Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Putri Kalingga
Putri Kalingga
Putri Kalingga
eBook367 halaman4 jam

Putri Kalingga

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Buku ini adalah sekuel kedua dari buku Janabadra : Jejak Tanah Leluhur. Sepeninggal istrinya di Bhubaneswar, Kerajaan Harsya di tanah Hindustan, Janabadra kembali ke Kalinggapura dan membawa serta puteri angkatnya, Nonggaranya. Di Kalingga, Janabadra menjadi pandhita utama di Vihara Sutta sekaligus bertindak sebagai penasehat raja Kalingga. Sementara Nonggaranya, tumbuh di bawah asuhan Nyi Embu dan Ki Dadungsato dan mendapat keterampilan memanah dan kanuragan sempurna baik dari orang tua asuhnya, maupun ayah angkatnya. Kemarian orang tua asuhnya di tangan gerombolan perampok membawa Nongga berpindah hidup bersama sang Mahaguru Janabadra di vihara dan mengubah dirinya menjadi Bikhuni Shima.

Setelah dewasa, kecerdasan Nongga memikat Ibu Ratu Wasundari, ibu suri kerajaan Kalingga yang masih membimbing sang raja muda, Kartikeyansingha. bahkan sang Ibu Suri berkenan mengangkat Bikhuni Shima sebagai puteri angkat, memberi gelar nama “Putri Dasima Shima” lalu memberinya jabatan menteri perdagangan.

Ketika Ibu Suri berkenan menjodohkan Shima dengan sang Raja, Sang bikhuni justru sedang penuh kecamuk dalam jiwanya. Dendamnya pada para pembunuh Nyi Embu, membawa dia meninggalkan Kalinggapura, menyusuri hutan dan gunung hingga nasib membawanya ke bukit Shambara, di mana ia mendirikan istanyanya sendiri, Maataram...

Kelak, ia kembali ke Kalinggapura ketika sang Ratu mengumumkan sayembara yang mengundang pemanah perempuan terbaik dari seluruh dwipantara...

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis21 Des 2023
ISBN9786234220148
Putri Kalingga
Penulis

Wibowo Wibidharma

Wibowo Wibidharma Lahir di Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia, 29 Januari 1962. Mengenyam pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan Magister Management (S2) - STMB/STT Telkom Bandung. Berminat pada Sejarah, Filsafat, Psikologi, Astronomi. Saat ini bekerja sebagai Leadership Consultant & Philosopical Terapist.

Terkait dengan Putri Kalingga

E-book terkait

Kategori terkait

Ulasan untuk Putri Kalingga

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Putri Kalingga - Wibowo Wibidharma

    Pentalogi Tanah Leluhur dikerangkai oleh peristiwa sejarah pra Mataram kuno yang terjadi pada masa sekitar abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi. Walau demikian Tanah Leluhur harus dipandang sebagai karya fiksi, peristiwa sejarah hanya dijadikan dasar untuk mengisi kisah tentang nilai-nilai. Pentalogi ini bermaksud mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah, mengingat semua tingkah laku manusia selalu digerakan oleh nilai-nilai. Pada dasarnya sejarah mencerminkan dua hal, pertama sejarah sebagai kisah obyektif di masa lalu yang dibuktikan secara keilmuan. Kedua, sejarah sebagai peristiwa subyektif para tokohnya yang memiliki nilai-nilai, yang mendasari kisah sejarah itu sendiri. Misal, sejarah mengetahui bahwa Candi Borobudur adalah candi Buddha yang dibuat pada masa Maharaja Syailendra. Jika tidak ada bukti Syailendra beragama lain maka dugaan Syailaenda beragama Buddha adalah hal yang logis. Mungkin saja Syailendra beragama lain tapi dugaan ke arah sana tidaklah logis karena tidak didukung oleh bukti lainnya.

    Di samping ‘dugaan logis’, Tanah Leluhur juga memakai ‘imajinasi logis’, yakni ‘pendekatan logis’ terhadap peristiwa dan tokoh sejarah yang bergerak berdasarkan nilai-nilai yang dianut pada saat peristiwa sejarah terjadi. Misalnya, Shima menjadi ratu pengganti karena menurut catatan sejarah ia adalah permaisuri dari Raja Kartikeyan yang menyerahkan tahktanya karena menyingkir untuk menjadi petapa. Imajinasi logis juga digunakan untuk menciptakan persitiwa, nama-nama dan tokoh imajiner sebagai pengisi kekosongan peristiwa sejarah dan diperlukan sebagai jembatan untuk menggulirkan nilai-nilai yang dianut pada saat itu. Pendekatan logis yang dimaksud adalah, logika formal yang secara universal digunakan; logika ‘bukan ini bukan itu’, logika ‘sebab-akibat’ dari ajaran Buddha, serta dialektika dari Hindu dan Kejawian, yang pada masa itu dianut.

    Pada akhirnya novel ini juga menggunakan pendekatan meditatif, yakni pendekatan yang selalu digunakan para resi dan raja pada masa itu ketika menghadapi kebuntuan. Sehingga karya ini bisa dipandang sebagai renungan pribadi tentang nilai ‘baik dan buruk’ dari leluhur yang masih mengalir mengikuti sejarah manusia Indonesia hingga saat ini. Dahulu manusia Indonesia dapat menerima Hindu-Buddha tanpa meninggalkan nilai-nilai leluhurnya; sekarangpun masih berinteraksi dengan dasar nilai yang sama walau telah memiliki agama formal yang berbeda-beda. Semoga bermanfaat.

    1

    Kerajaan Kalingga di Maataram

    Nyi Embu baru saja melepas kepergian suaminya. Sejak pagi buta telah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan suaminya untuk berburu ke hutan; mulai dari menyiapkan sarapan pagi dan perbekalan hingga merapikan peralatan berburu. Bahkan mengasah golok, pisau, mata panah dan tombak pun telah dilakukannya sejak dua hari sebelumnya. Tugas mengasah memang diserahkan kepada Nyi Embu karena menurut suaminya, mengasah senjata membutuhkan perasaan. Dan Nyi Embu memang ahli mengasah persenjataan, ayahnya seorang mpu pembuat persenjataan, tapi kini sudah tiada. Ki Dadungsato pertama kali bertemu Nyi Embu saat memesan mata panah. Ayah Nyi Embu ternyata menyukai ki Dadung dan menjodohkan dengan putrinya; tentu saja Ki Dadung senang karena Nyi Embu cantik dan pintar. Sejak ayahnya tiada, Nyi Embu diboyong oleh Ki Dadung dari kota ke desa karena Ki Dadung merasa tidak berbakat menjadi pembuat senjata, ia hanya bisa berburu.

    Pada masa itu mencari nafkah dengan berburu masih dilakukan walaupun sudah jarang yang menekuninya karena kebanyakan orang sudah memilih cara yang lebih mudah, yakni bertani dan memelihara ternak. Hanya orang-orang tertentu yang masih mencari nafkah dengan berburu, biasanya melanjutkan tradisi keluarga; keahlian berburu diwariskan secara turun temurun. Pada masa itu perburuan justru makin banyak dilakukan oleh kalangan bangsawan termasuk raja, di samping untuk bersenang-senang juga dimanfaatkan untuk menguji ketrampilan memanah dan melempar tombak. Bangsawan adalah pejabat tinggi kerajaan, yang tugasnya sudah menyangkut perihal kebijakan kerajaan.

    Ki Dadung Sato dan Nyi Embu sudah belasan tahun menikah tapi mereka belum dikaruniai anak. Pernah ada orang yang mengolok-olok bahwa Ki Dadung lebih menyukai kerbau dari pada menggauli istrinya, oleh sebab itu istrinya tak pernah hamil. Ki Dadung amat tersinggung dan orang yang mengolok-olok dihajar oleh Ki Dadung hingga babak belur. Sejak saat itu tidak ada yang berani mengolok-olok hal seperti itu kepada siapapun. Pada masa itu, tidak memiliki keturunan adalah hal yang sudah amat menyedihkan, tidak usah lagi dijadikan bahan olok-olok. Ada orang yang mengalami nasib serupa, dihajar oleh Nyi Embu karena menggoda Nyi Embu yang sedang kesepian. Walau sudah sedikit berumur, Nyi Embu memang masih terlihat cantik, hidungnya mancung badannya sintal dan segar. Orang itu belum tahu bahwa Nyi Embu bukan wanita sembarangan, ia menguasai ilmu kanugaran. Ayahnya tidak hanya pandai membuat senjata tetapi juga mahir memainkannya. Nyi Embu adalah anak tunggal yang selalu diajari banyak keterampilan oleh ayahnya.

    Nyi Embu memang sering kesepian ditinggal sendiri di rumah selama berhari-hari bahkan suaminya pernah tidak pulang sampai berminggu-minggu. Beberapa kali pernah ikut suaminya berburu, tetapi akhirnya suaminya melarang karena perkerjaan itu amat berbahaya bagi perempuan. Suaminya tidak sekedar mencari binatang buruan biasa tetapi juga berburu macan dan ular besar. Ki Dadung sering menerima pesanan dari kalangan istana untuk menangkap macan, baik macan loreng, macan tutul maupun macan kumbang. Pekerjaan yang amat sulit dan berbahaya karena harus membawanya dalam keadaan hidup.

    Saat ditinggal suaminya berburu, Nyi Embu selalu pergi ke ibukota, di samping menjual hasil buruan juga untuk membeli mata tombak dan panah. Nyi Embu tahu bagaimana memilih mata panah yang bagus dan mengujinya sendiri. Karena seringnya melakukan hal itu, orang-orang di kota mengenal sosok Nyi Embu sebagai perempuan yang pandai memanah dan melempar tombak.

    Ibu kota kerajaan sudah sangat ramai, banyak dihuni pendatang dari berbagai penjuru. Ada orang-orang bermata sipit mengunakan jubah yang disebut kayasa, mereka giat menyebarkan ajaran baru. Pihak istana tampaknya tidak keberatan bahkan ikut belajar dan menyediakan tempat bagi mereka untuk berkumpul dan mengajar, tempat itu dinamakan vihara tetapi ada sebagian orang yang menyebutnya ‘klenteng’ karena dari tempat itu sering terdengar suara lonceng yang berbunyi klenteng...klenteng. Ada juga orang-orang berhidung mancung hilir mudik di kota, mereka pada umumnya dekat dengan kalangan bangsawan di istana. Konon mereka adalah bangsa Hindi yang masih berkerabat dengan keluarga raja.

    Ada pelabuhan besar di ibukota, banyak kapal-kapal besar milik para saudagar kaya raya merapat di sana. Mereka membawa barang-barang bagus dari negeri jauh, berupa pakaian yang berwarna-warni, gerabah, perhiasan, peralatan dan hiasan logam serta banyak lagi pernak-pernik lainnya untuk dijual. Pulangnya mereka mengangkut rempah-rempah serta hasil hutan lainnya dari bumi Maataram. Nyi Embu takjub melihat kapal-kapal besar itu. Suatu kali seorang istri bangsawan yang biasa membeli daging ular darinya, mengajak masuk ke dalam salah satu kapal itu.

    Ibukota menjadi sungguh ramai dan sibuk, banyak orang lalu-lalang keluar masuk pasar dan di sepanjang jalan makin banyak bermunculan kedai-kedai. Para pendatang banyak berkumpul dan makan di kedai-kedai, mereka berebut makanan karena harganya murah. Pada malam hari ibu kota juga tidak tidur, masih menyediakan tempat remang-remang untuk plesiran dan berjudi. Plesir artinya wisata, tempat plesir di malam hari artinya tempat pelacuran. Plesiran banyak dikunjungi oleh orang-orang kaya yang dengan mudah dapat mengeluarkan kepingan emas dan perak dari kantongnya. Perempuan-perempuan cantik yang menjajakan diri, hamburan kepingan emas dan perak telah memancing perasaan iri dan dengki dari dalam diri orang yang tidak bisa memperolehnya. Orang-orang yang telah dikuasai oleh rasa iri dan dengki berusaha mencari cara untuk merebut, mencuri atau merampok.

    Bagi Ki Dadungsato dan Nyi Embu, juga bagi kebanyakan orang-orang pedesaan, kehidupan kota adalah ‘dunia lain’ yang sama sekali berbeda. Negari dan kerajaan, adalah dua kata yang berbeda arti amat jauh. Negari adalah, ibu pertiwi, tempat awal mula dan tanah tumpah darah; negari adalah kehidupan, tempat menjalani kehidupan, tempat mencari makan, tempat berlindung di hari tua dan tempat akhir untuk dikuburkan kelak. Negeri adalah Maataram, ibu dari kehidupan di bumi.

    Kerajaan adalah orang-orang asing yang menjelajah dan menjajah, menumpang hidup pada Maataram. Mereka ingin hidup raharja tetapi tidak memiliki lagi tanah tumpah darah, ibu pertiwinya telah direbut oleh kerajaan lain, mereka lari, menjelajah dan menjajah ke negari lain. Kemudian raja membangun istana, memperluas wilayah dengan cara memaksa agar dapat bertahan hidup lebih lama. Mereka pun membuat prajurit untuk merebut dan mempertahankan wilayahnya. Raja membuat peraturannya sendiri dan yang melanggar aturan raja akan dihukum, digantung atau dipenggal kepalanya.

    Kehidupan yang aneh dari para raja, pikir Nyi Embu.

    Bagi Nyi Embu kehidupan di desa lebih bersahaja, tidak ada orang yang iri dengki, tidak ada orang yang ingin merebut milik orang lain. Segala persoalan diselesaikan dengan musyawarah, untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik. Tidak ada raja yang membuat aturan; keteraturan dan ketentraman datang dengan sendirinya, alam yang mengajarkannya. Orang-orang Jawa hanya menyesuaikan diri pada kemauan Maataram.

    Benar, perkembangan kota telah memberi kemudahan bagi Nyi Embu. Ia dapat menjual hasil buruan suaminya dengan mudah di kota, juga dapat langsung membeli mata panah dan mata tombak tanpa harus memesan terlebih dahulu dari seorang mpu. Para pedagang telah banyak yang menjualnya, walau tidak sebagus buatan ayahnya tetapi cukup digunakan untuk berburu. Tetapi perkembangan kota juga telah membuat hidupnya mengalami kesulitan. Sifat iri dan dengki lambat laun menjalar hingga kepedesaan.

    Beberapa kali Nyi Embu harus menghadapi para begal yang berusaha merampoknya di tengah hutan dalam perjalanan pulang dari kota. Ia selalu menggunakan pedati yang ditarik kerbau jika pergi ke kota untuk menjual hasil buruan suaminya, rupanya gerak-geriknya telah diperhatikan sejak berada di kota. Para begal itu bukanlah orang asing, bahkan mungkin dua atau tiga dari mereka tinggal satu desa dengannya karena itu mereka merasa perlu mengenakan kain penutup wajah. Bukan Nyi Embu jika tidak berhasil lolos dari perampokan itu, dua orang perampok menemui ajalnya, seorang tertebas parang tajam dan seorang lagi perutnya tembus oleh lemparan tombak Nyi Embu. Tiga perampok lainya lari ketakutan, seorang diantaranya lari dengan terpincang-pincang karena dipahanya tertancap sebuah anak panah.

    Sejak peristiwa perampokan itu, Nyi Embu selalu ditemani oleh dua orang saudara laki-laki suaminya jika hendak pergi ke kota. Sejak saat itu pula tak banyak orang bisa lolos dari perampokan, para perampok telah membekali diri dengan ilmu silat tingkat tinggi. Perampokan mulai merajalela, pencurian di rumah-rumah terjadi di mana-mana baik di kota maupun di pedesaan. Nyi Embu tetap menjadi incaran para perampok karena dianggap memiliki banyak kepingan emas dan perak, rumahnya pun memiliki lumbung padi yang cukup besar.

    Sejak peristiwa perampokan itu, Ki Dadung menjadi selalu khawatir jika meninggalkan istrinya di rumah seorang diri. Niatnya tidak bulat, penuh keraguan jika hendak pergi berburu, hal itu telah mengganggu konsentrasinya dalam berburu. Ia pun terluka dalam suatu perburuan, kakinya patah terkena tanduk kerbau hutan hingga tidak bisa berburu lagi. Istri bangsawan kenalan Nyi Embu menyarankan agar Ki Dadung beralih prosesi menjadi nelayan. Maka sepasang suami istri tanpa anak itu pun sepakat untuk pindah ke pesisir utara.

    Nyi Embu didaulat untuk menjadi guru pemanah bagi putri-putri bangsawan. Seorang bangsawan menyediakan rumah bagi Nyi Embu di ibu kota agar dapat melakukan pekerjaannya dengan mudah, mengajar putra putri bangsawan. Nyi Embu menjadi terkenal sebagai guru pemanah yang piawai, kepala bikhu pun memohon agar Nyi Embu mau mengajarakan ilmu kanuragan di vihara bagi para bikhuni. Di sanalah Nyi Embu mengenal Rama Pandita Janabadra. Nyi Embu tinggal di rumah yang terletak di pantai di antara rumah-rumah para nelayan, untuk memudahkan Ki Dadung belajar menangkap ikan di laut. Di saat suaminya belajar melaut hingga berhari-hari tidak pulang ke rumah, Nyi Embu disarankan oleh Rama Pandita Janabadra untuk menginap di vihara. Beberapa bikhuni yang sedang belajar kanuragan dari Nyi Embu bisa diajak bercakap-cakap jika Nyi Embu sedang merasa kesepian. Nyi Embu senang menerima saran itu, bukan karena kesepian tetapi lebih karena tempat itu dekat dengan keraton. Nyi Embu sangat mengagumi keindahan kraton. Jika memungkinkan ia akan menatapnya berlama-lama. Ia pun sering bermimpi tinggal di dalam kraton. Betapa senang jika itu terjadi walau hanya semalam, pikirnya. Di saat bulan purnama, Nyi Embu selalu mengajak putri angkatnya duduk-duduk di alun-alun untuk menyaksikan gemerlapnya kraton sambil bersenandung melantunkan salah satu syair Mahabarata yang telah digubah dalam bahsa Jawa:

    Lêng lêng ramya nikang candra kumênyar,

    mangrêngga rum ning puri,

    mangkin ta pasiring,

    halêp ikang umas emas,

    lwir murub ing angkasa,

    têkwan sarwa manik,

    tawingnya sinawung saksat sêkar ning suji,

    ungwan Banowati yanamrêm mwang nata Duryudana.

    Sungguh indah mempesona pancaran cahaya bulan,

    menghias elok di keraton,

    semakin tiada bandingnya,

    keindahan rumah emas itu,

    seakan menyala di langit,

    apalagi ada bermacam permata,

    melapisi tirainya bagaikan bunga yg dirangkai,

    itulah tempat Banowati bercengkrama

    dengan Prabu Duryudana.

    [Seandainya saja waktu membawanya ke masa depan, Nyi Embu akan sangat bangga melihat putri angkatnya mengenakan jubah berhias ratna mutu manikam memerankan Banowati yang duduk di atas kursi kencana di sebelah raja.]

    Pada waktu lalu, ketika sudah beberapa kali Nyi Embu datang ke rumah bangsawan yang biasa membeli daging ular, istri bangsawan itu pernah berkata kepada Nyi Embu, Aku iri padamu, engkau cantik dan berhidung mancung. Apakah ayah atau ibumu keturunan orang Hindi?

    Bukan. Ibu orang desa dan ayahku hanyalah seorang mpu. Mungkin hidung ini menurun dari ayahku, jawab Nyi Embu tersipu sambil menyentuh hidungnya.

    Beberapa waktu kemudian ketika mengantarkan hasil buruan lagi, Nyi Embu ditanya lagi, kali ini oleh bangsawan itu sendiri, Siapa nama ayahmu, Nyi Embu?

    Ayahku bernama Wasuwaja, orang-orang memanggilnya Mpu Wasu, jawab Nyi Embu.

    Dari nama ayahnya, bangsawan itu berkeyakinan bahwa Nyi Embu masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Resi Wasumurti.

    ***

    Sejak kembali ke Kalinggapura, Janabadra diangkat oleh raja menjadi anggota dewan penasehat raja. Para pemuka ajaran hindu mengangkat Janabadra sebagai resi, para bikhu buddha mentahbiskan Janabadra menjadi bikhu; orang kebanyakan memanggilnya Rama Pandita Janabadra. Di samping bertugas menjadi Dewan Penasehat Raja, Janabadra pun sibuk menerjemahkan sutra-sutra nirvana yang pernah disalinnya bersama Ojas di Kuil Uruvela. Sutra-sutra itu diterjemahkannya kembali dalam bahasa Jawa dan Sunda untuk diajarkan di vihara oleh Janabadra sendiri. Banyak siswa-siswa berdatangan dari berbagai negeri untuk belajar Sutra Nirvana. Bahkan seorang putri dari Kerajaan Tang sengaja datang ke Kalinggapura untuk belajar pada Bikhu Janabadra.

    Kaisar Li Zhi, penguasa Negeri Tang juga mengutus seorang bikhu bernama I Tzing untuk pergi ke anak benua Hindi mencari sutra-sutra tentang nirwana. Ketika tiba di Harsya, ia disarankan agar mencari Bikhu Janabadra di Negeri Taruma. Bikhu I Tzing pun melanjutkan perjalanan ke Taruma setelah singgah di Srivijaya terlebih dahulu. Di Negeri Taruma, I Tzing mendapat keterangan bahwa Rama Pandita Janabadra sudah lama tiada. Bikhu I Tzing heran karena belum lama ini mendapat keterangan dari para bikhu di Uruvela bahwa mereka melihat Bikhu Janabadra telah menyalin ratusan naskah.

    Para bikhu di Taruma kemudian menyarankan agar I Tzing pergi ke Kalinggapura karena di sana ada seorang bikhu yang mahir berbahasa Putong Hua, maksudnya adalah Rama Pandita Purnama. Maka I Tzing pun pergi ke Kalinggapura dengan maksud menemui Rama Pandita Purnama tetapi setelah tiba di Kalinggapura justru bertemu langsung dengan Rama Pandita Janabadra. Mereka berdua pun segera menerjemahkan sutra-sutra nirvana dalam bahasa Putong Hua, persisnya ada enam puluh Sutra Nirvana berhasil diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Putong Hua.

    Janabadra menjadi semakin termasyur hingga ke negeri-negeri yang jauh bahkan sampai ke negeri yang sama sekali tidak dikenalnya. Di negeri masa depan yang amat jauh, namanya pun masih disebut-sebut. Janabadra dikenal sebagai seorang bikhu buddha yang cerdas, juga dikenal sebagai resi hindu yang berilmu tinggi. Hampir semua ajaran Buddha baik yang sudah berupa kitab-kitab maupun yang masih tercerai berai telah dibacanya, demikian pula semua kitab ajaran Brahman, kitab-kitab Hindu Syiwa dan Wisnu telah dipahaminya. Para bikhu buddha dan resi hindu mengaguminya bahkan raja sangat menghormati Janabadra sebagai cendikiawan. Setiap hari Janabadra bergumul dengan buku-buku, tetapi semakin memahami isinya, semakin merasa asing pada kitab-kitab itu. Janabadra mengingat Resi Wanabadra dan merindukan masa-masa kecil Cantrik Longok Dempet bersama Ni Laras.

    Suatu hari baginda raja mengumpulkan para penasehatnya di balairung. Para resi hindu, pendeta buddha, para tetua istana termasuk ibu suri dan patih sepuh berkumpul. Mereka semua adalah orang-orang berpengalaman dan ahli di bidangnya masing-masing. Rata-rata sudah berumur di atas lima puluh tahun kecuali Janabadra yang saat itu masih berusia empat puluh tahun. Raja duduk di atas singgasana didampingi oleh permaisuri; dan raja langsung mengutarakan maksudnya. Resi Niyamaya, bagaimana jika seluruh penduduk di wilayah kerajaan ini diwajibkan memeluk ajaran Syiwa? Raja berkata sambil melihat kepada Resi Niyamaya.

    Resi Niyamaya tampak kaget dan terdiam seperti sedang mencerna kembali kata-kata raja. Resi penganut Syiwa itu tampak senang setelah yakin dirinya telah mendengar dengan baik maka ia pun segera menjawab, Ampun Paduka, menurut hamba sudah sepatutnya memang begitu. Para hamba dan kawula harus mengikuti keyakinan rajanya.

    Mengapa demikian resi? Raja minta penjelasan.

    Kerajaan akan menjadi tertib, penduduk akan menjadi patuh karena dengan mudah dapat memahami peraturan rajanya. Semua peraturan kerajaan didasari oleh keyakinan rajanya. Dasar dari semua peraturan kerajaan adalah kitab-kitab yang dipercayai oleh rajanya. Jika penduduk menyakini kitab yang sama maka penduduk akan menjadi patuh, jawab sang resi.

    Lebih dari itu, jika nilai-nilai keluhuran yang ada di hati hamba dan kawula sama dengan yang ada di hati rajanya maka raja pun akan dengan mudah memahami kebutuhan hamba dan kawulanya. Raja menjadi tahu apa yang disukai dan apa yang diinginkan penduduk, demikian juga sebaliknya, lanjut Resi Niyamaya.

    Semua masih terdiam, merenungi pertanyaan raja dan penjelasan Resi Niyamaya. Sebenarnya sejak awal semua yang hadir kaget mendengar pertanyaan Raja Kirathasingha dan tidak mempercayai bahwa raja ingin mewajibkan seluruh penduduk memeluk ajaran Syiwa.

    Apakah benar penduduk selalu patuh pada ajaran yang diyakininya, wahai resi?

    Ampun Paduka, pada umumnya penduduk selalu patuh pada ajaran gurunya karena hanya itu yang dianggap paling berharga oleh mereka.

    Tampaknya bagus Resi, bagaimana pendapatmu Rama Pandita Purnama?

    Ampun paduka, dalam beberapa hal hamba sependapat dengan Resi Niyamaya tetapi masalahnya apakah keyakinan orang bisa diganti, jika itu dianggap sebagai sesuatu yang paling berharga? Rama Pandita Purnama menjawab.

    Pendapat yang amat berharga Rama Pandita, tetapi sebentar saya ingin bertanya terlebih dahulu kepada Resi Mukunda, sela raja dan langsung bertanya pada Resi Mukunda tentang hal serupa.

    Resi Mukunda seorang pemuka ajaran Whisnu segera berbicara, Ampun paduka, penduduk di wilayah Pasir Luhur pada umumnya penganut Whisnu, demikian juga di kerajaan Nusatembini, di pesisir laut selatan hampir seluruh penduduknya menyembah Batara Whisnu. Ketika wilayah-wilayah itu dikuasai Galuh, mereka sangat loyal kepada Raja Wretikandayun yang juga penganut Whisnu. Benar seperti yang dijelaskan oleh Resi Niyamaya, abdi dan raja akan saling mendukung jika memiliki satu keyakinan yang sama. Sebaliknya raja dan abdinya akan saling tidak menyukai jika keyakinannya berbeda seperti yang terjadi di Karesian Kendan dahulu. Wretikandayun tidak suka tinggal di Kendan karena sebagian besar penduduk di sana memeluk ajaran Syiwa. Itulah sebabnya Raja Wretikandayun memindahkan ibukota ke Kamulyan dan melebur Karesian Kendan dan Medangjati menjadi satu, yakni menjadi Kerajaan Galuh seperti yang kita ketahui sekarang.

    Ke arah mana engkau ingin berpendapat, Resi Mukunda? potong raja karena belum mendapatkan intisari pembicaraan itu.

    Ampun Baginda, sebelum Galuh menguasai Pasir Luhur dan Nusatembini, penduduk di sana belum mengenal ajaran Whisnu, Raja Wretikandayunlah yang mengajarkannya. Tampaknya penduduk di sana lebih cocok dengan ajaran Whisnu, hamba sudah beberapa kali ke sana sejak wilayah itu ditinggalkan Galuh, hampir semua penduduk di wilayah itu adalah penganut Whisnu yang taat. Apakah itu berarti ajaran Whisnu lebih bisa diterima oleh penduduk pada umumnya? Resi Mukanda mulai terlihat membela ajaran Whisnu.

    Resi Mukunda, bukankah engkau juga mengetahui sejarah bahwa penduduk Kendan sebelumnya juga bukan penyembah Syiwa, bukankah Resi Guru Manikmaya yang mengajarkannya? Bukankah itu juga berarti ajaran Syiwa bisa diterima oleh penduduk pada umumnya atau hanya tatar Sunda saja yang mudah menerima ajaran baru? Raja menyanggah pikiran Resi Mukunda.

    Resi Mukanda terdiam. Raja kemudian berpaling kepada Rama Pandita Janabadra agar menceritakan pengalaman ketika bertugas di wilayah Taruma.

    "Ampun baginda, hamba cukup lama tinggal di wilayah Sunda. Hamba pernah bercakap-cakap dengan Raja Wretikandayun di Kendan, hamba juga sering bercakap-cakap dengan Maharaja Nagajayawarman sebelum wafat. Tidak seluruh penduduk Sunda mudah menerima ajaran baru. Di banyak daerah lain semua ajaran baru, baik itu ajaran Brahman, Syiwa, Whisnu maupun Buddha ditentang dan ditolak dengan keras karena mereka telah memiliki keyakinannya sendiri, yakni Sunda Luhur Mulya. Semakin dipaksakan, pertentangan itu menjadi berdarah dan memakan korban jiwa."

    Rama Pandita Purnama, adakah cara bagus untuk mengubah keyakinan penduduk agar tidak menimbulkan pertentangan dan pertumpahan darah? Adakah pengalaman tentang itu? tanya beralih pada Bikhu Shankara Sharma.

    Bikhu Shankara Sharma yang biasa dipanggil dengan sebutan Rama Pandita Purnama terhenyak mendengar pertanyaan itu, terdiam sesaat untuk mencari jawaban atas pertanyaan sulit itu. Sebagai bikhu buddha, harus hati-hati menjawab pertanyan yang bisa menjebak dirinya dalam masalah besar. Tampaknya raja bersungguh-sungguh menginginkan ajaran Syiwa dianut oleh seluruh penduduk. Resi Mukunda terlihat murung sedangkan Resi Niyamaya tampak puas, sang raja sedang berupaya agar ajaran syiwa menjadi kepercayaan tunggal di Kerajaan Kalingga.

    Rama Pandita Janabadra pun tampak serius menyimak setiap pembicaraan, dan berpikir untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya yang diinginkan raja. Raja Kirathasingha sesungguhnya telah mendengar bahwa ajaran Buddha mulai menyebar secara meluas di wilayah Kerajaan Kalingga; Raja pun tahu bahwa banyak bangsawan di lingkungan istana menyukai ajaran itu. Raja juga sedikit banyak memahami ajaran Buddha karena di samping belajar dari para bikhu, juga mempelajarinya sendiri. Raja Kirathasingha bukanlah orang yang fanatik pada ajaran Syiwa; sejak dulu bisa saja melarang atau mencegah ajaran lain berkembang tetapi tidak dilakukannya; ia sesungguhnya toleran pada ajaran lain bahkan cenderung menyukai cara-cara Buddha. Persoalan sesungguhnya bukanlah soal bagaimana mengubah keyakinan agar seluruh penduduk menganut ajaran Syiwa, tetapi sang raja sesungguhnya ingin agar penduduk menjadi patuh sehingga raja lebih mudah memerintah dan melanggengkan kekuasaannya. Benar, salah satu cara yang efektif adalah menyamakan keyakinan penduduk dengan keyakinan rajanya tetapi itu sangat berbahaya. Janabadra masih heran mengapa rajanya tiba-tiba menginginkan hal berbahaya seperti itu.

    Rama Pandita Purnama akhirnya membuka suara, "Ampun beribu ribu ampun paduka, sebagai seorang bikhu Buddha tugas hamba adalah membabarkan dhamma. Para bikhu memang memiliki cara-cara agar seseorang menemukan jalan menuju pencerahan. Pembabaran dhamma dilakukan pada satu orang demi satu orang, dari hati ke hati, dan itu pun hanya dilakukan kepada orang yang masih bimbang dan belum memiliki keyakinan yang melekat di hatinya. Sejarah telah mencatat, penyebaran kepercayaan yang ceroboh telah menimbulkan pertumpahan darah yang hebat.

    Hakekat suatu kepercayaan adalah agama yang menyelamatkan orang per orang. Jika tidak demikian agama akan berubah menjadi ajaran yang membuahkan malapetaka. Itulah sebabnya kami di sini melakukannya dengan sangat hati-hati dan itu pun masih dicurigai; kami sudah mencium gelagat ada yang tidak menyukai kehadiran para bikhu. Demikian paduka, cara kami menunjukan jalan menuju pencerahan kepada orang-orang yang masih bimbang, satu per satu dari hati ke hati. Hamba tidak tahu bagaimana atau benarkah Resiguru Manikmaya dahulu dan Raja Wretikandayun melakukannya kepada banyak orang secara sekaligus?"

    "Rama Pandita, apakah mungkin penyebaran agama dapat dilakukan melalui pengajaran atau pengajaran umum

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1