Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Honeymoon
Honeymoon
Honeymoon
eBook54 halaman42 menit

Honeymoon

Penilaian: 4.5 dari 5 bintang

4.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Stella dan Leo adalah sepasang suami istri yang sedang berbulan madu di Eropa. Hidup mereka berubah setelah bertemu dengan pasangan suami istri dari Filipina yang juga sedang berbulan madu.

“Sepertinya aku sudah gak mencintai Phillip. Kini aku lebih menginginkanmu daripada dia. Aku sangat takut...” katanya dengan suara gemetar. “Sekarang aku gak tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku,” suaranya melemah namun air matanya menderas. Perlahan aku mendekatinya. Tanpa sepatah kata aku hapus air mata dari wajahnya lalu kudekap dia dalam pelukanku. Karena berbicara bukan satu-satunya cara untuk memahami jiwa. Kami adalah dua wanita yang dihantam oleh pikiran dan rasa bersalah. Dua jantung yang sedang membatin. Dililit oleh perasaan dan hasrat. Dipisahkan oleh nasib namun disatukan oleh cinta.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitParis York
Tanggal rilis8 Apr 2018
ISBN9781370362615
Honeymoon
Penulis

Paris York

A lover and a dreamer...

Baca buku lainnya dari Paris York

Terkait dengan Honeymoon

E-book terkait

Romansa untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Honeymoon

Penilaian: 4.444444444444445 dari 5 bintang
4.5/5

9 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Honeymoon - Paris York

    Honeymoon

    Paris York 

    Billionaire

    Honeymoon

    © 2018 Paris York

    Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

    Dilarang memperbanyak dan menggunakan seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin.

    Billionaire

    Honeymoon

    Udara Praha di pukul sebelas siang di musim gugur mulai menghangat. Dengan segelas Macchiato panas dalam genggaman, aku duduk di samping sungai Vltava membelakangi Vyšehrad di bawah jembatan tram. Sementara di seberang sungai, pohon-pohon dengan daun kuning kemerahan mulai tersenyum karena sentuhan sinar matahari. Pelan-pelan matahari pun mulai menghilangkan butiran-butiran embun di tubuhnya.

    Kehidupan di Praha menjelang musim dingin semakin melambat. Penduduk lokal tentu saja masih melakukan rutinitasnya. Toh hidup gak lantas berhenti karena sebuah musim. Sama juga seperti angsa-angsa yang berenang di sepanjang sungai Vltava. Mereka akan selalu ada di sana gak peduli apapun musimnya. Angsa-angsa putih yang cantik itu berlomba mendekat dan mengiba makanan dariku. Mereka mencoba memecah perhatianku pada orang yang akan kutemui disini. Itu hanya berhasil di awal menit saja. Karena aku bisa merasakan seluruh energiku berpusat di dia.

    Macchiato tinggal setengah dan mendingin, dan sudah berkali-kali tram lewat menyeberangi sungai. Tapi dia belum juga datang, padahal tempat dia berada kini, Dancing House, letaknya gak jauh. Hanya beberapa meter saja dari sini. Mungkin dia bersama rombongannya masih asik foto-foto. 

    Kami memilih bertemu disini karena Vyšehrad dekat dari hotel tempat aku menginap, hanya melewati dua pemberhentian tram atau kurang dari tujuh menit. Lagian Dancing House adalah tempat pertama dalam checklist-nya hari ini. 

    Waktu di ponsel sudah menunjukan pukul 11.30 dengan suhu menyentuh 8 celsius. Sambil menyeruput sisa kopi aku mulai resah melihat ke segala arah mencari sosoknya, sementara itu jantung mulai berdebar. Debarannya seolah memberi tanda dia sudah semakin mendekat.  

    Dia adalah Maria Torres, seorang Filipina yang kukenal di Amsterdam dua hari lalu. Pertama kali kami bertemu pagi hari di depan Anne Frank House, waktu sedang mengantri masuk. Antrian yang panjang sampai kami harus berdiri hampir satu jam. Cukup lama untuk saling mengenalkan diri. Dengan modal bahasa Inggris pas-pasan, aku terpancing untuk terus menyaut ajakan obrolan darinya. Awalnya basa basi, tapi kemudian berkembang sampai kami janjian ketemu untuk menjelajahi kota Amsterdam di malam hari bersama-sama. Karena dia mengikuti group tour bersama lima belas orang lainnya, jadi dia baru punya free time setelah makan malam. 

    Aku dan Maria kembali bertemu lewat pukul tujuh di salah satu stasiun tram di depan Magna Plaza, sebuah mall bergaya Neo-Ghotic dan Neo-Renaissance yang katanya dibangun tahun 1800-an. Sebenarnya kalau dari isinya, mall-mall di Jakarta gak kalah oke dari Magna Plaza. Unggul hanya karena bangunannya saja yang bersejarah dan arsitekturnya. Dari sana kami menyeberang dan berjalan menuju Dam Square, salah satu icon kota Amsterdam yang gak pernah sepi dari turis. Jarak Dam Square dari Magna Plaza sangat dekat, hanya beberapa meter. Saat itu Dam Square disulap menjadi sebuah taman hiburan, lengkap dengan berbagai wahana permainan untuk anak dan dewasa dari mulai kincir ria yang letaknya berseberangan dengan museum Madame Tussauds hingga terdapat sebuah rumah hantu. Di siang hari, biasanya orang-orang bermain dengan ratusan atau bahkan ribuan burung merpati disini.

    Maria seperti anak berumur tujuh tahun ketika berada di tengah-tengah taman hiburan. Dia sangat bahagia. Matanya berbinar seolah memproyeksikan seluruh cahaya dari ribuan lampu yang diserap oleh

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1