Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Perjakaku Direnggut Calon Mertua
Perjakaku Direnggut Calon Mertua
Perjakaku Direnggut Calon Mertua
eBook157 halaman1 jam

Perjakaku Direnggut Calon Mertua

Penilaian: 3.5 dari 5 bintang

3.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Ketika untuk pertama kali aku berkunjung ke rumah kekasihku Amira, Jakarta dilanda banjir. Daerah di sekitar perumahan yang ditempati pacarku kebanjiran.

 

Karena tak bisa pulang, tante Sophia, ibu Amira menyarankan agar aku menginap. 

 

Kemudian terjadi sesuatu. Sesuatu yang mengubah hidupku selamanya.

 

Apa itu? Silakan ikuti kisah yang mendebarkan ini...
 

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis27 Nov 2021
ISBN9798201566111
Perjakaku Direnggut Calon Mertua

Baca buku lainnya dari Enny Arrow

Terkait dengan Perjakaku Direnggut Calon Mertua

E-book terkait

Romansa Kontemporer untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Perjakaku Direnggut Calon Mertua

Penilaian: 3.6530612244897958 dari 5 bintang
3.5/5

49 rating5 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    Ceritanya seru dan mantap untuk di baca dengan di temani kopi dan rokok
  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    Ceritanya seru. Keren banget. Ceritanya asyiiik dan buat penasaran. Rekomendasi untuk di baca.
  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    Keren banget novel zaman dulu sensasi luar biasa pokoknya bikin merinding deh hehe
  • Penilaian: 2 dari 5 bintang
    2/5
    Cerita asiiiikkk dan menegang kan.bikin merinding dah,pokok nya keren sangat.
  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    Keren ceritanya untuk menghilangkan penat dan cape setelah seharian bekerja

    4 orang merasa ini bermanfaat.

Pratinjau buku

Perjakaku Direnggut Calon Mertua - Enny Arrow

Diterbitkan oleh

EnnyArrow Digitals

Versi Baru

Berdasarkan peristiwa yang benar-benar terjadi

Sebagaimana diceritakan

Fandi Ahmad Mulyadi

1

JAKARTA di waktu malam. Jalanan ramai. Lampu jalan menghadirkan semburat aneh.

Aku memacu sepeda motorku membelah jalanan. Dadaku berdebar.

Ini yang pertama kali bagiku berkunjung ke rumah Amira, pacarku. Selama berbulan-bulan menjalin hubungan cinta, ini untuk pertama kali aku akan berkunjung ke rumahnya.

Aku dan Amira berkenalan di acara kampus. Kami berasal dari kampus yang berbeda di Jakarta. Kami dikenalkan oleh teman. Setelah itu, kami beberapa kali bertemu, masih dalam kaitan dengan acara kampus.

Kemudian Covid 19 menghantam dunia, termasuk Indonesia. Kami masih sempat bertemu beberapa kali ketika perkuliahan masih berlangsung.

Kemudian perkuliahan tatap muka dihentikan. Perkuliahan dijalani secara online. Hubungan pertemanan kami berlanjut lewat online.

Kemudian, di suatu ketika, aku menyatakan cinta. Aku menanyakan apakah dia bersedia menjadi kekasihku. Menjadi pacarku.

Amira setuju.

Sejak itu, setiap hari kami bertemu dan berkencan. Tidak benar-benar bertemu sebenarnya karena kami bertatap muka melalui ponsel masing-masing. Kadang-kadang laptop.

Hubungan cinta via online kami lakoni hampir setahun penuh. Hingga kurva Covid di Indonesia mulai melandai. Jakarta yang sempat kelabakan dan menjadi salah satu provinsi dengan tingkat positif  tertinggi di Indonesia, akhirnya hidup kembali.

Perkuliahan mulai dibuka, meskipun belum seratus persen. Mall mulai dibuka. Restoran mulai dibuka.

Aku dan Amira akhirnya bisa bertemu secara langsung. Kami bisa bertatapan muka secara face to face, tak lagi menggunakan gawai.

Awalnya kami bertemu di rumah teman Amira yang juga temanku. Kemudian kami bertemu di mall. Lalu restoran. Lalu mall lagi. Bagi anak muda seperti kami, mall merupakan lokasi pacaran yang menyenangkan.

Namun aku belum puas. Aku ingin merasakan apa yang disebut dengan apel. Apel di sini bukan nama buah, melainkan istilah ketika seorang lelaki mengunjungi rumah pacarnya. Aku ingin mengunjungi rumah kekasihku.

Aku ingin bertemu dengan orang tuanya. Setidaknya, aku ingin diperkenalkan sebagai kekasih Amira.

Ketika pertama kali mengajukan ide agar aku berkunjung ke rumahnya, Amira menanggapi dengan raut wajah khawatir.

Mamaku galak banget Fandi, begitu kata Amira.

Galak gimana?

Ya galak. Pake banget...

Emang mama kamu gak ijinin kamu pacaran? Aku bertanya sedikit penasaran.

Gak juga sih...

Lalu kenapa?

Ya itu tadi, mamaku itu galak. Rada judes. Aku hanya gak mau kalau kamu berkunjung, dan mamaku kumat judesnya, dan kamu gak mau pacaran dengan aku lagi, Amira berujar perlahan

Alasan Amira bisa kuterima. Namun dalam beberapa kesempatan berikutnya, aku selalu mengajukan ide untuk mendatangi rumahnya.

Cepat atau lambat aku kan harus ke rumah kamu. Kita ini pacaran jadi wajar dong jika aku ke rumahmu, begitu kataku.

Amira terdiam. Dia kemudian mengatakan akan menanyakan ke mamanya, apakah aku diijinkan berkunjung ke rumahnya.

Kalu papa kamu gimana?

Papa lagi di Bali. Papa punya bisnis di Bali dan harus berada di sana. Dulu sih biasanya mama seminggu sekali ke Bali tapi karena Covid, terutama karena kewajiban PCR mama jadi malas ke Bali. Jadi biasanya papa yang ke sini, Amira menjelaskan panjang lebar.

.

Baiklah, kamu tanya mama kamu dan kasih kabar ya, kataku.

Amira mengangguk setuju.

Aku menanti dengan hati berdebar. Dan akhirnya, kabar baik itu datang. Mama Amira tak keberatan jika aku berkunjung ke rumahnya.

Kata mama datang aja kalau mau datang, begitu kata Amira melalui ponsel.

Dan begitulah. Ketika malam mulai merayap di Jakarta, aku memacu sepeda motorku membelah jalanan.

Aku bisa merasakan dadaku berdebar. Aku akan bertemu dengan orang tua kekasihku. Jika beruntung dan hubungan kami berlanjut, aku akan bertemu dengan calon mertua.

Calon ibu mertua.

Aku merasa dadaku berdebar semakin kencang.

Aku merasa gugup bercampur takut.

2

AKHIRNYA aku tiba. Aku mengamati foto rumah yang dikirimkan Amira kepadaku melalui layanan pesan singkat WA. Rumah yang sedang kulihat sama persis dengan foto yang dikirimkan kekasihku. Jadi aku berada di alamat yang tepat.

Perlahan aku membuka pintu pagar yang kecil. Rumah Amira memiliki dua pagar, yakni yang besar dan digeser dan yang kecil yang bisa dibuka seperti pintu biasa.

Rumah Amira terlihat asri, terbuat dari beton dua lantai. Rumah ini bercat coklat muda atau yang semacam itu. Di depan rumah ada taman kecil berisi beraneka tanaman hias. Sebuah mobil berwarna putih terlihat di garasi samping kanan rumah.

Aku memencet bel di pintu. Bel berdentang dua kali. Aku kembali berdebar.

Hanya mereka yang pernah mengalami ketika berkunjung yang pertama kali di rumah sang pacar yang tahu persis bagaimana perasaanku. 

Ada perasaan deg-degan. 

Ada perasaan gelisah. 

Ada perasaan takut yang sukar diungkapkan.

Di dentang bel yang ketiga, pintu terbuka. Yang membukakan pintu seorang gadis cantik yang mengenakan kaos berwarna merah dengan celana jins sebatas lutut. Gadis itu tersenyum ketika melihatku. Amira.

Mari masuk Fand... Amira mempersilakan aku masuk. Dia tersenyum. Namun samar aku bisa melihat kegelisahan pada sepasang matanya yang indah.

Aku memasuki ruang tamu. Aroma dingin AC menyambutku. Aku menggigil. Aku tak tahu apakah itu memang karena dinginnya AC atau karena aku yang merasa gugup.

Tak jauh dari ruang tamu, terlihat ruang santai. Seorang perempuan nampak sedang menyaksikan tayangan televisi. Di pangkuannya nampak sebuah majalah.

Amira memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya. Aku mengikuti Amira yang jelas sekali terlihat agak takut-takut.

Ma... mama... kenalin Ma, ini Fandi, teman Mira... Amira berujar perlahan. Fan, kenalin ini mama. Mmm... Sophia...

Mama-nya Amira, tante Sophia melirikku sekilas. Aku bisa merasakan aura dingin dari sorot matanya. Aura dingin yang seketika membuat aku semakin gugup.

Teman? Bukan pacar? Tante Sophia berujar dingin sambil menatap putrinya itu.

Amira terlihat agak salah tingkah.

Ya teman ma, teman dekat... teman istimewa... Amira berujar bercampur tersipu.

Teman dekat... teman istimewa apaan. Bilang aja pacar kenapa sih? Tante Sophia berujar ketus. Dia kemudian mengambil remote televisi dan memencet berkali-kali.

Kamu kuliah apa kerja? Tante Sophia bertanya sambil matanya menatap televisi.

Kuliah tante... jawabku berusaha terdengar sesopan mungkin.

Kuliah di mana? Tante Sophia kembali bertanya.

Aku menyebut nama fakultas dan universitas tempatku kuliah.

Hmm... beda universitas ya? Kalian ketemunya di mana? Tante Sophia kembali bertanya.

Ihhh mama, apaan sih? Kok kayak polisi yang menginterogasi tahanan aja... Amira berujar manja. Dia kemudian menggamitku. Kami ke depan ya Ma...

Kami pun beranjak ke ruang tamu di depan.

3

KAYAKNYA so far so good, aku berujar perlahan. Amira mengangguk. Wajahnya masih terlihat agak tegang namun dia sudah jauh lebih rileks dibanding sebelumnya.

Sebenarnya tadi agak ketus sih, tapi yah lumayan. Setidaknya kamu masih ditanya-tanya, bukannya dianggap gak ada, kata Amira lagi.

Kami pun berbincang. Karena tempat duduk kami tidak terlalu jauh dengan tempat tante Sophia, kami sengaja bercakap perlahan. Kami duduk berdekatan di kursi sofa.

Semakin lama, perasaan gugup di antara kami mulai sirna. Kami mulai bisa berbincang dengan lebih santai. Sesekali kami saling bercanda.

Tiba-tiba aku melihat tante Sophia berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri kami.

Kok gak disuguhi minum Mira? Tante Sophia bertanya sambil melihat ke meja yang kosong.

Mmm... Amira tergagap, tak menduga mendengar pertanyaan ini.

"Fandi ini... eh bener kan? Namanya Fandi? Fandi ini gimana-gimana tamu

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1