengenai kondisi manusia. Dalam hal ini transhumanisme adalah salah satu manifestasi terbaru yang menonjol akibat berkembangnya ilmu pengetahuan, sain dan teknologi sekarang ini, dimana transhumanisme didasari dan berhubungan tentang cita-cita kesempurnaan dan keabadian melalui fitur teknologi.

    Pandemi COVID-19 yang terjadi telah menimbulkan perubahan sosial yang signifikan dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia di seluruh dunia. Aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan secara langsung dan fisik, saat ini tidak bisa lagi dilakukan semudah sebelum pandemi. Penggunaan teknologi digital yang diperantarai oleh layar gawai telah menjadi kebiasaan baru yang lumrah dilakukan oleh semua orang di seluruh dunia untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Di tengah mudahnya orang-orang secara umum untuk menerima dan beradaptasi dengan teknologi digital, muncul kekhawatiran bahwa pandemi ini telah di eksploitasi untuk percepatan integrasi teknologi digital ke dalam kehidupan manusia, khususnya kecerdasan buatan. Naomi Klein, penulis dan aktivis sosial dari Kanada, mencermati keputusan pemerintah kota New York yang tergesa-gesa membentuk komisi istimewa terdiri dari para teknokrat di Silicon Valley untuk mempercepat terwujudnya integrasi teknologi ke dalam setiap aspek kehidupan masyarakat,sementara jenazah mereka yang meninggal karena virus masih menumpuk Klein mengkhawatirkan lobi-lobi dari para petinggi di Silicon Valley tersebut hanya akan membuat pemerintah terjebak kepada prioritas yang salah dengan memilih berinvestasi lebih untuk pengembangan teknologi jarak jauh seperti telehealth, 5G, dan kendaraan tanpa pengemudi, daripada untuk kesehatan masyarakat itu sendiri. Bahkan, lebih jauh dari itu, M. John Lamola, peneliti dari Universitas Johannesburg, mengatakan bahwa pandemi ini telah menjadi katalisator bagi implementasi agenda bagi gerakan transhumanisme terorganisasi yang telah disiapkan sebelumnya, yaitu mempercepat digitalisasi kehidupan manusia dan penyatuan manusia dengan teknologi untuk menghadirkan pascahuman (posthuman)

    Fenomena di atas memperlihatkan bahwa agenda transhumanisme dalam penggunaan teknologi di masa kini dan mendatang akan terus meningkat secara eksponensial, terkhusus penggunaan teknologi dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan secara langsung memodifikasi natur manusia atau kapasitas-nya. Upaya-upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan teknologi seperti GRIN (Genetics, Robotics, Informatics, Nanotechnology), IA (Intelligence Amplification) dan AI (Artificial Intelligence). Walaupun penggunaan teknologi tersebut sekarang tampaknya masih belum terlalu luas, tetapi riset-riset mengenai rekayasa genetika, kecerdasan buatan, teknologi nano, teknologi informasi, regenerasi sel, dan alat yang dapat ditanam ke dalam otak terus berjalan. Seiring bertambah kuat dan lazimnya teknologi seperti ini, semakin bertambah juga tantangan yang muncul secara etika. Pertanyaan yang menjadi perdebatan adalah apakah teknologi yang langsung diterapkan pada manusia diperbolehkan atau tidak? Siapa yang berhak memutuskan boleh atau tidaknya teknologi seperti ini? Bagi transhumanisme, jawabannya adalah diperbolehkan karena keputusan tersebut terletak pada hak masing-masing manusia dalam hidupnya.[1]

    Transhumanis yang serta merta membangkitkan kembali tentang tema-tema mengenai kesempurnaan dan keabadian telah menjadi hentakan yang mang-kaget-kan pemikiran-pemikiran barat khususnya pada era kontemporer,bahkan menurut ilmuan politik Francis Fukuyama menyatakan bahwa transhumanisme adalah sebuah ide yang sangat berbahaya. Adapun konsep kesempurnaan dan keabadian yang ditekankan oleh transhumanisme pada dasarnya memiliki akar yang kuat yang dapat ditemukan pada sepajang sejarah peradaban manusia, seperti yang terdapat pada agama-agama dan mitologi-mitologi di seluruh dunia. Namun sihir yang dibawa oleh transhumanis kontemporer pada dasarnya menekankan pada akar pemikiran era pencerahan yang berkomitmen pada wacana humanisme sekuler (humanisme pencerahan).

    Perdebatan tentang transhumanisme tidak hanya mendapatkan banyak perhatian akademis dan populer baru-baru ini, tetapi juga telah menciptakan kebingungan konseptual yang meluas. Hal ini tidak heran dikarenakan transhumanis sendiri mempertanyakan hubungannya dengan humanisme dan mempertimbangkan kembali apa artinya menjadi manusia, yang mengklaim bahwa ini adalah sebuah ide yang melampaui atau-pun kelimpahan humanisme.

    Artinya transhumanis dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari humanisme pencerahan (humanisme 1.0), dimana transhumanisme dikenal dengan humanisme 2.0 (humanisme x.0).Walaupun dari hal tersebut humanisme 1.0 atau humanisme x.0 tidak serta merta dapat diartikan sebagai sebuah kelanjutan ide, atau-pun hanya sekadar penyempurnaan, akan tetapi hal ini dapat pula dikatakan sebagai antitesis antar keduanya. Lihat gambar 1.1

    Untuk memahaminya lebih lanjut bahwa konsepsi atas humanisme (pencerahan) menurut laman wikipedia adalah adalah sebuah pemikiran filsafat yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisional yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. Adapun Humanisme modern dibagi kepada dua aliran, yaitu :

    Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi renaisans Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan ke-budi-luhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.; dan

    Humanisme sekuler mencerminkan bangkitnya globalisasi, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekuler juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.[2]

    Secara etimologi humanisme terdiri dari dua kata yaitu human dan isme. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu humanus yang berarti manusia, dan ismus yang berarti faham atau aliran.[3] Istilah humanisme erat kaitannya dengan bahasa Latin klasik, yaitu humanus yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah inilah muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang menunjukkan sifat membumi dan manusiawi[4]. Adapun dalam Kamus Buku Besar Bahasa Indonesia (KBBI) humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Diartikan pula bahwa aliran yang menganggap manusia sebagai objek studi yang terpenting

    Menurut Ali Syari’ati, humanisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang di-miliki-nya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Ia memandang manusia sebagai makhluk mulia dan prinsip-prinsip yang disarankannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang membentuk spesies manusia[5]. Sedangkan Menurut Loren Bagus humanisme merupakan sebuah filsafat yang menganggap individu rasional sebagai nilai yang paling tinggi, menganggap individu sebagai sumber nilai paling akhir, dan mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif serta perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adi kodrati[6]

    1.1.1. Humanisme (Humanisme 1.0)

    Humanisme (dalam hal ini humanisme 1.0) merupakan paham yang menempatkan manusia sebagai sentral dari segala realitas, memandang manusia sebagai subjek pengelola alam semesta. Hal ini dikarenakan manusia merupakan satu-satunya makhluk bumi ter-mulia yang memiliki keistimewaan baik dalam berfikir maupun bertindak. Adapun sebagai istilah ilmiah, humanisme pertama kali digunakan pada abad ke-16 untuk merujuk pada para penulis dan sarjana Renaisans Eropa. Namun istilah tersebut sebenarnya diciptakan oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman pada 1808 dan dalam bahasa Inggris kata ini baru diterima umum sejak kira-kira tahun 1860. Pada abad ke-19 di kalangan pemikir Jerman macam J. G. Von Herder, J. J. Winckelmann, Friedrich Schiller atau-pun Goethe istilah Humanismus masih merujuk pada ideal Yunani dan Renaisan dalam pengembangan potensi-potensi khas manusia melalui pendidikan literatur klasik. Di Inggris, pada abad yang sama, Mathew Arnold mengaitkan humanisme dengan arah perkembangan universal. Di Perancis, gerakan kultural semacam itu muncul di kalangan para ensiklopedis. Secara klasik dapatlah dikatakan bahwa humanisme merupakan gerakan sosiokultural yang secara sistematis berusaha mengaktualisasikan makna humanitas atau kodrat manusia.[7]

    Sebagai konsep filosofis, humanisme sebenarnya telah ada sejak zaman filsafat Yunani dan Romawi. Karena bangsa Yunani kuno pada saat itu dengan sistem pendidikannya, paidea, yang dipahami sebagai sistem pendidikan yang memiliki visi jelas, serta membingkai segala maksud dan usaha manusia untuk menjadi manusia ideal, baik sebagai makhluk individual atau-pun sosial. Pada zaman ini, para tokoh peradaban Barat tidak menghadapi persoalan dengan sistem religius yang absolut, seperti yang dihadapi generasi pada Abad Pertengahan. dan Perspektif humanisme pada masa ini berangkat pada pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia.[8]

    Pada Abad Pertengahan, kaum terpelajar dan klerikus (kaum rohaniwan Katolik) mendapat pengaruh dari pandangan filosofis dan teologis Augustinus dan Thomas Aquinus yang memandang bahwa manusia tidak hanya makhluk kodrati saja. Akan tetapi manusia juga merupakan makhluk ilahi, dengan mengembangkan pembedaan antara divinitas dan humanitas. Divinitas di sini dimaksudkan untuk wilayah pengetahuan dan aktivitas yang diturunkan dari Kitab suci, sementara humanitas dipahami sebagai suatu praktik kehidupan manusia dengan dunianya yang khas. Perspektif humanisme pada Abad Pertengahan ini berangkat dari keyakinan manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati.[9]

    Pada Abad Pertengahan ini dimana-mana ditemukan banyak agama dan banyaknya ketakutan akan perkara-perkara di balik kubur, namun terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia yang nyata ini[10].Pada saat itu, manusia tidak memiliki kebebasan dalam meng-konsep dirinya karena agama (gereja) dan negara menyatu menjadi kekuatan untuk mengontrol manusia. Dalam persatuan tersebut manusia harus tunduk pada doktrin gereja atas nama Tuhan, konsep-konsep doktrin dan akhlak ditentukan gereja dan negara. Situasi ini dianggap anti-humanis, karena tidak memberi kesempatan pada manusia untuk menggunakan potensi ter-besarnya, yaitu akal budi untuk mengatur kehidupannya sendiri. pada akhirnya, gereja, agama dan Tuhan menjadi musuh bersama dari kaum humanis yang meniscayakan runtuhnya agama demi kemanusiaan[11]. Sehingga dengan munculnya humanisme sebagai sebuah angin segar yang diharapkan atas sebuah impitan dan doktrin dari bangunan yang usang pada zaman pertengahan tersebut.

    Humanisme modern ini mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kaum humanis ini ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan hubungan singkat dengan otoritas wahyu ilahi, melainkan lebih dahulu melakukan penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Hal ini menyebabkan kebudayaan tampil ke depan menggeser agama. Manusia terutama dimengerti lewat kemampuan-kemampuan alamiah-nya, seperti minat intelektual, pembentukan karakter, dan apresiasi efektif. Perhatian ditumpahkan pada toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, dan persahabatan. Hal ini terkenal dengan humanisme modern,[12]atau Humanisme Pencerahan (Humanisme 1.0).

    Humanisme dan ilmu pengetahuan saling membahu dalam mengokohkan suatu cara berpikir rasional yang menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. Rene Descrates meletakkan dasar filosofis untuk tendensi baru ini lewat penemuan subyektivitas manusia dalam tesisnya je pense donc je suis atau cogitu ergo sum (aku berfikir, maka aku ada). ciri ini lalu disebut antroposentrisme untuk menegaskan teosentrisme Abad Pertengahan. Selain Rene Descrates, Isaac Newton dengan fisikanya memberi kita sebuah keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti sebuah arloji, dan akal budi manusia dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses alamiah.[13]. Sehingga dalam hal ini jelas terlihat bahwa penggeseran atas titik pusat atau simpul pemikiran dan peradaban dunia dari Tuhan (teosentris) menuju ke manusia (antroposentris), artinya dalam hal ini manusia berada di puncak ke-makhluk-kan sehingga memiliki otonomi epistemologi yang menempatkan akal murni sebagai sumber pengetahuan yang terlepas dari wahyu.

    1.1.2. Transhumanisme (Humanisme 2.0)

    Visi tentang mewujudkan dunia lebih baik pada dasarnya bukanlah wacana yang baru, setidaknya ia telah menemani masyarakat dalam mitologi-mitologi kuno serta pembangunan awal peradaban manusia. Dalam masyarakat kontemporer seperti statement Elon Musk misalnya tentang teknologi neuralink, yang disinyalir akan sebagai satu teknologi yang ia klaim akan mengubah dunia, melalui mind uplouding dan beberapa kekuatan visi di lembah silikon (Silicon Valley) memunculkan gerakan-gerakan visioner yang tak lebih sama dari wacana yang beradab-abad dipertanyakan tersebut. Seperti halnya baru-baru ini dengan kemunculan pula kelompok yang mencengangkan media dan para akademis, mereka menamakan dirinya sebagai Transhumanis, adapun transhumanis sendiri menurut Max More (2013) sebagai filsafat kehidupan tekno-progresif , dimana transhumanisme bercita-cita untuk meningkatkan tubuh dan pikiran manusia melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara radikal. Walaupun beberapa kritikal seperti Francis Fukuyama yang menganggap transhumanisme sebagai gerakan pembebasan yang aneh, bahkan menyebutnya sebagai ide paling berbahaya di dunia, hal ini dimungkinkan tentang ambiguitas yang dibawa oleh ide-ide transhumanis itu sendiri.

    Seperti yang telah diterangkan di atas, dimana renaisans telah menggeser wacana teosentris menuju pada antroposentris, akibat dari kesadaran dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosial dan filsafat di saat itu. Penggeseran tersebut adalah sebuah kondisi alamiah dari peradaban manusia. Hal ini seperti yang terjadinya adanya loncatan perkembangan sains dan teknologi yang semakin cepat, sehingga mengakibatkan (dimungkinkan) adanya penggeseran wacana dari antroposentris menuju teknosentris. Artinya transhumanisme yang mengklaim sebagai pendobrak atas penggeseran ini akan mempertanggungjawabkan atas masa depan evolusi dan peradaban manusia, akan tetapi transhumanisme sendiri adalah proto-teknosentris, hal ini di karenakan transhumanisme masih berkomitmen dalam ide-ide humanisme sekuler, atau tepatnya ia adalah hiper- antroposentris (antroposentris 2.0).

    Transhumanisme dapat dipandang sebagai perpanjangan dari humanisme, yang sebagian ide-ide transhumanisme berasal darinya humanisme reanaisan. Dimana kaum humanis percaya bahwa manusia itu penting, bahwa individu itu penting, dan mungkin tidak sempurna, tetapi kita dapat membuat segalanya lebih baik dengan mempromosikan pemikiran rasional, kebebasan, toleransi, demokrasi, dan kepedulian terhadap sesama manusia. Transhumanis setuju dengan ini tetapi juga menekankan potensi manusia untuk menjadi apa, hal ini sama seperti manusia menggunakan cara-cara rasional untuk memperbaiki kondisi manusia dan dunia luar, manusia juga dapat menggunakan cara-cara tersebut untuk memperbaiki diri sendiri, organisme manusia. Dalam melakukan perbaikan diri tersebut, transhumanis tidak saja terbatas pada metode humanistik renaisan tersebut, seperti pendidikan dan pengembangan budaya, akan tetapi manusia juga dapat menggunakan sarana teknologi yang pada akhirnya akan memungkinkan kita untuk bergerak melampaui apa yang oleh sebagian orang dianggap sebagai manusia beradab.

    Artinya Transhumanisme adalah istilah kolektif tentang ide atau gagasan dan gerakan untuk berbagai teknologi yang berkumpul pada keinginan peningkatan manusia radikal. Dimana pada dasarnya tidak lepas dari humanisme sekuler, adapun filsuf transhumanisme Nick Bostrom menawarkan definisi berikut:

    Transhumanisme adalah ... hasil dari humanisme sekuler dan Pencerahan. Ini menyatakan bahwa sifat manusia saat ini dapat ditingkatkan melalui penggunaan ilmu terapan dan metode rasional lainnya, yang memungkinkan untuk meningkatkan rentang kesehatan manusia memperluas kapasitas intelektual dan fisik kita, dan memberi kita peningkatan kontrol atas keadaan mental dan suasana hati kita sendiri.[14]

    Transhumanisme yang lebih kurang digambarkan sebagai sebuah tekno-filia atau tekno-holic, pada dasarnya dapat diringkas sebagai gagasan untuk mengubah tubuh dan pikiran manusia melalui sains dan teknologi. Perpanjangan hidup radikal, peningkatan manusia (fisik, mental, reproduksi, moral, sosial, neurologis, genetik),cryonics, virtualitas, dan eksplorasi ruang angkasa.[15].adapun argumen yang dibawa oleh transhumanisme melalui metode sosioteknik dalam upaya memberikan gambaran dan penjelasan mengenai ide-ide transhumanisme itu sendiri.

    Pada dasarnya keinginan manusia untuk mengubah, memodifikasi dan menghiasi tubuh telah berlangsung selama ribuan tahun karena beberapa alasan. Antropolog Margo DeMello menyatakan bahwa modifikasi tubuh dan perhiasan dapat dipahami sebagai upaya untuk memenuhi standar budaya keindahan dan atau kewajiban sosial dan agama. Modifikasi tubuh juga dapat dipahami sebagai bagian dari proses kompleks individu untuk menciptakan dan menciptakan kembali identitas seseorang. Lebih lanjut DeMello menyatakan bahwa orang-orang lintas budaya juga berusaha mengubah tubuh mereka untuk membedakan manusia dari alam. Perhiasan dan modifikasi, dalam pengertian ini, adalah cara bagi individu untuk menciptakan tubuh yang beradab dibandingkan dengan tubuh hewan. Misalnya, banyak budaya mewarisi sistem kepercayaan bahwa individu tidak sepenuhnya manusia jika mereka tidak dimodifikasi atau dihiasi dengan praktik seperti tato, tindikan, dan skarifikasi[16], sehingga ide-ide tentang keinginan untuk memperbaiki kondisi manusia dengan berbagai cara ini pada dasarnya tidak baru. Maka dari hal tersebut transhumanisme dilihat sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki, memodifikasi dan mengubah kondisi manusia dan memajukan evolusi manusia dapat dipahami seperti yang diungkapkan atau dibahas oleh DeMello tersebut, artinya transhumanisme yang pada dasarnya membawa ide-ide kuno yang dihidupkan kembali, dan memberikan solusi-solusi konkret melalui peran teknologi masa depan dalam mewujudkan rancangan manusia akhir (post-human), yang tidak lagi tunduk pada keterbatasan.

    Akar filosofis transhumanisme membawa ide modifikasi selangkah lebih maju dengan keinginan untuk memperbaiki kondisi manusia. Seperti yang ditunjukkan, keinginan ingin melampaui dan meningkatkan manusia memiliki akar kuno. Sosiolog James Hughes juga memberikan penjelasan tentang bagaimana Ide-ide tentang keinginan untuk memperbaiki kondisi manusia dengan berbagai cara ini pada dasarnya tidak baru.

    Transhumanisme adalah ekspresi modern dari aspirasi kuno dan transkultural untuk secara radikal mengubah keberadaan manusia, secara sosial dan tubuh. Sebelum Pencerahan, aspirasi ini hanya diungkapkan dalam milenium agama, pengobatan magis, dan praktik spiritual[17]

    Adapun untuk mengetahui tentang sejarah atau pencetus istilah transhumanisme masih banyak yang memperdebatkannya, sehingga banyak mengklaim itu istilah yang cukup lama telah digunakan, akan tetapi beberapa referensi mengungkapkan tentang akar istilah transhumanisme itu sendiri yang ditemukan dalam teks penyair Dante Alighier[18] dengan menggunakan menggunakan kata "transumanare pada tahun 1312, yang mengacu pada melampaui manusia. Adapun kemudian istilah transhumanized digunakan juga oleh penyair TS Eliot[19] dalam dramanya The Cocktail Party" dari tahun 1949.

    Sedangkan penggunaan istilah transhumanisme dalam pengertian kontemporer secara terang mengacu pada Julian Huxley yang merujuk pada kuliah dua bagian yang dia berikan pada tahun 1951 yang disebut Pengetahuan, Moralitas, dan Takdir, sedangkan beberapa orang merujuk pada bab tentang transhumanisme dalam buku dengan judul New Bottles for New Wine pada tahun 1957, dimana di buku tersebut Huxley memberikan keterangan tentang transhumanisme sebagai Spesies manusia dapat, jika diinginkan, melampaui dirinya sendiri, tidak hanya secara sporadis, seorang individu di sini dalam satu cara, seorang individu di sana dengan cara lain, tetapi secara keseluruhan, sebagai umat manusia. Kami membutuhkan nama untuk kepercayaan baru ini. Mungkin transhumanisme akan melayani, manusia tetap menjadi manusia, akan tetapi melampaui dirinya sendiri, dengan menyadari kemungkinan-kemungkinan baru dari dan untuk kodrat manusianya.[20].

    Penggunaan istilah transhumanisme yang disampaikan oleh Huxley terasa lebih cocok dengan definisi More dari tahun 1990 daripada referensi lain yang disebutkan, seperti Alighieri dan Eliot, dia tidak mengubah pandangan evolusioner-nya menjadi posisi filosofis seperti definisi More. Catatan penting lainnya adalah bahwa definisi More juga diciptakan secara independen dari Huxley. Penggunaan istilah Huxley terungkap bertahun-tahun setelah istilah tersebut diciptakan sebagai bagian dari gerakan transhumanis kontemporer[21]

    Lebih jauh Huxley dalam buku yang sama mengatakan Saya percaya pada transhumanisme bahwa begitu ada cukup banyak orang yang benar-benar dapat mengatakan bahwa, spesies manusia akan berada di ambang jenis keberadaan baru, yang berbeda dari kita dan kita dari manusia Peking. Ia akhirnya akan secara sadar memenuhi takdirnya yang sebenarnya. Sehingga arti transhumanisme, bagaimanapun, telah berubah setelah Huxley. Sementara dia masih percaya bahwa manusia akan menjadi manusia yang tersisa dan menghubungkan transhumanisme dengan menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik serta teknik pengembangan spiritual, maka transhumanisme adalah sebuah kata kunci dalam pelanggaran batas biologis manusia melalui teknologi.[22]

    Sementara itu futuris Fereidoun M. Esfandiary, yang kemudian berganti nama menjadi FM-2030 (perubahan namanya tersebut sebagai proyeksi dirinya di masa depan, ia mengharapkan kebangkitannya sendiri, dimana tubuhnya akan diawetkan secara kriogenik setelah kematiannya pada tahun 2000, tiga puluh tahun sebelum ulang tahunnya yang ke-100 yang diharapkan), setidaknya sejak tahun 1970 FM-2030 kerap menggunakan istilah transhuman, dan dalam bukunya Are You Transhuman? yang ia terbitkan tahun 1989, memberikan pengertian tentang transhuman sebagai manifestasi paling awal dari yang baru evolusioner makhluk, dan memainkan peran guna menjembatani dalam evolusi manusia di masa depan. Ia-pun menerjemahkan transhuman adalah singkatan untuk manusia transisi, penghubung antara manusia dan posthuman. FM-2030 dianggap sebagai cikal bakal transhumanisme kontemporer. Dia (FM-2030) sangat berpengaruh untuk sayap transhumanisme kontemporer khususnya di Amerika Serikat, termasuk Natasha Vita-More (lahir sebagai Nancie Clark) yang pada akhirnya Natasha Vita-More menyusun Manifesto Transhuman pada tahun 1983[23]

    Selain FM-2030 yang menekankan peran cryonic untuk transhumanis adalah Robert Ettinger dalam bukunya yang berjudul Man into Superman pada tahun 1972, ia mengungkapkan bahwa pembekuan cryonic mungkin satu-satunya kesempatan bagi sebagian besar makhluk hidup untuk mendapatkan keuntungan dari teknologi transhuman masa depan. Pertanyaan tentang umur panjang pada dasarnya sangat penting dan sentral bagi sebagian besar transhumanis, sehingga menyeret juga seorang transhumanis kontemporer Max More (lahir sebagai

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1