Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah: Kisah Para Waraney, #1
Oleh FARY SJ OROH
5/5
()
Tentang eBuku ini
Cerita silat ala Kho Ping Ho dengan setting Minahasa kuno. Tentang kisah yang tak tercatat dalam sejarah. Ketika perang dan intrik melanda walak-walak di Minahasa, tanpa menyadari ancaman besar di depan mata: serbuan Kerajaan Majapahit…
Baca buku lainnya dari Fary Sj Oroh
Gajah Mada: Cinta Dua Dunia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/540 “Jurus Mabuk” Menulis: Panduan Menulis untuk Pemula Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Malin Kundang: Si Arcaraga Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Garuda Hitam Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Lyra Gadis Perkasa Penilaian: 3 dari 5 bintang3/5Be Smart and Confident: 35 Kisah Inspiratif untuk Hidup Cerdas, Percaya Diri dan Sukses Penilaian: 4 dari 5 bintang4/59 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa Penilaian: 2 dari 5 bintang2/5
Terkait dengan Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah
Judul dalam Seri Ini (2)
Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah: Kisah Para Waraney, #1 Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Negeri Minahasa Buku Kedua: Api: Kisah Para Waraney Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5
E-book terkait
Tarian Rembulan: Seri Ikatan Darah Buku 1 Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Negeri Minahasa Buku Kedua: Api: Kisah Para Waraney Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Para Pahlawan Dahulu Kala (Indonesian Edition - Bahasa Indonesia) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianSenjata Rahasia Bulu Merak: Seri Tujuh Senjata, #2 Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPedang Abadi: Seri Tujuh Senjata Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Empat Alis: Kekaisaran Rajawali Emas: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Takdir (Buku #4 dalam Buku Harian Vampir) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Tanpa Air Mata Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Cinta (Buku #2 dalam Buku Harian Vampir) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Melodi Pelangi Rasa Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Pemuas Nafsu: Erang Kenikmatan Lie Mo Ciu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Empat Alis: Duel Jago Pedang: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Pemuas Nafsu: Rintih Kenikmatan Bibi Liong: Seri Pendekar Pemuas Nafsu Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Pemuas Nafsu: Rintih Kenikmatan di Cin-ling-san: Seri Pendekar Pemuas Nafsu, #1 Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Pemuas Nafsu: Rintih Kenikmatan di Lembah Birahi Penilaian: 3 dari 5 bintang3/5Bangkitnya Para Naga (Raja dan Penyihir—Buku 1) Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5HeartQuake Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPupus (Kumpulan Puisi) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianDigoyang Inara, Istri Legislator Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPerempuan Bergaun Kafan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPerawan Desa Belajar Bercinta Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Di Lembah Kegelapan dan Cerita Lainnya Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianCinta Berbayar Tante Herny Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Rindu Itu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianDigilir Perempuan Jelita Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianUmur Ketiga Belas Megan: Roh Pemandu, Roh Harimau, Dan Seorang Ibu Yang Menakutkan! Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianConfession Of Friends Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianHestius "demi masa" Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5
Fiksi Aksi & Petualangan untuk Anda
Pendekar Harum: Maling Romantis: Serial Pendekar Harum Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Analisis Masalah Seksual Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKerajaan Misteri Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Tanpa Air Mata Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Pedang Naga Menangis: Malaekat Putih: Seri Pendekar Pedang Naga Menangis, #1 Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Perjalanan ke Masa Lalu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPedang Bermandikan Kembang Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Pemikat Kembang: Go-bi Sin-kiam Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Last Second Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Si Pemetik Bintang: Geliat Jago Pedang Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Kekaisaran Rajawali Emas: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Sisi yang Berlawanan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPerburuan Wahyu Cakraningrat Penilaian: 2 dari 5 bintang2/5Di Belakang Barisan Musuh Diselamatkan oleh Senjata Rahasia: Bahasa Indoneasia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Bandit Penyulam: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKisah Supernatural Dari Dunia Jin Vol 1 Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Duel Jago Pedang: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Kejar, Kumpulan Cerpen Suspense Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5
Ulasan untuk Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah
4 rating0 ulasan
Pratinjau buku
Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah - FARY SJ OROH
Diterbitkan oleh
Daun Ilalang Publishing
www.daunilalangpublishing.com
www.faryoroh.com
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Beberapa peristiwa dalam kisah ini benar-benar pernah terjadi
Namun kisah ini sepenuhnya fiksi dan bersifat khayalan
Suatu kisah yang tak tercatat dalam sejarah
Ketika perang dan intrik melanda walak-walak di Minahasa, tanpa menyadari ancaman besar di depan mata: serbuan Kerajaan Majapahit...
Prolog
APAKAH kita benar-benar akan melakukan serangan?
Tentu saja, Nala. Tapi itu pilihan terakhir. Jika mereka mau menyerah, upaya kekerasan tidak akan dilakukan...
Laksamana Nala terdiam. Dia kembali bertanya, kali ini dengan hati-hati. Apakah Malesung termasuk wilayah yang akan kita serang, Mahapatih?
Lelaki yang disapa Mahapatih tercenung sejenak. Wajahnya terlihat serius. Dia kemudian menghembuskan nafas panjang. Benar, termasuk Malesung. Kendati, tentu saja, aku tidak menyukai gagasan itu. Tapi semua wilayah di Nusantara harus tunduk di bawah panji-panji kebesaran Kerajaan Majapahit.
Nafas Mahapatih terlihat memburu, wajahnya memancarkan semangat. Matanya menyala. Sumpah sudah terucap, Nala. Semua wilayah harus tunduk. Bukan hanya Gurun, Lombok, Seram, Tanjungpura, Haru, dan Pahang. Bukan hanya Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik. Tapi semua. Termasuk Malesung.
Akan terjadi banjir darah...
Jika darah harus tertumpah, itu harga yang harus dibayar....
Aku mengerti, Mahapatih...
Dengar Nala, aku mengerti perasaanmu. Kita berdua punya kenangan yang indah dengan Malesung. Tapi itu dulu, semasa kita muda. Sekarang situasi sudah berbeda....
Aku tahu, Mahapatih. Dan maafkan aku....
Sudahlah... Lupakan saja. Ingat, percakapan ini tidak pernah terjadi....
Mahapatih Gajah Mada membalikkan tubuh dan segera berlalu, meninggalkan Laksamana Nala yang tercenung. Angin bertiup semilir, seolah membisikkan tarian perang.... <>
1
Kain Tapak Darah
CAHAYA matahari masih memancar malu-malu di balik pegunungan Lembean. Embun masih menetes di dedaunan, dan hawa dingin sejuk masih terasa. Burung-burung berkicau menyambut datangnya pagi, seiring riak danau Tondano yang terdengar samar. Sebuah pagi yang dingin, namun ceria.
Kendati masih subuh, namun aktifitas masyarakat yang bermukim di tepi danau Tondano sudah mulai terlihat, termasuk sekelompok masyarakat di wanua Pinakoyakan. Wanua yang tergolong sederhana ini terdiri dari belasan rumah, yang didirikan di atas danau, di bagian tepi. Rumah-rumah di wanua ini terbuat dari bambu jenis taki dan beratap daun katu. Wanua Pinakoyakan didirikan di bagian barat danau Tondano.
Sekitar lima puluh tombak dari dusun, nampak seorang pemuda sedang berlatih sakalele (ilmu bela diri). Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang dari kain kasar. Tubuhnya sedang dengan sorot mata tajam dan wajah yang menunjukkan ketulusan. Rambutnya panjang sebahu.
Tidak jauh dari si anak muda, berdiri seorang lelaki setengah tua. Badannya tegap dan gagah perkasa. Rambutnya yang panjang sebahu diikat dengan sehelai kain hitam. Lelaki tua yang bercambang dan berkumis lebat ini mengenakan pakaian kain kasar yang terbuka di bagian dada, dan mengenakan celana yang panjangnya sampai ke lutut.
Anak muda ini bernama Lenas, dan pria setengah tua yang menyaksikannya berlatih adalah Waruwu, Ukung (pemimpin) Wanua Pinakoyakan, sekaligus Kepala Walak Toulour, ayah Lenas. Toulour merupakan salah satu dari 12 walak—suatu komunitas yang terdiri dari masyarakat yang memiliki kekerabatan dan menduduki wilayah tertentu, yang ada di Malesung (Minahasa kuno). Kepala Walak dipilih di antara ukung yang mengepalai wanua. Waruwu sendiri sudah menjadi Ukung Pinakoyakan sekaligus Kepala Walak Toulour sejak sepuluh tahun terakhir.
Sudah menjadi kebiasaan Lenas untuk berlatih ilmu bela diri setiap pagi. Orang biasa yang menyaksikan caranya berlatih mungkin akan menjerit lirih. Karena pemuda berusia 25 tahun ini tidak berlatih di atas tanah, tapi di atas ujung bambu-bambu yang sudah diruncingkan. Bambu-bambu ini ditanam di tepi danau Tondano, dan memang sengaja dibuat sebagai tempat berlatih.
Dengan gesit dia meloncat dari ujung bambu satu ke ujung bambu yang lain, melangkah dengan ringan sambil tangannya bergerak-gerak cepat dan gesit, penuh tenaga.
Lenas sebenarnya bukan pemuda biasa. Ketika berumur 10 tahun, dia terpilih mengikuti papendangan, pendidikan untuk menjadi seorang waraney (pendekar). Dia terpilih bersama 27 remaja lain, dididik di puncak gunung Kalabat.
Papendangan (pendidikan) Kalabat merupakan hasil musyawarah para Kepala Walak se-Malesung, dua puluh tahun lalu, yang berharap dari sistim pendidikan ini akan tercipta generasi muda yang tangguh sekaligus calon pemimpin.
Di papendangan, Lenas dan teman-temannya diajarkan tentang pamanuan (kenegaraan), manguma (pertanian), mangasu (perburuan), wawantian (adat-istiadat), tumani (cara mendirikan desa baru) dan sakalele (ilmu bela diri). Mereka dididik oleh tiga tetua, yang hanya dikenal sebagai Ketare, Karua dan Katelu.
Sesudah lima tahun, diadakan seleksi, dan sembilan pemuda yang gugur dipulangkan ke wanua masing-masing. Sesudah sepuluh tahun, kembali diadakan seleksi, sembilan pemuda dipulangkan dan sembilan yang tersisa ini yang digembleng oleh ketiga tetua untuk menjadi waraney Minahasa yang berilmu tinggi.
Enam bulan lalu, kesembilan pemuda ini dinyatakan lulus pendidikan. Lenas dan saudara seperguruannya pulang kampung. Selama setengah tahun ini, Lenas menetap di Wanua Pinakoyakan dan dididik secara ketat oleh ayahnya, yang ingin Lenas juga mewarisi ilmu-ilmu bela diri khas walak Toulour. Ketika mengikuti papendangan, Lenas sebenarnya sudah menguasai dasar-dasar ilmu beladiri khas Toulour. Karena itu, sekembalinya dari pendidikan, dan setelah mewarisi ilmu sakalele yang cukup tinggi, tidak begitu sukar bagi dia melatih ilmu khas masyarakat air itu.
Ilmu bela diri Toulour secara turun-temurun disebut dengan Sakalele Tanu Rano wo Reghes (Silat Sakti Air dan Angin), yang terdiri dari 36 jurus, dan jurus-jurusnya bersumber atau diangkat dari kehidupan masyarakat Toulour yang dekat dengan air dan angin.
Selama enam bulan ini Lenas sudah menguasai ke-36 jurus dan kembangannya hampir sempurna, suatu hal yang membuat Ukung Waruwu kagum. Dia sendiri membutuhkan hampir sepuluh tahun untuk menguasai seluruh ilmu khas Toulour.
Lenas masih terus berlatih dengan giat, tanpa menghiraukan sinar matahari yang kini terlihat jelas di atas pegunungan Lembean. Tiba-tiba Lenas berteriak keras, melompat tinggi, dan tangannya melakukan gerakan menyilang dua kali dan kemudian memutar. Itulah jurus Ma’edo Lewo Witu Lour (Angin Puting Beliung Menerpa Danau), jurus ke-36 dari rangkaian Sakalele Tanu Rano wo Reghes.
Dan akibatnya sungguh luar biasa. Air di sekitar dia berlatih seakan terbelah oleh tangan raksasa di sebelah kanan dan kiri.
Lenas kemudian berjumpalitan tiga kali, dan melompat ke dekat ayahnya. Tubuhnya basah oleh keringat, nafasnya sedikit memburu, namun wajahnya tersungging senyuman.
Aku telah berhasil, ama’ (ayah),
ujar Lenas.
Benar. Kau telah menguasai rangkaian jurus ini, kendati gerakanmu masih terlalu kaku,
kata Waruwu. Namun dengan berlatih giat, ilmu ini akan mendarah-daging dan menyatu denganmu.
Lenas mengangguk. Kendati sudah menguasai, namun ia masih menemukan kesulitan untuk secara terus-menerus memainkan jurus-jurus ini secara berkesinambungan. Terlalu banyak kembangan yang harus dihafal.
Sekonyong-konyong dari kejauhan sayup-sayup terdengar bunyi tetengkoren (kentongan bambu). Ukung Waruwu menyimak sejenak, dan wajahnya berubah.
Ada yang tidak beres.
Tanpa menanti jawaban Ukung Waruwu segera melompat dan secepat kilat berlari ke arah wanua. Lenas juga segera menyambar pakaiannya mengikuti Waruwu.
Tetengkoren sudah sejak lama dijadikan sarana komunikasi bagi masyarakat Malesung. Walak Toulour sendiri telah menyepakati bagaimana pukulan dan bunyi tetengkoren. Ada bunyi-bunyi tertentu yang memiliki arti tertentu, yang berbeda tergantung irama dan kecepatan pukulan. Dan bunyi tetengkoren yang terdengar tadi bermakna: Penting, bahaya.
Karena jarak tempat Lenas berlatih dengan wanua tidak terlalu jauh, hanya dalam waktu sekejap ayah dan anak ini telah tiba di wanua
Mereka bergegas ke arah pintu masuk wanua sebelah timur, tempat asal tetengkoren berbunyi. Mereka melihat sekelompok prajurit sedang mengerumuni seorang lelaki yang berlumuran darah. Mengundam, dukun wanua terlihat sedang mengobati si lelaki yang sama sekali tidak mereka kenal.
Ada apa ... apa yang terjadi,
tanya Ukung sambil mendekati lelaki yang terbaring di tanah itu.
Dia mengaku datang dari wanua Niatepan. Dia bersikeras ingin bertemu dengan Ukung,
jawab Barengan, pemimpin prajurit wanua Pinakoyakan.
Lelaki yang berlumuran darah ini meringis, namun wajahnya terlihat gembira melihat kedatangan Ukung Waruwu. "Oh, syukur kepada Opo Empung (Tuhan Yang Maha Esa) karena saya bisa bertemu