Mandat dari Pakde: Satir Getir untuk Sebuah Negeri
Oleh Ahmad Maulana S
()
Tentang eBuku ini
Apa asingnya demonstran menari, barangkali pikiran itu yang akan merasuk ke benak setiap orang jika ada yang mempermasalahkannya. Bukankah demonstrasi memang lazimnya seperti itu; orasi, manusia-manusia yang terkonsentrasi, barangkali juga sedikit moral dan ketegangan. Dan … tentu saja sebuah tarian!
Tapi sebuah tarian bagi Jera bisa berarti banyak hal. Masing-masing dengan kedalaman maknanya sendiri. Kedalaman makna yang menjadi lebih dalam lagi ketika ia memaknainya dengan cara yang begitu mendalam, cermin kedalaman perasaannya yang semakin dalam waktu ke waktu.
Terkait dengan Mandat dari Pakde
E-book terkait
Kekuatan Lawan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianMenolak Panggilan Pulang Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Melodi Pelangi Rasa Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKerajaan Misteri Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianDunia Yang Hancur Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Tidak Ada Yang Bisa Lolos Dari Takdir Anda Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPenghianatan (Buku #3 Dalam Buku Harian Vampir) Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Trilogi Pelelangan: Sebuah “Jane Eyre” Zaman Modern (Bahasa Indonesia) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Malam Ketika Dia Menembak Dirinya (Kumpulan Cerpen) Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Garuda Hitam Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Bandit Penyulam: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianCinta (Buku #2 dalam Buku Harian Vampir) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Perempuan Bergaun Kafan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianYang Terlarang: Kisah Humor Keluarga Vampir Kontemporer Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianCatatan (Seorang) Alien Yang Terdampar di Indonesia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Kesalahpahaman: Roh Pemandu, Roh Harimau, Dan Seorang Ibu Yang Menakutkan! Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKebenaran Besar Kehidupan dan Cerita Lainnya Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPerjalanan ke Masa Lalu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianTapol Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Surat Untuk Adinda Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Empat Alis: Kekaisaran Rajawali Emas: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Son Of Badass Let's Be Badass Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianRindu Itu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianAll Heroes II The Song Of All Times Heroes Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Nikiolika, Flight of the Starling Book 2 Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Rinai dalam Angan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianJalan Pembunuh: Thriller Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianMenembus Batas Takut Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianMinuet (Antologi Puisi) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianTarian Kelopak Rindu Penilaian: 3 dari 5 bintang3/5
Fiksi Aksi & Petualangan untuk Anda
Perjalanan ke Masa Lalu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianAnalisis Masalah Seksual Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Tanpa Air Mata Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Lyra Gadis Perkasa Penilaian: 3 dari 5 bintang3/5Pedang Bermandikan Kembang Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Harum: Maling Romantis: Serial Pendekar Harum Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Negeri Minahasa, Buku Pertama, Darah: Kisah Para Waraney, #1 Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Pedang Naga Menangis: Malaekat Putih: Seri Pendekar Pedang Naga Menangis, #1 Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pendekar Pemikat Kembang: Go-bi Sin-kiam Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Negeri Minahasa Buku Kedua: Api: Kisah Para Waraney Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Last Second Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Garuda Hitam Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Si Pemetik Bintang: Geliat Jago Pedang Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pedang Abadi: Seri Tujuh Senjata Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendekar Empat Alis: Kekaisaran Rajawali Emas: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Sisi yang Berlawanan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPerburuan Wahyu Cakraningrat Penilaian: 2 dari 5 bintang2/5Di Belakang Barisan Musuh Diselamatkan oleh Senjata Rahasia: Bahasa Indoneasia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Bandit Penyulam: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianSenjata Rahasia Bulu Merak: Seri Tujuh Senjata, #2 Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKisah Supernatural Dari Dunia Jin Vol 1 Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Pendekar Empat Alis: Duel Jago Pedang: Serial Petualangan Pendekar Empat Alis Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Kejar, Kumpulan Cerpen Suspense Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5
Ulasan untuk Mandat dari Pakde
0 rating0 ulasan
Pratinjau buku
Mandat dari Pakde - Ahmad Maulana S
Persembahan
Bila umumnya sebuah karya dilahirkan satu kali oleh seorang penulis, ‘Mandat dari Pakde’ ini menjadi berbeda karena lahir berkali-kali serta bukan hanya oleh penulisnya semata.
Dengan penuh kerendahan hati saya persembahkan karya ini untuk:
Ikhwanul Halim
dan
‘To Whom It May Concern’
Selamat menikmati serta turut terlahir berkali-kali di setiap satir getir kisahnya.
Ahmad Maulana S.
Daftar Isi
Persembahan
Daftar Isi
Tarian Seorang Demonstran
Pelacur Bersayap Anjing
Dibayar Berapa?
Tanah Air Mata
Instruksi Presiden yang Menggegerkan
Korupsi Paling Brutal Sepanjang Sejarah
Bukan Mantra Kemarahan
Utopia, Indonesia
Tanah Air Mata, Gembel Tanah Air
Cara Aneh Menjadi Staf Khusus Penasehat Kepresidenan
Apa Itu Presiden, dan Benarkah Ada Presiden di Negeri Ini?
Ini Bukan Hanya Tentang Papua
Jamuan Penyambutan yang Amat Mendebarkan
Pendidikan yang Memang Amat Penting, Tapi untuk Siapa?
Kakak Pembina: Hawa Maut yang Bikin Bergidik
Deja Vu Papua
Pergulatan Batin dan Gemuruh Perjamuan
Pesta Bakar Batu dan Tradisi Potong Jari yang Menyisa Pilu
Tersesat di Alas Borneo
Ot Siau
Ritual Kematian yang Membingungkan
Siriq
Tak Malukah Kau Mencuri Bendera?
Tentang Penulis
Tarian Seorang Demonstran
Apa asingnya demonstran menari, barangkali pikiran itu yang akan merasuk ke benak setiap orang jika ada yang mempermasalahkannya. Bukankah demonstrasi memang lazimnya seperti itu; orasi, manusia-manusia yang terkonsentrasi, barangkali juga sedikit moral dan ketegangan. Dan … tentu saja sebuah tarian!
Tapi sebuah tarian bagi Jera bisa berarti banyak hal. Masing-masing dengan kedalaman maknanya sendiri. Kedalaman makna yang menjadi lebih dalam lagi ketika ia memaknainya dengan cara yang begitu mendalam, cermin kedalaman perasaannya yang semakin dalam waktu ke waktu.
Baru minggu kemarin Jera genap berusia dua puluh Desember. Dan baru Desember kemarin pula ia menggenapkan dua kali Desember di kampusnya, setelah melewati Desember-Desember itu dengan gerak yang tertatih.
Tapi kearifan memang bukan lagi tentang usia, juga bukan tentang pendidikan. Sebab itu adalah rahasia milik-Nya. Rahasia yang terus ia serap hari demi hari dengan penuh rasa syukur. Lewat tarian kehidupan yang terhampar luas penuh hikmah. Juga, lewat demonstrasi demi demonstrasi yang teramat kerap ia geluti.
Dari hari ke hari, dari demonstrasi ke demonstrasi Jera semakin paham pada demonstrasi. Hingga suatu titik ia mampu membaca demonstrasi hanya dengan sepintas pandangan. Tentang asal kelompok, tujuan serta gaya yang digunakan. Bahkan tak jarang ia berhasil memprediksi ending mereka; rusuh, damai atau cuma hampa.
Tak hanya sampai di situ, demonstrasi terus membukakan hakikatnya kepada Jera. Mengasah batinnya hingga sejernih udara. Tersibaklah baginya segala yang tak kasat mata, menyeruak bersama geletar-geletar makna yang terendap dalam selubung rahasianya. Dan ia pun menjadi semakin mengerti. Demonstrasi tak lagi dimaknainya hanya demonstrasi. Pun tariannya, tak lagi sekadar gerak tubuh penetralisir hati.
Ketika para demonstran itu menari ia melihat sejarahlah yang menari, yang bergulir ke sana-kemari bersama angin perubahan yang terus dihembuskan. Juga ketika demonstrasi kemudian pecah bersama rebahnya jasad-jasad muda buah prosedur yang salah, ia melihat justru kekuasaanlah yang pecah, yang meluruh bersama segala tirani yang mengungkungnya.
Tak hanya dalam demonstrasi, detak-detak kepekaan yang telah kencang dan memarginal erat di hatinya serta-merta melahirkan interpretasi baru. Kehidupan tak lagi sekadar hitam dan putih baginya. Kadang bercampur-baur, kadang selubung-menyelubungi. Bahkan tak jarang ia harus mengendapkan dulu semuanya hingga benar-benar mengerti bahwa hitam memang hitam, dan putih … bukan sekadar hitam yang dipoles.
Seperti beberapa waktu yang lalu ketika ia menyaksikan kerentanan demi kerentanan melanda negerinya, yang memang terlalu rentan terhadap perubahan. Ketika Ambon rusuh ia menemukan mautlah yang rusuh, yang menari dengan beringas dari dalam mata-mata merah dan ikat kepala yang juga merah. Semerah tarian yang ditebarkan mereka: Atas Nama Maut!
Begitu juga ketika negaranya dituding sebagai sarang teroris. Kenyataan seketika memberinya senyum, duka, marah, barangkali juga gemas bercampur geli sebab ia melihat justru merekalah teroris itu, yang terus saja membuat sarang di negerinya dengan segala macam penyelundupan, pencucian dan pemutihan uang, dan—terutama sekali—pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Berpura-pura sebagai pemberantas teroris dengan terus menarikan teror demi teror.
Dan di usianya kini yang serba tanggung, Jera semakin merasa asing dengan dunianya. Perasaan asing yang semakin lama semakin terasa keasingannya. Terasa sukar baginya merasai lagi segala yang indah-indah dalam peradaban negerinya. Adat yang bersendikan syariat, yang kemudian bersendikan lagi kepada kitabullah. Semuanya telah menjadi sangat lekang di kelang zaman.
Pun ketika—dengan segala rentang dan jaring yang telah ia bangun—dimasukinya lagi pergulatan demonstrasi yang tersisa, ia tak menemukan apapun lagi di sana selain kekosongan. Kekosongan yang terus menetaskan kebohongan demi kebohongan. Demonstrasi tak lagi suci baginya, tak lagi sakti seperti dulu.
Penasaran, ia terus mencari. Tapi yang ia temukan adalah deja vu yang berulang-ulang. Kosong. Bohong.
Juga ketika dengan harapan yang tersisa, ia masuki lagi bangun mentereng di daerah Kuningan, ia kembali terpuruk. Alih-alih memperoleh rasa lega dan tempat bersandar, justru kekecewaan menampar-nampar nuraninya. Sebab di sana, di dalam gedung yang pernah menjadi pusat organisasi orang-orang muda itu, tak sekadar kebohongan yang ia temukan. Dengan mata kepalanya sendiri