Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Digoyang Airin
Digoyang Airin
Digoyang Airin
eBook136 halaman1 jam

Digoyang Airin

Penilaian: 4 dari 5 bintang

4/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Guna membantu ayahku yang tertimpa musibah, aku terpaksa meminjam uanag sebesar 75 juta rupiah kepada temanku, pasangan Rahmat Umar dan istrinya Airin.

 

Sebagai konpensasi pembayaran bunga pinjaman, Rahmat memintaku menjadi sopir pribadi Airin. Awalnya, hubunganku dengan Airin berlangsung dingin, terutama karena sikapnya yang judes dan jutek.

 

Kemudian terjadi sesuatu, yang berawal ketika kami mengunjungi sebuah butik milik teman Airin. Apa yang terjadi? Ikuti kisahnya...
 

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis3 Jun 2022
ISBN9798201670511
Digoyang Airin

Baca buku lainnya dari Enny Arrow

Terkait dengan Digoyang Airin

E-book terkait

Romansa Kontemporer untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Digoyang Airin

Penilaian: 3.7714285714285714 dari 5 bintang
4/5

35 rating2 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    ceritanya asik dinikmati dan sangat bikin merinding bacanya sampai aku ulang-ulang

    1 orang merasa ini bermanfaat.

  • Penilaian: 5 dari 5 bintang
    5/5
    Kisahnya sangat menarik dan menimbulkan gairah baru kepada istri tercinta

    3 orang merasa ini bermanfaat.

Pratinjau buku

Digoyang Airin - Enny Arrow

Diterbitkan oleh

Enny Arrow Digitals

Edisi Baru

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Sebagaimana diceritakan Daniel Narada

1

AKU udah bicara dengan Airin istriku. Kami setuju untuk memberi kamu pinjaman, Rahmat Umar berujar sambil tersenyum.

Wah makasi banget bro. Makasi banget... Aku berujar cepat, penuh semangat. Di saat yang sama aku merasa seolah ada batu besar yang disingkirkan dari dadaku.

Kami akan memberi pinjaman 75 juta rupiah, sebagaimana yang kamu butuhkan. Namun ingat, ini pinjaman. Jadi harus kamu kembalikan. Juga pinjaman ini ada bunganya, Rahmat kembali berujar.

Aku lagi-lagi mengangguk. Aku mengangguk dengan cepat. Iya, tentu saja aku akan bayar. Meski harus nyicil tapi pasti aku bayar.

Sip sip, kata Rahmat. Semoga 75 juta ini bisa untuk menyelesaikan urusan yang menimpa ayah kamu...

Aku mengangguk sambil menarik nafas panjang.

Aku bukan tipe orang yang suka meminjam uang. Aku termasuk sosok yang tak suka berhutang. Namun untuk kali ini, aku terpaksa berhutang.

Aku berhutang bukan untuk diriku, melainkan untuk ayahku.

Ayahku mengalami musibah. Atau tepatnya, menyebabkan musibah. Mobil yang dikendarainya menabrak sepeda motor yang ditumpangi sepasang suami istri dan anak mereka yang masih kecil. Ketiga korban ini syukurlah tidak meninggal, namun mereka terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit.

Sebagai penabrak, mau tidak mau ayahku harus menanggung semua biaya pengobatan. Apalagi ketiga korban itu tak punya BPJS. Dana 75 juta rupiah merupakan kebutuhan minimal. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk ayahku.

Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara. Dari sisi ekonomi, aku tergolong lumayan. Karena belum menikah, kebutuhanku bisa dibilang belum terlalu banyak. Aku juga punya tabungan meski tidak terlalu besar.

Ketika ayahku tertimpa musibah, aku satu-satunya pihak yang diharapkan bisa membantu. Adikku satu-satunya yang laki-laki, dia sudah menikah dan istrinya sedang hamil besar. Tabungannya disiapkan untuk keperluan melahirkan, terutama karena menurut dokter yang memeriksa, istri adikku harus melahirkan secara caesar yang tentunya memerlukan biaya.

Karena tabunganku baru berjumlah 21 juta, terpaksa aku harus mencari pinjaman dana. Orang pertama yang kuhubungi adalah Rahmat Umar, sahabat yang juga tetanggaku.

Rahmat Umar tergolong berhasil. Dia punya bisnis yang lumayan maju. Istrinya juga pengusaha yang juga termasuk berhasil.

Karena pinjamannya 75 juta, maka bunga yang harus kamu setor setiap bulan 7,5 juta rupiah, Rahmat kembali berujar.

Aku lagi-lagi mengangguk. Aku lagi-lagi menarik nafas panjang. 7,5 juta rupiah hanya untuk membayar bunga pinjaman. Belum dengan cicilan. Kelihatannya aku harus banyak berhemat dan lebih mengencangkan ikat pinggang.

Aku udah bicara dengan Airin. Untuk bunga pinjaman, kami punya tawaran yang mungkin bisa meringankan...

Tawaran seperti apa?

Gini, Airin itu kini udah gak punya sopir pribadi. Sopir yang terakhir dipecat karena malas. Jadi jika kamu bersedia, kamu bisa menjadi sopir untuk Airin. Biasanya Airin hanya perlu sopir jika ke kantor dan pulang kantor. Jadi itu bisa kamu lakukan di sela-sela usaha yang kamu lakoni, Rahmat berujar panjang lebar.

Menjadi sopir... Airin? Apa... apa dia bersedia?

2

WAJAR jika aku bertanya tentang Airin. Meski dengan Rahmat Umar aku tergolong akrab, bahkan sangat akrab, namun tidak demikian dengan Airin. Dengan Airin, aku sama sekali tidak akrab.

Seingatku, aku hanya beberapa kali bertemu dengan Airin. Itu pun hanya pertemuan sekilas. Sejauh ini aku bahkan belum pernah bercakap-cakap dengan Airin.

Airin adalah tipe perempuan Indonesia yang sukses. Meski masih terbilang muda, baru berusia 30-an tahun, namun dia sudah termasuk sukses sebagai pengusaha. Dia punya unit usaha sendiri yang terpisah dengan Rahmat suaminya.

Kesanku selama beberapa kali bertemu dengan Airin adalah, dia tipe perempuan pendiam. Bahkan cenderung dingin. Ada sesuatu pada Airin yang membuat aku enggan untuk berakrab-ria.

"Iya, menjadi sopir Airin. Kenapa? Ada masalah?’ Rahmat balik bertanya.

Kalau masalah sih gak, aku berujar perlahan. Tapi apa Airin setuju? Maksud aku... eh... selama ini dia itu... Aku tidak melanjutkan ucapanku. Aku merasa tidak enak untuk mengutarakan apa yang ada di pikiranku.

Aku ngerti, Rahmat berujar sambil tersenyum. Airin itu memang tipe perempuan yang rada unik. Dia rada  dingin bahkan cenderung judes kepada laki-laki. Dia hanya bisa beramah-tamah kepada perempuan. Itu sebabnya banyak sopir pribadinya yang gak tahan dengan sikapnya.

Melihat aku terdiam, Rahmat melanjutkan bertanya, Jadi gimana? Kamu bersedia?

Sepanjang Airin istri kamu mau aku sih mau aja, jawabku.

Aku pikir sebaiknya kamu memang menerima pekerjaan ini. Apalagi ini hanya sambilan dan gak begitu mengganggu pekerjaan utama kamu.

Aku mengangguk.

Lagipula, pekerjaan ini bisa untuk meringankan kamu. Bunga 7,5 juta itu gede lho. Jika kamu terima pekerjaan ini, setidaknya kamu gak perlu susah-susah mencari yang 7,5 juta itu, Rahmat berkata.

Aku, untuk kesekian kalinya, mengangguk.

Apa yang diungkap Rahmat itu benar. Menjadi sopir pribadi Airin seharusnya tidak mengganggu pekerjaanku. Aku memang punya usaha menjual peralatan elektronik, terutama laptop dan yang terkait dengan laptop.

Sebagai pemilik toko, aku tak perlu hadir setiap saat. Aku punya beberapa karyawan yang sudah bisa dipercaya.

Dengan menjadi sopir Airin, aku bisa menghemat pengeluaran sebanyak 7,5 juta rupiah. Uang 7,5 juta itu tidak sedikit, apalagi di Jakarta.

"Baiklah, aku setuju. Kapan aku mulai?’

Kalau bisa sih besok. Oh ya, uangnya aku transfer aja ya? Mana norek kamu?

Aku memberikan nomor rekeningku kepada Rahmat. Tak lama kemudian ada bunyi notifikasi di ponselku, pertanda uang dari Rahmat sudah masuk.

Aku kemudian mengirimkan uang itu ke rekening ayahku.

Makasi bro, kataku. Aku menarik nafas lega. Ada perasaan nyaman dan lega setelah aku mengirimkan uang untuk ayahku. Setidaknya aku sudah menjalankan tugasku sebagai anak yang berbakti kepada ayahku yang memang sangat membutuhkan bantuan.

Jangan lupa, mulai besok kamu menjadi sopir pribadi airin...

Oke bro...

Dan ingat. Airin itu sifatnya sukar ditebak. Jadi sebaiknya kamu jangan adu argumen dengannya. Kamu lakukan saja apa yang dia inginkan dan jangan membantah...

Aku lagi-lagi mengangguk. Wajah dingin dan judes dari Airin terbayang.

Demi 7,5 juta rupiah, aku akan melakoni pekerjaan yang baru.

Tak masalah. Aku siap.

3

TAK terasa, sudah satu minggu aku menjadi sopir pribadi Airin. Seperti yang beberapa kali diingatkan oleh Rahmat, aku memilih untuk lebih banyak berdiam diri.

Airin sendiri, dalam beberapa kali perjumpaan, terlihat enggan untuk bicara denganku. Biasanya setelah masuk ke dalam mobil, dia

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1