Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas
Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas
Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas
eBook125 halaman1 jam

Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas

Penilaian: 5 dari 5 bintang

5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini


Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu di aula milik pak Abdul, yang menjadi ketua cabang sebuah organisasi masyarakat (ormas). Di aula itu aku menyaksikan para anggota ormas berdiskusi. Suatu ketika, ketika pak Abdul dan para anggota ormas melakukan aksi bakti sosial untuk korban kebakaran, aku dipanggil tante Fazira, istri pak Abdul.

Tante Fazira meminta aku untuk membantunya. Bantuan yang sama sekali tidak aku duga.

Bantuan seperti apa? Dan apa yang terjadi selanjutnya?
 

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis25 Mar 2023
ISBN9798215809891
Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas

Baca buku lainnya dari Enny Arrow

Terkait dengan Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas

E-book terkait

Romansa untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas

Penilaian: 5 dari 5 bintang
5/5

1 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Digoyang Fazira, Istri Ketua Ormas - Enny Arrow

    Diterbitkan oleh

    EnnyArrow Digitals

    Versi Baru

    Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

    Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari Penerbit

    Sebagaimana diceritakan Daniel Narada

    1

    SELANG setahun terakhir, tak lama setelah situasi mulai mereda dengan mulai hilangnya pandemi Covid-19, aku sering menghabiskan waktu di sore hari di kediaman pak Abdul Hamid. Bukan hanya aku, namun banyak rekan sebaya di kompleks.

    Pak Abdul Hamid memang menyediakan lokasi nongkrong bagi anak muda seperti kami. Tempat nongkrong itu dibangun persis di samping rumahnya. Samping rumah pak Abdul tadinya merupakan tanah lapang yang cukup luas. Dulu tanah lapang itu sering kami jadikan sebagai tempat bermain sepak bola.

    Sebelum Covid melanda, tanah lapang itu dibeli oleh pak Abdul. Tanah lapang kemudian diubah menjadi beton. Lapisan tanah dijadikan lantai beton.

    Tak lama kemudian pak Abdul menambahkan atap pada bagian yang dilapisi tembok itu. Di bagian tepi dipasang semacam pagar yang terbuat dari balok kayu yang artistik.

    Ketika FIFA World Cup di Qatar berlangsung, tempat itu dijadikan lokasi nonton bareng. Setiap malam tempat itu ramai didatangi puluhan laki-laki, baik anak muda maupun lelaki dewasa.

    Sekitar sebulan setelah Piala Dunia Qatar berakhir, pak Abdul Hamid terpilih sebagai ketua cabang sebuah organisasi massa (ormas) terkenal di  Indonesia. Sejak saat itu, kediaman pak Abdul, terutama ‘aula’ yang berada di samping rumahnya dijadikan sebagai markas bagi ormas itu. Setiap hari ada puluhan warga yang datang untuk bercakap-cakap dan mendiskusikan berbagai persoalan. Sebagian besar dari warga itu datang mengenakan kaos atau rompi dengan logo ormas itu.

    Aku dan beberapa teman sekompleks, meski bukan anggota ormas, namun sering juga ikut bergabung. Biasanya kami hanya mendengarkan para anggota ormas itu mendiskusikan kondisi tanah air, serta berbagai isu penting yang sedang terjadi. Sebagai ‘simpatisan’, kami hanya menjadi pendengar meski sesekali kami juga ikut nimbrung memberikan pendapat.

    Pak Abdul Hamid juga sesekali ikut dalam diskusi. Biasanya jika pak Abdul berbicara, para peserta mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian. Pak Abdul punya kharisma sebagai pemimpin. Gaya bicaranya tidak meledak-ledak namun sangat pas.

    Pak Abdul mampu membicarakan beragam persoalan penting dengan halus namun meninggalkan kesan mendalam bagi para pendengar. Dia juga memiliki wawasan yang tajam dengan analisa yang juga sangat dalam.

    Biasanya, usai berdiskusi, pak Abdul Hamid menekankan pentingnya bertindak santun dan sopan kepada masyarakat. Pak Abdul mengingatkan, banyak ormas di Jakarta yang justru ditakuti dan bukannya dicintai. Pak Abdul ingin para anggota dan simpatisan ormas ini bisa bertindak benar sehingga dicintai masyarakat.

    Pak Abdul Hamid mengingatkan anak buahnya untuk tidak bersikap semaunya. Bahwa sekarang bukan masanya anggota ormas bertindak arogan dan semaunya kepada masyarakat.

    Dulu banyak anggota ormas yang bertindak arogan dengan tujuan supaya dihormati masyarakat. Anggapan seperti itu sudah ketinggalan jaman. Sekarang bukan saatnya kita bertindak semaunya pada masyarakat dan mengharapkan penghormatan dari mereka, begitu biasanya apak Abdul berkata.

    Pesan agar anggotanya selalu bertindak santun dan sopan selalu diingatkan pak Abdul kapan saja dia punya kesempatan.

    Ungkapan dan pesan pak Abdul kelihatannya dipatuhi para anggotanya. Di kecamatan tempat kami bermukim, bahkan hingga di kecamatan lain, perilaku anggota ormas yang dipimpin pak Abdul sangat terpuji. Para anggota kelihatannya berusaha sekuat tenaga untuk mengubah imej buruk anggota ormas yang dulu ditakuti dan tidak disukai warga.

    2

    PAK Abdul Hamid memiliki seorang istri dan satu anak perempuan yang masih SD. Istri pak Abdul bernama Fazira, tepatnya Fazira Danaya.

    Tante Fazira berwajah cantik jelita dengan tubuh yang langsing semampai. Namun bukan itu yang membuat tante Fazira menarik.

    Sama seperti pak Abdul, tante Fazira punya kharisma unik, yang membuat semua orang menjadi segan dan hormat. Ada sesuatu dalam diri tante Fazira yang membuat kami menaruh respek yang besar padanya.

    Biasanya, sebagaimana anak muda, kami sering membicarakan dan mendiskusikan kecantikan sejumlah perempuan, baik yang masih gadis maupun istri orang yang bermukim di kompleks perumahan. Biasanya dalam percakapan bernuansa senda gurau itu kami membicarakan kecantikan dan bentuk tubuh, terutama bagaimana kira-kira tampilan yang bersangkutan jika tidak mengenakan busana. Dalam berbagai percakapan bernuansa dewasa itu, nama tante Fazira sama sekali tak pernah muncul. Seolah ada sesuatu dalam diri tante Fazira yang membuat kami enggan dan sungkan untuk membicarakan dirinya.

    Tante Fazira sesekali berinteraksi dengan kami, para pengunjung yang mendatangi ‘aula’ di samping rumah. Biasanya kedatangan tante Fazira untuk melakukan inspeksi.

    Sejak awal, semenjak bagian samping rumahnya dijadikan tempat nongkrong, tante Fazira menerapkan satu aturan tegas yang tak bisa dilanggar. Yakni, siapapun yang datang, dia tak boleh merokok. Berkali-kali tante Fazira menegaskan kalau sekitar rumahnya itu merupakan kawasan bebas rokok.

    Jika ada yang ingin merokok, tante Fazira mempersilakan yang bersangkutan untuk merokok di tempat lain, dan baru mendatangi ‘aula’ setelah rokoknya habis.

    Awalnya kebijakan ‘dilarang merokok’ itu masih dilanggar oleh beberapa pengunjung. Namun ketegasan tante Fazira yang tak mau kompromi akhirnya membuat para perokok tak berani menyalakan rokoknya di ‘aula’ itu. Tante Fazira tak segan-segan untuk mengusir siapapun yang kedapatan merokok di tempat itu.

    Aku sendiri tidak merokok, jadi larangan tante Fazira sama sekali tidak berdampak apa-apa bagiku. Namun bagi beberapa teman lain, larangan tante Fazira benar-benar membuat mereka tersiksa. Bagi mereka, berdiskusi sambil merokok, apalagi jika ditemani kopi pahit, itu sangat menyenangkan. Namun apa daya, sosok tante Fazira yang disiplin membuat para perokok tak berani mengambil resiko.

    Pak Abdul sendiri sepanjang yang aku tahu tidak merokok. Menurut cerita pak Abdul, dulu dia termasuk perokok berat. Adalah tante Fazira yang akhirnya mampu membuat kebiasaan buruk pak Abdul itu hilang.

    Selain larangan merokok, tante Fazira juga berkali-kali menekankan, tak ingin aula atau pendopo di samping rumahnya dijadikan tempat minum minuman keras hingga mabuk-mabukan.

    Berbeda dengan larangan merokok yang tergolong susah untuk dipatuhi, larangan untuk

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1