Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Janabadra
Janabadra
Janabadra
eBook327 halaman3 jam

Janabadra

Penilaian: 1 dari 5 bintang

1/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Jawa di abad ke-6 Masehi. Pada masa itu hidup seorang pandita Buddha temasyur bernama Janabadra. Janabadra memulai kehidupannya di pecantrikan, sebuah tempat pendidikan prajurit kerajaan. Sebagai cantrik, ia memperoleh pendidikan kanuragan dari para guru terbaik. Ia juga mendapat pendidikan khusus dari resi Wanabadra. Sebagai murid pandai dan tangguh, ia terpilih menjadi prajurit telik sandi (mata-mata) untuk Kerajaan Kalingga dan diberi tugas penyamaran ke Kerajaan Taruma. Karena pilihan hidupnya untuk memenuhi panggilan negara inilah Janabadra terpaksa harus memunda pernikahannya. Ni Laras, kekasih Janabadra memilih membatalkan saja pertunangan mereka karena tidak menyukai cara hidup kerajaan walaupun Ni Laras sesungguhnya telah diramalkan akan menurunkan raja-raja besar di Jawa. Tetapi Ni Laras menginginkan kehidupan yang bersahaja di pedukuhan. Sebenarnya Janabadra tidak benar-benar menginginkan kehidupan keprajuritan, lebih tertarik pada ajaran Resi Wanabadra; resi ini mengajarkan baca tulis agar Janabadra dapat mempelajari naskah-naskah kuna. Ketertarikannya pada asal-usul kehidupan manusia khususnya asal-usul manusia Jawa telah membawanya pada kehidupan yang tak terduga. Dalam perjalanannya mencari “gaman akhasa” ia mengenal Maharaja Taruma, kemudian betemu dengan kehidupan bajak laut, dan mencintai seorang wanita yang membawanya hingga ke Kuil Uruvela di kerajaan Harsya (India). Janabadra kemudian menjadi terkenal karena banyak menulis dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Putong Hoa.

Janabadra, adalah sekuel pertama dari pentalogi Jejak Tanah Leluhur karya Wibowo Wibidharma.

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis21 Des 2023
ISBN9786234220001
Janabadra
Penulis

Wibowo Wibidharma

Wibowo Wibidharma Lahir di Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia, 29 Januari 1962. Mengenyam pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan Magister Management (S2) - STMB/STT Telkom Bandung. Berminat pada Sejarah, Filsafat, Psikologi, Astronomi. Saat ini bekerja sebagai Leadership Consultant & Philosopical Terapist.

Terkait dengan Janabadra

E-book terkait

Fiksi Aksi & Petualangan untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Janabadra

Penilaian: 1 dari 5 bintang
1/5

1 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Janabadra - Wibowo Wibidharma

    Maataram Abad Ke-6 Masehi

    Satu tanggal yang selalu diingat oleh Ni Laras, purnama sidhi, respati wage, mangsa ketiga, warsa wasana, windu sancaya (Bulan Purnama/hari yang ke-14, kamis wage, pada musim kemarau, di tahun ke tujuh dalam windu yang ke empat.)

    Seperti pada malam itu, malam ini pun sungguh terang, pucuk-pucuk daun aren nampak jelas, sesekali melambai. Langit plong hampir tanpa awan, bulan berbinar bening seperti mata bayi yang baru saja membebaskan puting susu ibunya setelah puas menetek. Tetapi suara kuk, kuk burung pungguk yang bertengger di dahan cempedak, terdengar seperti gerutuan. Purnama terlalu terang bagi pungguk, tikus-tikus sawah akan mengetahui kehadirannya, pungguk tak butuh cahaya terang untuk berburu, matanya dapat melihat dalam gelap. Adakah manusia yang bisa melihat dalam kegelapan?

    Bulan berbinar-binar, saung-saung di padepokan Resi Wanabadra tampak terang bahkan baying-bayang Ni Laras yang sedang berdiri pun tergambar dengan jelas. Betapa terangnya malam itu, pelataran terlihat kosong, terasa lengang dan sangat tenang. Ni Laras berdiri di tengah pelataran padepokan yang cukup luas itu, rambutnya terurai bebas, kedua tangannya diangkat ke atas, seperti sedang mandi cahaya bulan. Desiran angin lembut yang menerpa seluruh tubuh dirasakan sebagai belaian lembut tangan kekasihnya dulu. Suara kuk, kuk… pungguk terdengar lagi, membuyarkan lamunan. Ni Laras pun tersenyum kecut mendengar suara yang terdengar seperti keluhan itu, jadi teringat pada peristiwa yang menyesakkan dada. Tiba-tiba ia melompat cepat seperti kucing, menuju ke sebuah saung, lalu mengambil busur panah yang tergeletak di sana, dan melompat lagi ke tengah pelataran. Lalu dengan sigap merentangkan busur dan melepaskan anak panahnya. Ia tidak terlihat membidik terlebih dahulu, seperti asal saja melepaskan anak panah. Anak panah itu pun melesat menerobos semak-semak. Ia seperti sedang melepaskan panah amarah yang sudah lama dipendam.

    Tak lama setelah itu, terdengar suara deham seseorang dari belakang. Ternyata Resi Wanabadra sudah berada di belakangnya sedekat raihan tangan, tak terdengar langkah kakinya berjalan mendekati. Sebenarnya hal itu tak membuat Ni Laras heran karena sudah seringkali terjadi, sang resi tiba-tiba nongol tanpa tanda-tanda apalagi suara. Padahal selama tinggal di padepokan, Ni Laras telah dilatih mendengarkan suara gerakan yang sangat halus, dan sudah bisa tahu ada kucing sedang berjalan di sekitarnya tanpa harus melihatnya. Tetapi yang membuat Ni Laras kaget dan malu, ia melihat sang resi menenteng anak panah dengan seekor tikus menggantung di ujungnya. Anak panah itu adalah anak panah yang baru saja melesat, busurnya pun masih dipegang oleh Ni laras.

    Apakah tikus malang ini, korban kemarahanmu Nini?, kata sang resi sambil menunjukan seekor tikus sawah yang mati tertembus anak panah. Paling tidak engkau lebih hebat dari pungguk Nini, dapat menangkap tikus di kerimbunan semak-semak.

    Maafkan Eyang, entah mengapa setiap purnama aku memang menjadi mudah marah, selalu teringat pada peristiwa yang menyesakan dada.

    Ya… purnama yang sempurna memang membuat perasaan manusia menjadi lebih peka. Jika sedang galau menjadi lebih galau, jika sedang gembira menjadi lebih gembira. Demikian juga jika sedang tajam menjadi lebih tajam, indra keenam pun menjadi lebih tajam.

    Mengapa demikian Eyang?

    Entahlah, tapi bulan memang mempengaruhi kehi-dupan bumi. Jika air laut bisa menjadi pasang karena bulan maka seluruh air dalam tubuh manusiapun juga menjadi ‘pasang’. Cuaca bagus dan buruk di bumi juga kerena pengaruh bulan, demikian juga ‘cuaca’ bagus dan buruk dalam diri manusia.

    Tapi bagiku, purnama membuat keterbalikan, aku menyukainya sekaligus membencinya.

    Itu hanya terjadi dalam dirimu, bukankah secara dasarnya suasana purnama sangat indah? sang Resi berkata sambil melihat bulan dan mengangkat kedua tangannya.

    Memang benar eyang, sejak tadi aku memang sedang menikmatinya, sebelum gerutuan pungguk itu mengganggu, timpal Ni Laras seraya mendekat lalu bersandar manja di bahu sang Resi.

    Bukankah malam sudah terlalu larut Nini?, sang Resi mencoba mengingatkan sambil memeluk cucu angkatnya itu dengan penuh kasih sayang.

    Ah… Eyang, bukankah kita pernah membahasnya bahwa siang dan malam tak lagi banyak berbeda bahkan cucumu ini sudah mirip dengan pungguk yang hidup pada malam hari, keluh Ni Laras manja.

    Sang resi tersenyum mendengar jawaban itu lalu berjalan menuju sebuah saung yang lenteranya masih menyala, dan membiarkan Ni Laras melanjutkan kesendiriannya. Ni Laras sudah tahu bahwa malam sudah terlalu larut bukanlah waktu yang baik untuk terjaga, sebaiknya digunakan untuk istirahat. Desakan bulan akan menekan semua cairan dalam tubuh manusia, tubuh akan cepat rusak terutama paru-paru jika terlalu sering bernafas secara normal pada malam hari. Tetapi Ni Laras sudah tahu bagaimana cara memperbaiki kerusakan itu jika terpaksa harus tidur larut malam.

    Di saung itu ada setumpuk daun nipah bertulis yang telah tersusun rapih, terlihat baru selesai dibaca. Sang Resi mengambil sebuku daun nipah yang berada di tumpukan paling atas; ingin tahu apa yang baru selesai dibaca oleh Ni Laras tanpa harus bertanya. Seperti juga Cantrik Longok Dempet, Ni Laras tertarik untuk mengerti isi tulisan itu; bedanya, Cantrik Longok Dempet memang tertarik untuk memahami semua tulisan-tulisan itu, sedangkan Ni Laras tertarik untuk tahu pada apa yang mungkin sudah dipahami oleh Cantrik Longok Dempet.

    Bersyukur Ni Laras sudah bisa baca tulis sehingga dapat langsung mempelajarinya tanpa harus belajar membaca terlebih dahulu. Berbeda dengan Cantrik Longok Dempet yang harus kerja keras dan ‘ter-ma-mu ma-mu’ terlebih dahulu untuk memahami tulisan-tulisan itu karena harus dibarengi dengan belajar baca tulis. Dulu di desa ini hanya ada satu orang yang bisa baca tulis tanpa belajar dari sang Resi, yakni Ki Bayan, ayah Ni Laras. Tak heran Ni Laras juga pandai membaca dan menulis karena ayahnya yang mengajari secara khusus. Pada masa itu, yang bisa membaca dan menulis pastilah orang yang sangat terpelajar atau keluarga raja. Oleh sebab itu Ki Bayan sangat dihormati bukan saja oleh penduduk desa tetapi juga oleh kalangan istana.

    Sebuku daun nipah bertulis itu telah dijepit rapih dengan welad untuk melindungi daun-daun nipah yang sudah tua itu agar tidak cepat rusak. Welad adalah kulit bambu, welad yang disayat tipis sangatlah tajam, kala itu sering digunakan untuk menyembelih ayam. Welad yang digunakan untuk melindungi daun-daun nipah bertulis ini, disayat agak tebal, kedua sisinya diraut agar tumpul dan halus; dan dipotong sepanjang satu buku. ‘Buku’ adalah jarak di antara dua ruas bambu, nipah adalah tanaman yang tumbuh di rawa-rawa pantai, satu keluarga dengan kelapa, daunnya hampir sama dengan daun pohon aren, sedikit lebih lebar dari daun pohon kelapa. Daun-daun nipah, kelapa, aren dan lontar bisa digunakan untuk menulis dengan cara digores menggunakan jarum, atau lidi yang diruncingkan. Orang lebih memilih menggunakan daun nipah atau lontar karena warnanya lebih terang sehingga goresan tulisan akan lebih tampak. Kelak bentuk seperti lembaran daun nipah atau lontar yang dijepit di kedua permukaannya disebut buku.

    Dulu sang Resi meletakan daun-daun nipah tua bertulis itu di dalam gentong dan bercampur baur dengan tulisan sang Resi sendiri. Tidak ada yang tahu siapa yang menulis di atas daun-daun nipah itu, sang Resi juga mendapatkannya satu persatu. Jika mendapatkan satu lembar daun nipah bertulis, sang Resi segera membacanya dan menyimpannya di dalam gentong, begitu juga karya tulis sang Resi sendiri akan dimasukan dalam gentong yang sama. Tulisan sang Resi sebenarnya menggunakan daun pohon aren tetapi orang tidak akan tahu lagi mana tulisan yang tua dan mana tulisan sang Resi sendiri karena benar-benar tercampur baur; daun nipah dan daun aren yang sudah kering sepintas akan terlihat sama, baik ukuran maupun warnanya.

    Bersyukur pernah ada Cantrik Longok Dempet yang berhasil menyusun lembaran-lembaran daun nipah itu dalam bentuk buku-buku. Satu buku disusun berdasarkan tema yang sama atau mirip, menurut pikiran sang Cantrik. Saat itu sang Resi sangat senang melihat semua lembaran nipah sudah dalam bentuk buku-buku dan tersusun rapih di dalam lemari, tidak lagi teronggok di dalam gentong-gentong. Dalam bentuk buku sang Resi pun semakin mudah menemukan tulisannya sendiri karena tulisannya memang ditujukan untuk melengkapi tulisan-tulisan dalam nipah tua itu. Sebagian dari daun nipah tua itu bertuliskan tentang cerita-cerita legenda yang sang Resi sendiri sudah tahu sehingga dengan mudah melengkapinya menjadi cerita yang utuh.

    Perlu pengetahuan luas untuk dapat menyusun tulisan yang tercerai berai seperti itu menjadi buku-buku, dan perlu kecerdasan khusus untuk bisa menghubungkan tulisan yang satu dengan yang lainnya. Bayangkan ada ribuan lembar daun nipah bertulis yang harus dihubung-hubungkan isi tulisannya, padahal daun-daun nipah dikumpulkan satu persatu oleh sang Resi entah sejak kapan, entah dari mana dan entah siapa penulisnya. Itu seperti memecahkan teta-teki yang rumit dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang tidak memahami isinya, juga tidak mungkin dilakukan oleh orang yang kurang sabar dan tidak tekun. Itu merupakan karya tersendiri dari Cantrik Longok Dempet.

    Sang Resi mengembalikan sebuku daun nipah yang baru saja dibaca oleh Ni Laras ke tempat semula, ada sederet tulisan di atas welad, tepatnya dua buah kata dalam bahasa campuran "Gaman Akasha"; bisa diartikan ‘Senjata Akasha’. Kata ‘gaman’ sering digunakan untuk menyebut senjata tajam seperti, tombak, panah, parang, bendho, golok, pedang, dan keris. ‘Akasha’ adalah sebuah kata lama yang sudah jarang terdengar saat itu; sudah mengalami pergerseran ucapan dan makna, menjadi ‘angkasa’. Dalam pengertian sekarang Gaman Akasha bisa diartikan sebagai ‘Senjata Langit’. Itu adalah judul yang dibuat sendiri oleh Cantrik Longok Dempet, yang tadi baru selesai dibaca oleh Ni Laras,.

    Itu adalah judul yang aneh, tiba-tiba Ni Laras sudah berada di belakang sang resi, memberi komentar tentang judul buku itu.

    Langkahmu makin sempurna Nini, eyang hampir saja tidak menyadari kehadiranmu, kata sang resi.

    Ni Laras menyembunyikan rasa senangnya, telah dipuji, usaha kerasnya selama ini untuk menguasai ‘ilmu peringan tubuh’ tidak sia-sia, pikirnya dalam hati.

    "Benar Nini, judul itu seperti agak nyleneh," tambah eyang resi.

    Sudah bekali-kali aku membaca buku itu Eyang, tapi belum juga memahaminya apalagi jika membaca judulnya aku jadi semakin bingung. Mengapa begitu Eyang?

    "Buku itu memang bukan berisi pengetahuan sehingga tidak bisa dipahami oleh pikiran, lebih tepatnya bukan untuk dipahami oleh pikiran."

    Adakah cara lain untuk ‘memahami’ selain dengan pikiran? bukankah semua hal merupakan sebab akibat yang hanya bisa dipahami dengan pikiran? lanjut Ni Laras dengan sedikit jengkel.

    Benar demikian Nini, jika engkau menggunakan cara pandang Buddha.

    Ni Laras terdiam dan tidak ingin melanjutkan pembicaraan, jika sudah menyangkut keyakinannya, ia menjadi mudah marah. Sang Resi pun tahu cucunya itu penganut Buddha dan akan menjadi marah jika ada orang yang mengecilkan arti Buddha.

    Itu adalah buku yang belum selesai Nini, wajar jika engkau tidak memahaminya bahkan akupun belum memahaminya, ada bagian-bagian yang masih hilang, jelas sang resi meluruskan kembali arah pembicaraan.

    Ni Laras sedikit terhibur mendengar penjelasan itu, ternyata bukan hanya dirinya yang belum paham. Untuk hal inikah Cantrik Longok Dempet pergi? tanya Ni Laras.

    Mungkin saja Nini, jawab sang resi singkat.

    Malam makin larut, bulan telah bergeser agak ke timur walau masih benderang. Anak-anak pasti sudah selesai bermain jongjang bahkan sudah terlelap di pelukan emak mereka masing-masing. Tadi suara kegembiraan mereka tidak terdengar karena padepokan sang resi agak jauh dari pusat keramaian desa.

    Sementara itu di pingiran hutan Badra, para cantrik masih mempelajari ilmu kanuragan. Sebagian dari mereka sedang mengasah ilmu tenaga dalam dan sebagian lagi sedang berlatih menggunakan senjata tajam seperti pedang dan tombak. Ilmu kanuragan secara harafiah berarti ilmu olah raga, ilmu untuk mengolah raga agar menjadi kuat tetapi orang pada umumnya mengartikan ilmu kanuragan sebagai ilmu bela diri. Tidak terlalu salah karena ilmu beladiri memang menjadi bagian dari ilmu kanuragaan. Semua hal yang berhubungan dengan mengolah raga agar menjadi kuat adalah ilmu kanuragan; termasuk mempelajari ilmu pengetahuan dan ‘ilmu kejawian’ karena tanpa ilmu-ilmu tersebut raga manusia tidak akan bisa diolah menjadi kuat. Jadi pada dasarnya mempelajari ilmu kanuragan berarti mempelajari semua ilmu.

    Ilmu kanugaran memiliki jenjang tingkatan yang tidak terbatas akan tetapi ada predikat bagi orang-orang yang menekuninya. Orang yang sedang belajar kanuragan disebut ‘Cantrik’, orang yang ‘lulus dari pecantrikan’ atau orang dianggap sudah pintar dijuluki ‘Ki’ untuk pria, dan ‘Nyi’ untuk perempuan. Kata pengganti orang kedua tunggal yang biasa dipakai pada masa itu adalah Kisanak atau Nyisanak artinya kurang lebih adalah saudara/i yang pintar; Nisanak atau Nini adalah panggilan untuk perempuan belum menikah dan dihormati. Orang yang dianggap pintar sekali dan memiliki keahlian atau ketrampilan khusus disebut ‘Mpu’, biasanya terdiri para ahli pembuat keris atau senjata, pembuat patung, dan sastrawan. Orang yang dianggap sudah sakti disebut ‘Rahyang’, ‘Rsi atau Resi’, dan orang yang sudah tidak bisa diukur lagi kesaktiannya disebut ‘Begawan’. Begawan atau pegawan dari kata ‘gawan’ atau ‘barang bawaan’ yang diberi arti sebagai, orang banyak ilmu dan pengalaman, banyak ‘gawan’ untuk bekal menjadi jawi atau suci. Semua pertanyaan manusia bisa dijawab oleh Begawan karena ia adalah orang suci yang bisa membuka ‘Kitab Akasha’.

    Julukan resi atau rahyang seringkali dipertukarkan oleh orang awam karena memang sukar untuk dibedakan, keduanya adalah julukan bagi orang yang sudah mencapai tahapan ilmu kanuragan sangat tinggi. Resi dan Rahyang memiliki akar sejarah yang berbeda, julukan ‘Resi’ pada mulanya digunakan oleh penganut Hindu, akar katanya adalah ‘Rsi’. Rahyang digunakan oleh orang-orang asli penghuni pulau, merupakan gabungan dari kata ‘Ra’ dan ‘Hyang’ yang secara harafiah bisa berarti ‘Penguasa Matahari’ tetapi penduduk pulau Jawa memberi arti ‘Rahyang’ sebagai ‘orang yang tercerahkan dan mencerahkan’. Biasanya orang yang dijuluki rahyang, adalah orang-orang yang sudah mulai ‘menyingkir’ dari kehidupan dunia dan menjadi petapa. Saat itu ‘resi’ dan ‘rahyang’, sudah menjadi julukan yang biasa dipertukarkan, tetapi semua julukan-julukan itu sebenarnya hanyalah pemberian/penghargaan, bukan merupakan jenjang kepintaran atau kesaktian, jadi tidak berarti sesorang yang dijuluki ‘Resi’ pasti lebih sakti dari ‘Mpu’ atau ‘Ki’.

    Ilmu kanuragan biasanya diajarkan oleh seorang resi kepada hanya satu atau dua orang cantrik. Seorang resi memiliki kewajiban untuk mewariskan ilmu pada generasi berikutnya agar ilmunya tetap bermanfaat bagi kehidupan. Tak heran jika pada saat itu banyak guru mencari murid yang cocok karena tidak semua orang memiliki tulang bagus untuk menerima ilmu tingkat tinggi dari seorang resi. Dalam perkembangannya, banyak guru mendirikan perguruan untuk mencari bakat bakat terpendam; dan agar menarik kaum muda perguruan itu disebut perguruan silat. Memang di sana dilatih silat tetapi lebih dari itu, para cantrik yang berbakat akan diajarkan ilmu kanuragan secara utuh. Cara ini jitu dan menarik perhatian orang orang muda yang memang sedang demam ilmu beladiri, kala itu jika ingin disebut ‘lelananging jagat’ atau lelaki sejati, harus pandai berkelahi.

    [Di kemudian hari berkembanglah dua jenis perguruan, yakni perguruan silat yang hanya mengajarkan ilmu beladiri dan perguruan yang tetap mengajarkan ilmu kanuragan secara utuh, perguruan jenis ini disebut ‘pecantrikan’, artinya tempat (belajar) para cantrik. Perguruan yang hanya mengajarkan beladiri memiliki nama bermacam-macam, seperti Perguruan Brajamusti, Perguruan Gelap Sayuta, Perguruan Tameng Waja, dan banyak lagi nama yang mengacu pada penguasaan perguruan itu pada ilmu tertentu.

    Awal munculnya banyak perguruan silat di Jawa dan menerima banyak murid, terjadi pada masa-masa awal Mataram Kuna di masa pemerintahan Maharaja Sanjaya, Cicit Maharani Shima. Perguruan-perguruan silat itu bermunculan di samping untuk mencari para pemuda berbakat, juga merupakan pengaruh dan reaksi dari penyebaran agama Buddha Mahayana yang dibawa oleh orang-orang dari daratan Tiongkok ke pulau Jawa. Di samping membabarkan dhamma, orang-orang daratan Tiongkok (Putong Hoa) ini juga mengajarkan kundau atau kuntao, seni beladiri khas negeri Tiongkok; sebagian orang menyebutnya sebagai gongfu atau kungfu. Sebenarnya kuntao sepadan dengan ilmu silat atau beladiri dan kungfu sepadan dengan ilmu kanuragan. Jika ditelisik lebih jauh, akar bela diri kuntao adalah teknik-teknik bertarung yang dibawa dari india oleh Dharmataesu, seorang bikhu leluhur Zen sekitar 1000 tahun sebelum Masehi. Dalam perjalanannya dari India ke Tiongkok, Dharmataesu selalu mendapat serangan ketika menyebarkan agama Buddha, lalu diciptakanlah teknik-teknik bertarung untuk membela diri. Teknik-teknik bertarung ini kemudian berkembang dan beranak pinak menjadi beragam seni beladiri di Tiongkok. Jadi mengajarkan agama Buddha dan beladiri merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama. Kungfu sendiri merupakan sinkretisme dari ajaran Buddha dan ajaran nenek moyang bangsa Hoa, Toisme dan Konfusiansisme.

    Di pulau Jawa, Buddha dan kuntao sudah diajarkan sejak masa Mataram kuna. Ratu Shima penguasa kerajaan di Mataram kuna adalah ratu yang toleran terhadap penyebaran Buddha. Ketika itu ajaran Buddha, diannggap sebagai agama baru yang logis dan kritis, banyak diminati oleh para bangsawan dan kalangan istana sehingga penyebarannya mendapat dukungan dari raja terutama di wilayah selatan, raja bumi Shambara, nenek moyang wangsa Syailendra yang mendirikan candi Borobudur. Tetapi orang Jawa sudah memiliki ‘agama’nya sendiri, pada umumnya menolak agama baru itu atau hanya mengambil yang cocok saja. Para pemuda Jawa sama sekali tak berminat untuk belajar kuntao, mereka lebih bangga jika bisa mengusai ilmu silat. Dan sebagai wujud penolakan pada ajaran Buddha, para tokoh masyarakat Jawa mendirikan perguruan silat dan pecantrikan. Pada masa inilah perguruan-perguruan silat mulai bermunculan sedangkan pecantrikan sudah ada sebelumnya, paling tidak sudah muncul pada masa kerajaan Taruma.]

    Eyang, apa sebenarnya yang diajarkan di pencantrikan?, mengapa perempuan dilarang masuk ke sana? tanya Ni Laras suatu ketika.

    Hampir sama seperti yang engkau pelajari di sini Nini, bedanya mereka dilatih khusus untuk menjadi prajurit kerajaan. Guru mereka banyak, terdiri dari orang-orang yang pandai seperti ayahmu dan Ki Balangwesi, sedangkan di sini gurumu hanya eyang sendiri, jelas sang resi.

    Kadang mereka berlatih ‘tenaga dalam’ dengan tanpa busana, tambah sang resi.

    Uuf…. Ni Laras menutup mulut tanda malu.

    Di seluruh negeri, apakah pecantrikan hanya ada di sini? lanjut Ni Laras.

    Saat ini mungkin begitu, pecantrikan semacam ini, yang hanya melatih calon prajurit, merupakan percontohan hasil pikiran dari baginda raja sendiri, yang kemudian ditindaklanjuti oleh kakekmu dan diteruskan oleh ayahandamu.

    Oh…, ayahanda tak pernah menceritakan hal itu, sela Ni Laras setelah mengingat-ingat.

    Penamaan ‘pecantrikan’ sendiri diberikan oleh ayahmu berdasarkan saran dariku. Kata itu mengandung arti ‘tempat para cantrik’, lalu ‘pencantrikan’ dijadikan nama untuk desa ini oleh Ki Lurah, sang resi menambahkan penjelasannya.

    [Di kemudian jaman setelah era kerajaan Taruma berakhir, pecantrikan dibuat bukan saja untuk mendidik para calon prajurit tetapi juga untuk mendidik siapa saja yang berminat mempelajari ilmu kanuragan. Dalam bahasa politis pencantrikan didirikan untuk mendidik masyarakat agar dapat menangkal pengaruh asing. Demikian juga perguruan silat didirikan untuk mempertahankan seni beladiri asli tanah Jawa. Orang yang sedang belajar di pecantrikan disebut cantrik dan orang yang belajar di perguruan silat disebut murid. Jadi seorang cantrik akan mempelajari ilmu kanuragaan termasuk ilmu beladiri dan seorang murid hanya mempelajari ilmu beladiri. Tetapi pada masa itu di perguruan silat walau hanya diajarkan ilmu beladiri, seorang murid juga dibekali dengan filosofi dari beladiri yang dipelajarinya. Beladiri berserta filosofinya adalah satu paket ilmu yang tidak bisa dipisah pisahkan seperti juga kuntao dan kungfu.

    Orang Jawa memberi predikat seorang cantrik yang sudah ‘lulus’ dari pencantrikan sebagai ‘orang pintar’, artinya telah menguasai ilmu kanuragan, termasuk ilmu beladiri dan filosofinya. Tetapi orang biasa hanya tahu yang disebut ‘orang pintar’ adalah orang yang mengusai ilmu kanuragan, itu berarti pintar berkelahi; orang pintar jadi indentik dengan pintar berkelahi; ilmu kanuragan jadi disamakan dengan ilmu beladiri. Ilmu kanuragan sebenarnya ilmu hindu yang diciptakan oleh para resi dan orang Jawa pada umumnya tahu bahwa ada ilmu lain selain kanuragan, yakni ajaran tentang kejawian, yakni ilmu tentang kebenaran, termasuk di dalamnya cara untuk mempraktekan kebenaran, yakni ilmu tenaga dalam dan pernafasan.

    Pada saat orang-orang asing mulai masuk ke tanah Jawa dari berbagai penjuru, kata ‘cantrik’ mengalami pergeseran penyebutan menjadi ‘santri; dan ‘pecantrikan’ menjadi ‘pesantren’. Terutama sejak ajaran Islam masuk dan meyebar di pulau Jawa, kata ‘santri’ dipakai untuk orang-orang yang sedang belajar ilmu [Islam] dan kata ‘pesantren’ digunakan untuk tempat belajar dan tempat tinggal para santri. Di lingkungan istana ada tempat serupa yang disebut ‘ksatrian’, yakni tempat para ksatria atau pangeran untuk belajar dan tinggal; jadi para ksatria ini pun oleh masyarakat dianggap sebagai orang pintar. Setelah masa Islam, julukan orang pintar memiliki arti sebagai orang yang sudah keluar dari pesantren dan mengusai ajaran Islam serta ilmu beladiri. Di masa-masa awal penyebaran ajaran Islam di Jawa, para wali tetap mengajarkan ilmu kejawian selama tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Di masa sekarang pesantren tidak lagi mengajarkannya karena ilmu kejawen dan ilmu beladiri semakin tidak dimengerti dan tidak diminati oleh masyarakat modern.]

    Ni Laras juga seorang cantrik dan sedang ‘nyantrik’ pada Resi Wanabadra tetapi tempat sang Resi itu tidak disebut sebagai pecantrikan karena cantriknya hanya seorang, yakni Ni Laras saja. Dulu memang pernah dipakai sebagai pecantrikan tetapi sejak dipindahkan ke pinggiran hutan Badra oleh Ki Bayan, tempat sang Resi ini disebut ‘padheprokan’ atau ‘padopokan’, tempat untuk ndheprok dan ndopok, tempat untuk duduk-duduk dan ngobrol, lalu kedua kata itu digabung menjadi ‘padhepokan’.

    Resi Wanabadra tak pernah secara khusus menerima atau mencari cantrik, karena telah memiliki dua cucu angkat yang nyantrik padanya. Itu sudah lebih dari cukup bagi sang Resi, karena keduanya sanggup mewarisi semua ilmunya, terutama Cantrik Longok Dempet. Sebenarnya ada dua orang lagi yang menjadi cantriknya, yakni anak kandung Resi Wanabadra sendiri dan Ki Barong Kunthing. Tetapi anak sang Resi hanya tertarik pada ilmu sastra dan telah diminta oleh Ki Lurah untuk mengajar baca tulis

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1