Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Aku Ingin Meniup Balon
Aku Ingin Meniup Balon
Aku Ingin Meniup Balon
eBook149 halaman1 jam

Aku Ingin Meniup Balon

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Ketika SD, pelajaran mengarang dalam bahasa Indonesia adalah favorit Aik Vela. Saat itu, menulis baginya adalah menceritakan apa saja yang Ia temui pada perjalanan wisata bersama keluarga atau pengalaman berkebun bersama kakek dan nenek. Menginjak SMP, Aik mulai tertarik pada teks-teks pidato bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ide-ide tentang ketokohan seperti tokoh Kartini, Soekarno, Hatta, dan guru-guru di sekolah menjadi modalnya menulis dengan semangat patriotik. Tingkat SMA-lah yang kemudian membawa Aik pada lingkungan baru, yaitu lingkungan seni dan sosial. Ia menulis naskah lakon operet dan beberapa puisi yang menggambarkan rasa ingin tahu yang kuat tentang seni teater. Masuk ke perguruan tinggi negeri, Ia mulai rajin menulis cerpen dengan berbagai pendekatan, seperti dengan mendengarkan lagu, melihat film, hingga dengan melihat fenomena yang terjadi di sekitar. Selain cerpen, ada pula naskah drama dan puisi yang ia tulis dengan membebaskan diri dalam dunia fantasi. Aik menulis dengan memasukkan segenap perasaan yang muncul kala itu. Ketika masuk dunia kerja dengan menjadi pengajar SD di daerah yang sulit dijangkau, Ia baru benar-benar merasakan jika Ia butuh menulis sebagai bentuk rekam jejak pengalaman spiritualnya dalam mengelola ekspektasi dalam kondisi yang sangat terbatas. Hingga akhirnya Ia menikah, menulis menjadi hal yang istimewa karena dengan menulis Ia merasa telah memberi penghargaan pada perjalanannya selama ini. Kumpulan cerita pendek berjudul Aku Ingin Meniup Balon ini adalah upayanya berbagi tentang sedikit perjalanan menulis. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis20 Des 2023
ISBN9786027949966
Aku Ingin Meniup Balon
Penulis

Aik Vela

AIK VELA PRATISCA lahir di Magetan, 20 September 1990. Pertama kalinya menerbitkan kumpulan cerpen berjudul aku Ingin Meniup Balon ini dari beberapa tulisan yang sudah ditulis dan menjadi koleksi pribadi sejak tahun 2012. Aktif dalam kegiatan teater sebagai aktor, sutradara, dan penulis naskah drama sejak SMP. Sempat menjadi Pengajar Muda Angkatan 8, Gerakan Indonesia Mengajar, tahun 2014/2015. Peraih Program Seniman Pasca Terampil, Padepokan Bagong Kussudiardja tahun 2016. Sekarang tinggal di Yogyakarta bersama suami.

Terkait dengan Aku Ingin Meniup Balon

E-book terkait

Ulasan untuk Aku Ingin Meniup Balon

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Aku Ingin Meniup Balon - Aik Vela

    Aku kehilangan harapan ketika Iyung[1] pergi tanpa aku sadari. Rabu Pon tanggal 2, bulan kesebelas 2005. Tepat ketika aku dan semua saudaraku terlelap dalam alunan ayat suci Al Quran sepanjang malam menuju seperempatnya. Tepat ketika aku menghela napas panjang setelah menyaksikan jiwa nenekku yang berontak pada kematian.

    Setiap kali detik itu menggema dalam benakku, saat itu pula hatiku meredup. Seketika menjadi abu-abu dan menggigil. Aku menyesal. Aku menyesal karena mengacuhkan Iyung. Aku menyesal karena selalu membantah nasehatnya. Aku menyesal karena tidak bisa melayaninya waktu stroke. Getun iku mesti ana ing mburi. Sungguh, diriku tidak akan sekuat ini sebelum melalui penyesalan itu.

    Iyung telah menjadi pengasuhku sejak aku bayi. Meskipun ibuku hanya bekerja dari pagi hingga sore, aku lebih senang kenthil[2] Iyung. Sering aku digendong ke kebun bayam belakang rumah, ketika usiaku 3 tahun. Bahkan hingga usiaku 5 tahun menginjak TK, Iyung masih mau menggendongku ke tukang urut saat badanku panas. Iyung percaya bahwa setiap anak yang sakit pada intinya owah, tidak seimbang antara kekuatan raga dan pikiran. Jadi, perlu diluruskan sendi-sendinya yang bengkok karena cuaca atau virus yang sedang mewabah. Pokoknya Iyung mengerti betul bagaimana merawatku.

    Iyung juga sangat giat bekerja. Setiap hari selasa dan kamis berjualan kembang di pasar besar Madiun. Kadang sayur-sayuran seperti daun bayam, ketela pohon, kangkung, Iyung jual sebagai tambahan jika sedang sepi pembeli kembang. Aku selalu menitipkan pesanan jajan pada Iyung.

    "Kembang jambu ya, Yung? Karo manggis."

    "Iyo, La."

    Dan Iyung tidak pernah mengingkari janjinya. Iyung bawakan kembang jambu satu bungkus plastik kresek ukuran sedang, manggis satu kilo, dan krupuk lempeng sebagai bonusnya. Jika dagangan tidak begitu laku, Iyung akan mengajakku ke Mbok Jami penjual jamu untuk membelikanku jamu unthuk[3] kesukaanku. Setidaknya sebagai ganti jika Iyung pulang dengan tangan kosong.

    Namun, semuanya berubah ketika hari itu, Iyung pulang dari pasar dengan raut wajah yang berbeda. Tubuhnya lunglai karena selama tiga hari berada di pasar. Mengejar pembeli yang ramai menjelang Maulid Nabi. Tidak seperti biasa Iyung begitu pucat. Iyung tidak mau banyak bicara. Ia hanya berbaring dan diam. Aku mencoba mendekat, tapi Iyung masih diam. Kecemasannku mulai timbul. Kupanggil ayah dan ibu, serta kakekku yang sedang di kebun. Semua merubung, dan Iyung tiba-tiba pingsan.

    Setelah hari itu, semuanya berubah. Iyung ternyata mengidap darah tinggi. Iyung dilarang pergi ke pasar lagi. Hanya di rumah dan dilarang bekerja berat. Tapi Iyung tidak bergeming. Setiap pagi Iyung jalan-jalan kecil di jalanan RT rumah. Tidak ingin dianggap sakit. Tidak mau dikasihani. Iyung selalu minta berobat setiap kali badannya terasa tidak enak. Iyung selalu minta diperhatikan seperti anak kecil. Jika kemauannya tidak dituruti, Iyung akan menangis. Itu membuatku tidak nyaman.

    "Aku ndak bisa ngantar Kek. Aku ada les matematika. Nunggu ibu pulang kerja saja."

    "Yo, tanah[4] aku nyusahne ae. Jaluk gone pak Mantri ae ora oleh," katanya sambil menangis ketika aku menolak permintaannya ke dokter.

    "Oalah Yung. Tunggu sebentar kan bisa. Aku ada lomba matematika antar SMP sekecamatan besok," aku pergi dengan meninggalkannya begitu saja.

    Aku kesal menghadapi perilaku Iyung. Semakin lama Iyung semakin cerewet. Apalagi ketika Iyung mulai lumpuh dan tidak bisa bergerak tanpa bantuan kakekku. Kadang bicara ngelantur kalau aku tidak tepat tindakan. Salah mengambilkan bajunya, Iyung hanya cemberut lalu melemparnya di depanku. Salah mengambilkan air putih untuk minum obat, Iyung tiba-tiba membuangnya dan memanggil kakekku untuk mengambilkannya. Salah terus yang aku lakukan. Aku semakin kesal. Bahkan, hingga bibirnya mulai perot, Iyung masih seperti anak kecil

    Hatiku semakin dongkol. Iyung selalu menyusahkanku. Banyak permintaan dan semuanya harus kuturuti. Aku lelah menghadapinya. Aku merasa Iyung menyusahkanku. Aku masih ingin gembira dengan kakek dan nenekku. Aku masih ingin dibantu saat mengerjakan tugas keterampilan tangan dari sekolah. Aku tidak ingin menjadi sedih, lalu teman-temanku bertanya ini itu padaku. Dan aku benci menceritakannya. Aku berharap Iyung tidur satu jam saja, agar aku bisa pergi sholat tarawih dua hari terakhir menjelang Idul Fitri.

    Seperti geledek di siang hari. Pikiranku itu kuhadapi sebagai kenyataan yang tidak bisa aku tarik. Siang itu rumahku ramai. Kakek, ayah, ibu, paman, bibi, sepupu, dan beberapa tetangga di samping rumahku berkumpul di ruang tamu tempat nenekku berbaring seperti biasa. Aku menggaruk kepala ‘tak mengerti. Tiba-tiba ibu menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.

    "Ayo, La. Mlebu[5] Iyung sedang butuh bantuan."

    Tapi, Bu...

    "Wis to, ayo cepat!" Ibu terus menggandengku sampai ke kerumunan itu.

    Ternyata Iyung. Iyung lemas tak berdaya. Tubuhnya dingin, matanya terpecam, tapi mulutnya tidak berhenti bicara sakit dan sakit.

    "Astagfirlah hal azim, Yung, nyebut Yung," ayahku menyangga tubuh Iyung sambil membisikkan asma Allah.

    "Bu, Iyung kenapa?"

    "Jangan nangis. Bantu Iyung supaya cepat sadar," Ibu menghapus air mataku yang tak sadar mengalir di pipi.

    "La, ambil surat yasin. Ayo ngaji di dekat Iyung," Mbok Karmi, tetangga kanan rumahku bergegas menyuruhku mengambil buku yasin.

    Aku bingung seperti cacing kepanasan. Aku melihat kecemasan banyak orang di tempat itu. Takut. Aku semakin takut melihat wajah Iyung tanpa guratan rasa.

    "Laila ha illallah, Yung, tirukan Yung. Laila ha illallah..." pamanku menggantikan ayah menegakkan tubuh Iyung yang lemas.

    "Laila ha....illallah..." Iyung mencoba menirukan, tapi kata-katanya semakin tidak jelas.

    Semuanya panik. Aku justru menangis lebih keras sambil membaca surat yasin berulang-ulang. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tidak berani mendekati Iyung. Aku terus berdoa dan meminta Tuhan tidak memutuskan hal yang buruk pada Iyung. Aku masih ingin Iyung hidup dan mewujudkan keinginannya untuk melihatku menikah kelak.

    Dan tiba-tiba suasana panik itu mereda setelah kakak kandung nenekku datang.

    "Heh, ora oleh jaluk ngono. Kabeh iki kersane Gusti. Awakmu ora oleh ndisiki."

    "Timbang aku lara terus kaya ngene kang, luwih becik ndang..."

    "Hus, aja diterusne. Saiki ora usah ngomong ae. Ayemna atimu. Mesakne anak putumu nek awakmu ngene terus," mbah Senin mencoba menghentikan rintihan Iyung.

    Seketika Iyung terdiam dan mulai tenang. Aku pun mulai berani mendekatinya dan memijat tangan kanannya. Semua orang yang tadinya berkumpul mengitari Iyung, perlahan berlalu.

    La...

    "Ya, Yung."

    "Sepurane,"[6] Iyung berkata lirih dan menyentuh tanganku yang sedang memijat tangan kanannya dengan tangan kirinya.

    "Ya, Yung, aku kebingungan menjawabnya. Hanya Ya".

    "La, pergio ke masjid Pak Slamet. Nanti malam suruh beberapa santri kesini untuk mendoakan Iyung," kata ayah lirih didekat telingaku.

    "Kaya aku arep mati ae, diyasini. Ora usah!" tolak Iyung yang mendengar kata-kata ayahku itu.

    "Tapi Yung..."

    "Ora usah! Aku emoh!" Iyung menolak kembali.

    "Pun, Iyung manut saja. Ya, La?" ayah memandangku seolah memberi tanda agar aku tetap menuruti perintah ayahku itu.

    "La, aku emoh[7] Aku ndak akan mati hari ini. Aku masih ingin melihatmu menikah. Apa awakmu tega?" Iyung memohon padaku dan aku tak kuasa menolak, lalu aku mengangguk.

    Ayah menyuruhku membiarkan Iyung beristirahat dengan kutemani. Aku bingung harus berbuat apa. Aku begitu kasihan melihat Iyung. Aku takut Iyung lebih parah jika aku melakukan perintah ayah yang tidak disukai Iyung. Tapi waktu benar-benar mendesakku untuk segera berbuat. Dengan memejamkan mata, aku mengambil keputusan untuk tidak melaksanakannya. Namun, aku tidak berani bilang pada ayah. Bahkan aku berbohong pada ayah telah melaksanakan perintahnya menemui Pak Slamet. Padahal, aku malah bersembunyai di rumah tetanggaku ketika saatnya sholat tarawih.

    "La, neng ngendi kowe?" ayah berteriak memanggilku dari depan pintu setelah selesai sholat tarawih.

    Aku sangat takut. Tapi aku tidak bisa lari kemana-mana.

    "Katanya tadi kowe sudah ke rumah Pak Slamet. Tapi tadi di masjid Pak Slamet bilang kamu tidak ke rumahnya sama sekali. Nyapo kowe bohong?"

    Aku tidak berani menjawab. Aku takut. Aku hanya diam dan mataku berkaca-kaca.

    "Hah, yo wis. Untung Pak Slamet dan santri-santri mau didhadak[8] Sudah sana! Bantu ibu buat minum!" ayah mencoba bersabar untuk menyuruhku.

    Aku tidak berani menatap Iyung. Iyung pasti kecewa padaku karena aku tidak menepati permohonannya. Aku takut apa yang ditakuti Iyung menjadi kenyataan.

    Sekitar 15 santri berbondong-bondong memasuki ruang tamu rumah. Mereka duduk bersila dan memandang ke arah Iyung yang sedang berbaring tak berdaya. Mereka mulai membaca

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1