Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Wanita Beristri
Wanita Beristri
Wanita Beristri
eBook104 halaman1 jam

Wanita Beristri

Penilaian: 5 dari 5 bintang

5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Kisah nyata Asha February Abia, seorang wanita lesbian muda berdarah Indonesia – India yang menjalani kehidupan ganda demi bertahan hidup bahagia di lingkungan yang menentangnya. Dia menolak lamaran Fariz, satu-satunya pria yang dia cintai dan menikahi Bisma hingga berakhir dengan perceraian. Dalam waktu bersamaan dia menjalin hubungan dengan wanita.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitParis York
Tanggal rilis30 Mei 2020
ISBN9780463472026
Wanita Beristri
Penulis

Paris York

A lover and a dreamer...

Baca buku lainnya dari Paris York

Terkait dengan Wanita Beristri

E-book terkait

Kategori terkait

Ulasan untuk Wanita Beristri

Penilaian: 4.8 dari 5 bintang
5/5

5 rating1 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 4 dari 5 bintang
    4/5
    Menarik ceritanya, tapi saya masih penasaran bagaimana kabar vicky wkwkwk

Pratinjau buku

Wanita Beristri - Paris York

Prologue

INI BUKAN KISAH sebuah novel atau film. Ini adalah kisah hidupku. Enggak ada yang diedit hanya untuk mengurangi bebannya. Enggak ada yang ditambah-tambahkan hanya untuk meningkatkan nilainya. Hidupku memang mengalir seperti sebuah soap opera Jerman Verboten Liebe yang bertahan bertahun-tahun, yang disaksikan orang sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Namun jika ada yang mengangkat kisah hidupku ke dalam sebuah film, hmm aku berharap Aishwarya Rai memerankan diriku. Alasannya? Karena dia cantik dan aktris yang baik. Enggak ada alasan lain. Dan di tangan sutradara Woody Allen, rasanya hidupku bisa berubah menjadi sebuah drama dengan bumbu komedi percintaan yang fenomenal. Syukur-syukur mendapat piala Oscar sebagai Best Adapted Screenplay. Berkhayal sah saja bukan?

Namaku Asha February Abia. Wanita berdarah Indonesia – India yang lahir pada Februari 35 tahun yang lalu. Ayahku yang hidup sebatang kara, meninggalkan Bombay (sekarang Mumbai) ketika masih remaja. Beliau sempat tinggal di Bangkok, Hongkong dan Singapura, sebelum akhirnya berlabuh di hati ibuku dan menetap di Bandung, Indonesia. Cinta lah yang menghentikan petualangan dalam hidupnya. 

Aku dan Adikku Adnan, besar di lingkungan Islam yang cukup kuat. Meski kami lahir dari dua etnis yang berbeda, namun orang tuaku lebih memilih kami dibesarkan dengan adat dan tradisi Indonesia. Jadi jangan kira aku mahir menari di antara pepohonan di tengah hujan atau membuat masakan India. Menginjakan kaki sejengkal pun di negeri Sahrukh Khan itu saja belum pernah. Hanya saja Ayahku sering menjejali kami dengan puluhan film India favoritnya. Belum lagi kami harus terbiasa mendengar lagu-lagu India setiap pagi! Dan ya, kami terbiasa. Namun terlepas dari itu semua, aku mencintai segala perbedaan yang ada dalam hidupku. Dan enggak sekalipun terbersit keinginan untuk menukar hidup dengan orang lain. Karena inilah satu-satunya hidup yang kumiliki...

The worst loneliness is to not be comfortable with yourself.

Mark Twain

2009

SEMBILAN JAM MENJELANG akad nikah, Fariz menelepon. Andai saja mungkin, tentu aku akan lebih memilih dia menjadi pendamping hidupku. Namun sudah lah, aku tahu pikiran itu harus dibungkam. Fariz sudah memiliki kehidupan lain bersama istri dan anak perempuannya di Shanghai. Dan meski aku tahu bahwa dia enggak pernah berhenti mencintaiku, rasanya tetap enggak adil jika aku berpikiran seperti ini. Fariz sudah memberiku kesempatan. Dan pernikahan ini adalah kesempatanku untuk memilih jalan hidupku sendiri. Dan Bisma adalah pria yang aku pilih, tanpa paksaan atau perjodohan.

Meski sudah pukul satu malam, rumahku masih saja ramai dengan segala persiapan akad nikah besok. Bahkan ibuku masih terlihat menunjuk ini itu dan berjalan kesana kemari bersama beberapa orang dari Wedding Organizer.

Setelah pintu kamar kukunci, aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, di antara baju pengantin dan perhiasan. Aku terima telepon Fariz pada loudspeaker.

Gimana kabar kamu, sehat? tanyanya.

Alhamdulillah, sehat. Kamu gimana? jawabku dengan perasaan sedih bercampur bahagia. Sedih karena dia enggak bersamaku saat ini. Bahagia karena dia meneleponku. Bahagia hingga rasanya ingin kupeluk telepon berukuran 10 x 5 cm ini. Enggak bisa dipungkiri kalau aku memang mencintai lelaki ini. Bahkan gak pernah berhenti mencintainya.

"How’s Vivian? Vivian adalah istrinya. And Mika?"

Aku baik-baik saja. Vivian juga. Dan Mika sekarang sudah besar. Buat ukuran anak tujuh tahun, dia sudah cukup mandiri. Dia anak yang cerdas dan gemesin banget. Kamu harus ketemu dia, jawabnya penuh gairah.

"Sudah dua tahun kamu gak pulang ke Jakarta. Pulang, dan ajak Mika. Aku pengen ketemu kalian. I miss you, you know." Semua menjadi tiba-tiba hening. Enggak ada jawaban dari ujung telepon disana selama beberapa detik. Sempat kuduga kalau sambungan telepon sudah terputus. Sampai akhirnya kemudian terdengar suara helaan napas panjangnya.

Aku juga kangen kamu, jawabnya kemudian, pelan. Saking pelannya sampai aku harus menekan telingaku ke ponsel supaya bisa lebih jelas mendengar suaranya. Aku selalu ingat kamu, Asha... Aku selalu berdoa buat kebahagiaan kamu. Dan sejak kamu bilang mau menikah, aku semakin berdoa kuat untuk kamu. Fariz sayang sama kamu. Fariz ingin kamu bahagia, tambahnya.

Bisa kurasakan suara pelannya bergetar menahan letupan perasaan. Air mataku gak sanggup menahan dirinya dari terjatuh. Semakin kuat keinginanku untuk memeluknya. Dan kini giliranku yang hening gak bersuara. Sungguh aku gak tahu harus jawab apa. Saat ini aku gak mau bicara apa pun, aku cuma mau dia ada disini, memelukku.

"Do you love him?"

"Hmm there’s so much things I love about him, jawabku. Tapi kamu enggak usah khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan, Iz. Aku enggak akan menikahi siapa pun jika aku enggak siap. Aku enggak akan mengambil keputusan tanpa alasan. Dan Bisma orang yang tepat untuk aku nikahi. Dia pilihanku..."

Aku tahu ada keraguan dan ketidakrelaan Fariz soal keputusanku menikahi Bisma. Tapi untunglah Fariz cukup tahu situasi bahwa memang sudah bukan waktunya lagi membuatku memperimbangkan keputusanku kembali. Dilain sisi, ini enggak ada kaitannya dengan perasaanku kepadanya, atau perasaannya kepadaku. Ini semata sebuah keputusan. Keputusan untuk memilih jalan hidupku sendiri, sama seperti halnya ketika dia memilih hidup tanpa diriku beberapa tahun lalu.

Ya udah. Kamu jaga diri baik-baik. Aku enggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Aku hanya berdoa buat kebahagiaan kamu, Asha. Aku benar-benar mau kamu bahagia.

Aku bahagia, Iz. Aku bahagia. Percaya.... 

AKU ENGGAK MENGADA-ada. Memang benar, aku bahagia. Tepat pukul sembilan pagi keesokan harinya dengan mengenakan baju pengantin warna putih, aku dan Bisma melakukan ijab qabul di hadapan kedua orang tua kami, saudara, dan para sahabat. Prosesi yang berlangsung kurang dari satu jam ini pun kemudian meresmikan kami sebagai sepasang suami istri. Dan semua orang terlihat bahagia.

Ini adalah hari yang penting dalam hidupku. Penting bagiku untuk membahagiakan Ayah dan Ibu. Meski enggak banyak menuntut atau menyindir soal pernikahan, aku tahu pasti bahwa hati kecil mereka ingin melihat putri satu-satunya menikah. Buatku sendiri ini adalah sebuah keharusan. Bahwa aku berkewajiban membahagiakan mereka, tanpa harus mengorbankan diriku sendiri. Dan gak akan pernah sekalipun aku akan menyesali peristiwa hari ini di kemudian hari.

Setelah prosesi ijab qabul selesai dan orang-orang menikmati hidangan yang tersedia, aku dan Bisma duduk di atas pelaminan kecil yang setiap sudutnya menghembuskan wangi bunga

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1