Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Utuh: Sebuah kisah
Utuh: Sebuah kisah
Utuh: Sebuah kisah
eBook435 halaman5 jam

Utuh: Sebuah kisah

Oleh Ardi

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Thomas, Om Andi dan Reyhan telah hidup dalam kesempurnaan untuk waktu yang lama. Mereka kerap mengabaikan ketidaksempurnaan yang hadir seperti menolak kesedihan, kekecewaan, kemarahan dan berbagai pengalaman ketidaksempurnaan lainnya. Kuatkah mereka untuk terus-menerus hidup dalam kesempurnaan?

Kevin, Nel dan Fadel terus-menerus mencari sesuatu untuk memenuhi lubang besar di jiwanya. Sudah banyak air mata yang dijatuhkan, sudah banyak derita yang dilalui, bahkan sudah banyak orang lain yang turut menderita karena pencarian itu. Bertemukah mereka dengan pencariannya?

Di dalam buku ini, keenam tokoh akan bertutur tentang pengalaman kesempurnaan dan ketidaksempurnaan hidup mereka. Bagaimana pengalaman-pengalaman itu saling berinteraksi satu sama lain di alam semesta hingga mencapai keutuhan hidup.

Kisah mencengangkan ini, dipertemukan di sebuah, katakanlah, meja kerja konsultasi. Kisah-kisah yang barangkali tak akan kita akui bahwa kisah ini ada, disembunyikan dan dikunci dalam-dalam. Namun kini, kisah ini hadir, menorehkan keinginan dan pencariannya akan keutuhan, dan barangkali akan menggenapi nalar dan tanya pembaca menuju diri yang utuh...

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis28 Des 2023
ISBN9786236521823
Utuh: Sebuah kisah
Penulis

Ardi

Memiliki nama lengkap I Putu Ardika Yana. Lahir di Palu, 15 Oktober 1989. Ia adalah anak dari Niluh Sarinu dan Made Tangsi. Pada masa kecil hingga kuliah, ia akrab di sapa Putu, namun sekembalinya ke Palu, ia mengganti nama sapaannya menjadi Ardi.Ardi bersekolah di SD Negeri Inpres V Lolu. Selama sekolah, ia sering disapa keong karena bertubuh kecil dan berkepala besar. Tentu saja itu menjadi semacam hinaan bagi dirinya, namun kata-kata itu yang justru membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang percaya diri. Setelah lulus SD, ia melanjutkan studinya di SMP Negeri 2 Palu dan SMA Negerti 2 Palu. Kedua sekolah itu adalah sekolah terbaik di masanya dan Ardi dengan mudah masuk di sekolah itu karena kemampuan akademiknya yang memang di atas rata-rata.Lulus dari SMA, Ardi yang masih tetap kurus dan kecil, manja dan penakut ini, nekat untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta meski ia sedang sakit-sakitan karena asma yang dideritanya sering kambuh. Ia punya mimpi dan cita-cita untuk menjadi dokter, namun sayangnya, berkali-kali ia tes, ia masih juga gagal masuk di kedokteran universitas gadjah mada. Akhirnya, untuk mengobati rasa gagalnya, ia memilih kuliah Psikologi dan sangat tertarik dengan peminatan klinis sejak awal kuliah sarjana.Ternyata, ia memang harus belajar di Universitas Sanata Dharma. Kampus itu mengajarkannya tentang kecerdasan yang seimbang antara akademik dan kemanusiaan. Dari Sanata Dharma ia belajar tentang bagaimana memuliakan Tuhan dengan menunjukkan kemulian kita sebagai manusia.Berbekal keilmuan psikologi, karakter dan kepribadian dari Universitas Sanata Dharma, ia bertekat untuk melanjutkan kuliah S2 di Magister Psikologi Profesi UGM bidang Psikolog Klinis yang peminatnya sangat banyak namun kuotanya terbatas. Mimpinya terwujud. Ia diterima di UGMBukan Ardi jika tidak sibuk. Di Palu tanpa kesibukan, ia kehilangan jati dirinya, di Palu dengan ritme yang baginya datar, ia justru mengalami depresi berat. Sejenakhening.com dilahirkan oleh Ardi di bulan September 2016, saat ia sedang mengalami Depresi Berat. Dalam rentang waktu 3 bulan (Agustus - November 2016) ia telah melakukan percobaan bunuh diri, namun sahabatnya Eriek dan Yuni berhasil menyelamatkan hidupnya.Setelahnya, ia bangkit dan membesarkan sejenakhening.com. Lembaga ini adalah aktivitasnya di luar selain sebagai PNS di BNNP Sulteng. Keduanya adalah tempatnya mengabdikan diri untuk Kesehatan Jiwa masyarakat. Baginya, Kesehatan Jiwa adalah hak setiap orang. Bersama sejenakhening.com, ia telah menginvestasikan hidupnya dengan sangat besar untuk aksesibilitas layanan Kesehatan Jiwa di Sulawesi Tengah.

Terkait dengan Utuh

E-book terkait

Kategori terkait

Ulasan untuk Utuh

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Utuh - Ardi

    Kevin

    Fadel berjalan cuek di depan Kevin sembari memainkan handphonenya. Masih jam sembilan. Kereta kita jam sebelas Del. Kata Kevin kepada Fadel. Keduanya tampak saling berkejaran di bagian depan stasiun. Kevin yang lebih pendek dan lebih kecil bersusah payah mengejar Fadel yang kurus tinggi dengan kakinya yang panjang.

    Jadi? Tanya Fadel berbalik.

    Kevin memperbaiki tas backpacknya yang tampak lebih besar dari tubuhnya sendiri. Mau nunggu di dalam apa di luar? Di luar gak ada tempat. Sambung Kevin setelah memandang sekitar dan tidak menemukan tempat tunggu yang kosong. Stasiun sedang ramai-ramainya.

    Di dalam aja. Jawab Fadel singkat sembari meninggalkan Kevin.

    Di dalam ruang tunggu stasiun keduanya memutuskan untuk makan di restaurant fast-food. Kevin sedikit bernafas lega karena ia dapat beristirahat sejenak setelah berlarian dengan Fadel, yang entah kenapa harus tergesa-gesa.

    Ternyata, saat makan pun Fadel masih tergesa-gesa. Ia lebih dulu menyelesaikan makanannya dan tanpa menunggu Kevin, ia pamit mau pergi. Aku duluan ya kak. Aku tunggu di depan.

    Kevin bingung. Bukankah tadi ia mengatakan akan menunggu di dalam? Tapi kenapa sekarang mau menunggu di luar? Kevin merasa kalau Fadel tidak senang dengan kebersamaan mereka. Aku ikut Del. Kevin memutuskan untuk berhenti makan meski makanannya belum tersentuh lebih dari setengah. Ke mana kita?

    Aku mau ngerokok di luar. Katanya tanpa berpaling pada Kevin. Ia hanya berjalan cepat menuju pintu keluar, seolah-olah sedang berkejaran dengan sesuatu.

    Oke. Kata kevin seperti orang bego, yang kemudian tergesa-gesa menggendong tasnya dan mengejar Fadel. Sayangnya, saat ia mengejar Fadel, orang-orang baru saja keluar dari kereta dan jalan bergerombol menuju pintu keluar. Kevin pun kehilangan jejak Fadel.

    Di mana dia? Tega banget sih ninggalin kayak gini. Kayaknya aku emang gak ada artinya deh buat dia. Keluh Kevin dalam hati yang kesal dengan sikap Fadel yang acuh tak acuh. Kevin berkeliling di luar stasiun untuk mencari keberadaan Fadel, namun karena membawa tas yang berat dan cuaca yang panas, ia merasa kelelahan.

    Kevin berhenti sejenak, mengambil nafas di ruang tunggu bagian luar sambil melihat handphonenya.

    Ada pesan singkat dari Fadel Aku di tempat kemaren malam. Tulisnya.

    Kevin melenguh. Kayaknya ia emang gak punya hati. Kenapa ia harus pergi tergesa-gesa meninggalkanku? Kenapa ia cuek banget sih? Apa salahku? Batinnya sembari berjalan menuju tempat Fadel.

    Bukankah mereka harusnya berduaan, bersama, berjalan beriringan, menuju suatu tempat jika saling menyayangi? Aku udah gak sanggup Del. Sejak kemaren, pagi tadi, dan sekarang, kamu berubah. Apa yang kamu mau sebenarnya Del? Omonginlah! Jangan diam kayak gini. Kamu menyakitiku Del. Sebaiknya aku berhenti berharap sekarang juga. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti. Kata Kevin mantap di dalam hatinya.

    Kevin melihat Fadel yang duduk di ruang terbuka di depan gerai mini market. Ia sedang menikmati rokoknya sembari bermain games di handphonenya. Kevin menghampirinya dan duduk dengan jarak terpisah sekitar satu meter. Mereka duduk di lantai karena di tempat itu tidak tersedia kursi untuk duduk. Sebenarya itu bukan ruang tunggu, tapi banyak orang yang memanfaatkannya untuk menunggu sembari merokok.

    Kevin memandang Fadel yang asyik dengan dunianya sendiri. Merasa kalau hadirnya tidak dianggap oleh Fadel. Ia bersabar dan mengendalikan amarahnya dengan membaca buku dan bersikap tidak peduli sebagaimana Fadel tidak peduli kepadanya. Ia juga memasang earphone di telinganya dan memutar lagu favoritnya.

    Di saat Kevin sedang menikmati lagu dan bukunya—setelah dua puluh menitan dalam diam—Terdengar samar-sama oleh Kevin kalau Fadel berbicara. "Harusnya kamu bantuin aku untuk interview besok. Kan kamu punya pengalaman. Katanya mau bantuin?" Tanyanya yang terdengar sinis tanpa berpaling dari handphonenya.

    Kevin menggelengkan kepala mendengar perkataan Fadel. Siapa yang nolak untuk bantuin? Siapa coba yang mengabaikanku? Siapa yang meninggalkanku? Lalu tiba-tiba kamu bilang seharusnya. Bukankah sudah sejak kemarin aku ada di sampingmu?

    Kevin menggelengkan kepalanya, ia merasa marah tetapi tidak mampu mengutarakannya. Ia terlalu mencintai Fadel. Iya. Nanti di kereta.

    Setelah menunggu hingga pukul sebelas, keduanya naik kereta dan berangkat. Kevin mengeluarkan buku untuk membantu Fadel mempersiapkan interviewnya. Banyak hal yang telah mereka bahas, hingga tiba pada satu masalah utama yang menurut Kevin sangat menghambat perkembangan diri Fadel.

    Kenapa aku harus menulis surat kak? Tanya Fadel. Aku memang marah dan benci kepada papa, tapi kan udah kak. Dia udah pergi juga.

    Ya gak papa Del. Aku percaya menuliskannya akan membantumu lebih baik dalam memahami dan memaafkannya. Cobain aja.

    Ok! Jawabnya dengan wajah sendu. Kevin menyerahkan sebuah kertas dengan bagian kosong di atasnya. Fadel menerima dan bersiap menulisnya.

    Sejenak, keduanya saling pandang. Kevin melihat kerapuhan di mata Fadel, kerapuhan oleh luka yang begitu dalam, yang telah terinfeksi karena pengabaian yang ia alami.

    Tanpa mampu menahan gejolak perasaannya untuk menyayangi Fadel, Kevin mengangkat tangannya dan memegang kepala Fadel di bagian depan sembari menata rambutnya dengan lembut. Tulislah Del. Lepaskan semua kemarahan dan luka di hatimu. Ini saatnya. Papamu harus tahu apa yang kamu rasakan meskipun ia sudah pergi.

    Dan semua tekad Kevin untuk berhenti mencintainya, berhenti berjuang memilikinya dan berhenti untuk merasa sakit seperti sebelumnya lenyap. Kevin mendapati harapan baru untuk mendekap Fadel dengan cinta. Hormon cinta telah membanjiri otaknya lagi yang membuat Kevin terbuai. Aku bakal berjuang untukmu Del, untuk menyayangi dan memilikimu. Kamu tahu? Aku sangat mencintaimu.

    Kevin melirik paragraf pertama yang dituliskan Fadel.

    Dear Papa

    Papa, ini surat pertamaku tentangmu setelah papa pergi 7 tahun yang lalu. Papa tahu, saya sekarang sudah 26 tahun tapi rasanya luka tentangmu masih dalam sekali pa. Bertahun-tahun saya pendam bahkan ketika papa sudah mati. Saya sebenarnya takut untuk mengatakan semua ini.

    

    Fadel

    Dear Papa

    Papa, ini surat pertamaku tentangmu setelah papa pergi 7 tahun yang lalu. Papa tahu, saya sekarang sudah 26 tahun tapi rasanya luka tentangmu masih dalam sekali pa. Bertahun-tahun saya pendam bahkan ketika papa sudah mati. Saya sebenarnya takut untuk mengatakan semua ini.

    Papa kejam sekali pa, terhadapku dan semua anak-anakmu. Kenapa kamu selingkuh sejak kami kecil? Pernahkah papa memikirkan perasaanku ketika papa mengajakku ke rumah selingkuhan papa dan membiarkanku melihatmu bercumbu mesra dengan perempuan itu. Saya memang masih kecil dan belum paham dengan apa yang terjadi saat itu tapi seiring pertumbuhanku, saya menjadi sangat paham dengan apa yang terjadi. Apalagi papa melakukannya berulang kali hingga saya besar.

    Mama tiap malam menangis karena tahu papa selingkuh. Hatiku sangat sakit setiap lihat mama menangis. Masalahnya pa, saya tahu penyebab mama menangis, saya tahu mama sedih, kecewa, marah dan terluka akibat ulah papa dengan perempuan itu. Dan yang membuatku makin marah pada diriku sendiri adalah saya hanya diam melihat mama seperti itu tanpa bisa mengatakan yang sebenarnya kepada mama. Papa tahu gak bagaimana siksaan batinku karena itu semua?

    Papa memang pintar membuat kami semua hidup tanpa punya pilihan selain menerima perlakuanmu.

    Oh iya, saya marah sama diriku sendiri pa. Kamu tahu, saya mencintai laki-laki…

    Fadel tidak melanjutkan suratnya lagi. Ia termenung dan menitihkan air mata karena mengenang masa lalunya. Sudah terlalu dalam luka itu. Rasanya Fadel baru berkunjung sebentar, namun saat ia masuk, ia menemukan kalau luka itu masih bernanah, yang tampaknya sudah berubah menjadi kanker hingga mengubah struktur genetika, merusak cetak awal DNA dan menciptakan pola DNA yang baru. Sayangnya, ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi pribadi yang baru karena luka itu.

    Kenapa aku harus menuliskannya?

    Berat? Tanya Kevin.

    Berat kak. Ku pikir akan mudah kak, ku pikir? Katanya terhenti sejenak. Aku sudah mengikhlaskannya. Ternyata… Ia diam tertahan.

    Lanjutkan saja Del. Nanti kita bisa memulai dari awal lagi.

    

    Reyhan

    Reyhan membuka aplikasi radio streaming dan mengaktifkan stasiun radio favoritnya. Tiba-tiba terdengar lagu yang beberapa minggu ini menjadi tren di mana-mana. Liriknya tentang sendiri, kesepian dan kerinduan. Ia sudah hafal benar lagu itu namun baru petang itu ia merasa terganggu dengan liriknya. Hatinya terusik tidak nyaman, dan tiba-tiba ia merasa lelah hidup sendiri, lelah kesepian dan merindukan sesuatu.

    Tidak kuat merasakan hal itu, ia mematikan radionya dan mencari cara memperbaiki suasana perasaannya. Ia lantas teringat sesuatu, ada aplikasi kencan yang sekarang lagi tren. Mungkin ia bisa menemukan teman di aplikasi itu untuk menemani kesepiannya.

    Reyhan mengunduh dan memasangnya. Ia Membuat akun, mengisi biodata, mengunggah foto profil, dan menentukan jenis gender yang ingin dikencani. Ia memilih semua yang sudah teratur secara default dan kemudian berselancar di aplikasi itu.

    Ia sudah banyak melihat kartu-kartu yang menunjukkan foto orang lain disertai nama dan jaraknya. Laki-laki dan perempuan, bertebaran di beranda aplikasi. Swipe kanan tanda suka, swipe kiri tanda tidak suka. Sudah banyak laki-laki dan perempuan yang ia pilih, sudah beberapa orang yang berbalas sapa dengannya, namun pencariannya berhenti ketika ia melihat satu akun bernama Thomas. Fotonya tampak tegas, dingin misterius namun terlihat rapuh di matanya. Berusia 30 tahun dan tidak memasang foto lain selain satu foto itu. Reyhan menswipe ke kanan dan menunggu responnya.

    Beberapa menit kemudian ada pemberitahuan jika keduanya match. Reyhan segera menuliskan pesan pertamanya kepada Thomas. Saat akan menuliskan kalimat sapaan, dalam sekejap, ia menjadi ragu. Apakah wajar mengontak laki-laki di aplikasi ini? Kalau aku mau kencan, bukankah seharusnya aku mencari perempuan? Rehyan terdiam lama di kotak chat, hingga perlahan, tangannya bergerak menekan keyboard di layar tanpa ia sadari.

    Halo. Sapa Reyhan.

    Terkirim, tapi tidak tahu terbaca atau tidak. Ia hanya bisa tahu kalau Thomas baru saja aktif. Dengan sabar, Reyhan menunggu balasannya. Sayangnya usahanya tampaknya gagal. Ia tidak mendapatkan respon apapun dari Thomas.

    Memikirkan kegagalannya justru membuat Reyhan gelisah. Ibarat singa yang siaga menerkam mangsanya, seperti itu pula Reyhan yang siaga menunggu balasan Thomas. Ketika ada bunyi di handphonenya, ia langsung melihatnya, berharap itu adalah balasan dari Thomas. Sayangnya, beberapa kali kesiapsiagaannya berakhir gagal karena ia hanya mendapati pesan dari teman-teman lainnya, bukan dari yang diharapkan.

    Lelah siaga, ia pun menyerah. Seketika ia sadar dengan kebodohannya yang siaga menunggu balasan. Untuk apa aku menunggu? Dia siapa coba? Ah goblok!

    Ia bangun dari posisi tidurnya dan memindahkan handphonenya ke meja samping tempat tidurnya. Seketika itu balasan chat dari aplikasi kencan itu muncul, nama Thomas terlihat di layarnya. Responnya kembali siaga, ia langsung membukanya dan tersenyum sendiri ketika membaca balasannya.

    Ia. Halo. Balas Thomas. Tanpa menunggu lama, Rehyan langsung membalasnya. Lega, namun tak lama kemudian, ia justru menjadi cemas karena berharap pesannya akan terus berbalas.

    

    Thomas

    "Ia. Halo." Balas Thomas

    Tak lama, pesan itu berbalas.

    Salam kenal. Pesan balasannya.

    Ia memperkenalkan dirinya. Thomas. Siapa?

    Rehyan. Lagi di mana?

    Lagi nongkrong sama teman-teman.

    Oh iya. Maaf ganggu.

    Gak papa. Kamu sendiri lagi di mana?

    Aku di rumahku.

    Pembicaraan di aplikasi itu berlanjut hingga tanpa disadari Thomas, ia sudah melupakan teman-teman di hadapannya. Sudah lebih dari dua puluh menit mereka saling berbalas pesan. Bagi Thomas, itu adalah pertama kalinya ia terlibat pembicaraan yang seru dan lama bersama orang di aplikasi kencan. Biasanya ia hanya berbicara tentang role, ajakan ngeseks, cocok, share location, dan ketemuan, kelar. Tapi kali itu, ia malah meladeni percakapan tanpa intensi berhubungan seksual.

    Semakin lama ia semakin asyik berbalas pesan dengan Reyhan. Ia menjadi amfibi yang hidup di dua dunia sekaligus, fisiknya di kafe tetapi pikiran dan jiwanya sedang bersama Reyhan. Ia juga tidak menyadari persis mengapa Reyhan bisa membuatnya seperti itu tapi yang ia tahu, ia tidak punya alasan untuk mengakhiri percakapan itu.

    Thomas akhirnya memilih untuk mengakhiri aktivitas nongkrongnya bersama teman-temannya. Ia berencana untuk fokus ngobrol bersama Reyhan entah bertemu langsung atau saling menelepon.

    Aku balik ya. Katanya mengejutkan teman-temannya. Nanti Aku bayar, kalian lanjut aja. Makasih ya. Thomas bangun dari duduknya dan melejit pergi.

    Aku bisa nelfon gak? Tanya Thomas.

    Boleh kok. Ini nomorku ya.

    Sambil mengendarai mobil—dengan mode bebas genggam—ia menelepon Reyhan. Halo. Sapa Thomas. "Sorry lama. Tadi siap-siap soalnya."

    Emang mau ngapain?

    Kan tadi aku lagi nongkrong sama teman-temanku tapi karena mau ngobrol sama kamu, aku mutusin buat balik duluan. Ini baru aja mau jalan.

    Oh gitu. Gak papa nih kak nelfon sambil nyetir?

    Gak papa kok. Oh iya, jangan panggil kakak ya. Langsung aja Thomas atau Thom.

    Oke.

    Awalnya selalu dimulai dengan kegagapan dan pertanyaan basa-basi, tapi setelahnya dua sudah menjadi satu, bahkan waktu dan kondisi tidak cukup lagi memisahkan mereka. Mereka larut dalam untaian kata-kata yang berisikan dialeg ringan soal asa dan hidup, namun menjadi menarik karena keduanya merasa saling memahami. Bukankah itu asal dari semua cinta?

    Lama ya kita ngobrol? Tanya Thomas tertawa renyah, menyadari kalau komunikasi mereka sudah sampai dini hari.

    Iya ya Thom, udah lewat jam satu malam loh. Jawab Reyhan dengan tawa renyah yang sama. "Sorry ya."

    Gak papa Rey. Jawab Thomas. Ia mencoba meyakinkan Reyhan bahwa semuanya baik-baik saja. Kalau tidak baik, mana mungkin ia memasang telinga sebaik itu, melupakan panasnya handphone demi mendengar cerita Reyhan. Reyhan? Thomas tertegun, tersedak, menelan ludah. Jadi, mau diakhiri sekarang atau? Bisakah kita tetap melanjutkan percakapan ini? Bisakah tidak ada akhir dan tetap seperti ini saja?

    Terserah kamu aja Thom, mau lanjut atau gak.

    Nanti mau ketemuan makan siang atau makan malam gak? Tanya Thomas. Masih pukul satu dini hari, masih lama untuk makan siang atau makan malam.

    Sepulang kerja aja Thom. Nanti aku ke kantormu dan kita bisa melanjutkan segalanya. Segalanya.

    Oke Rey. Aku kirim alamat kantorku nanti ya. Setelahnya kamu silakan datang, aku menunggumu. Sekarang. Lanjut Thomas dalam hati.

    Oke Thom. Mari kita akhiri malam ini. Sampai bertemu nanti ya.

    "Oke Rey. Night!"

    Kenapa harus ada akhir dari setiap pertemuan? Sudah berputar-putar aku menikmati pemuas dahagaku, mencari tanpa lelah, hingga kehilangan rasa tapi malam ini kamu hadir, memenuhinya dan membuatku tak kuasa untuk mengakhirinya.

    Selang beberapa detik, Reyhan mengiriminya pesan penutup malam. Terima kasih Thom! pesan yang membuat Thomas tersenyum senang, bangga melambung tinggi tapi tidak merasa angkuh seperti biasanya.

    

    Om Andi

    Berusia 42 tahun, om Andi, mendapati dirinya penuh dengan kegemilangan karir. Tentu saja, karir yang di dapat bukan dari pemberian melainkan dari usaha dan kerja kerasnya. Karir yang membuatnya mampu mengarungi bahtera rumah tangga yang terasa hampa tanpa makna. Karir adalah pelarian dari kejenuhannya berumah tangga. Selain karir, dua anaknya adalah kompensasi untuk mempertahankan pernikahan itu.

    Ia hidup dengan menjalani dualisme kehidupan. Bukankah hidup ini penuh dikotomi? Soal baik dan buruk, hitam dan putih.

    Ada yang bisa diajak main gak Ken? Tanyanya melalui pesan kepada Ken. Ken adalah salah satu mucikari ternama di kota ini. Barang yang biasa. Jangan yang tua.

    Waduh om barang lagi abis nih. Beberapa hari ini sulit cari brondong, lagian om maunya hanya daun muda sih. Jawab Ken.

    Jadi, bisa dapat di mana Ken? Pengen banget nih.

    Bukannya om punya aplikasinya, coba aja om, siapa tahu dapat yang cocok.

    Ya sudah kalau gitu.

    Om Andi mengikuti saran Ken. Ia membuka aplikasi kencan yang sudah terpasang di handphonenya dan menyusuri pengguna yang ada di deretan aplikasi itu. Ia mencari laki-laki muda, berusia 20-an, dan tentu saja yang mau melayani nafsunya yang sudah memuncak.

    "Fun?" Tanya om Andi pada salah satu akun yang bernama Nel. Om Andi memilihnya dari sekian pengguna setelah melihat usianya. 24 tahun. Semoga benar.

    Di mana?

    Di rumahku. Usia kamu?

    24. Om?

    "42. Bot kan?"

    Iya.

    Singkat cerita, malam itu dayung bersambut. Om Andi akan menemukan pelampiasan nafsunya. Sudah dua tahun belakangan ia melampiaskan nafsu seksualnya tidak hanya kepada istrinya namun juga kepada perempuan dan laki-laki. Baginya, bercinta dengan istrinya hanya kewajiban belaka, menghindari pertanyaan mengapa tak ada lagi ritual bercinta sebagai pasangan suami istri, tetapi ia tahu, ia tidak melakukannya dengan cinta.

    

    Nel

    Ini pertama kali bagi Nel menerima ajakan orang yang sudah tua. Sebelumnya ia selalu menolak, bahkan tidak menggubris jika ada om-om di usia 40-an yang mengajaknya ngobrol apalagi ngeseks. Terbayang om-om gempal dan kulit yang sudah melember karena usianya. Meskipun bermain bersama om-om diyakini Nel akan memberikan banyak pengalaman bercinta karena mereka sudah berpengalaman, namun ia tidak mau disiksa oleh badan gempal, berlemak dan perut yang membuncit.

    Akan tetapi pandangannya itu tidak berlaku malam itu. Entah mengapa ia justru menerima ajakan om Andi untuk fun. Mungkin karena sedang pengen, ia tidak lagi memilih siapapun yang bisa diajak ngeseks.

    Sekarang, Nel sudah berada di depan pintu rumah om Andi. Beberapa kali Nel mengetuk pintunya, namun om Andi tidak kunjung membukakan pintu. Ia pun menghubungi om Andi melalui aplikasinya.

    Saya di depan om. Tulisnya dan terkirim.

    Tidak sampai satu menit, pintu terbuka di hadapannya. Berdiri seorang laki-laki yang lebih tinggi daripada Nel, perkiraannya sekitar 178 cm. Ia menelan ludah memandangi laki-laki itu. Berbeda dari apa yang ia persepsikan sebelumnya, om Andi tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Seharusnya, ia masih berusia 30 daripada 42. Sosoknya terlihat dewasa dan kebapakan namun sangat memperhatikan ketampanan dan bentuk tubuhnya. Ia pasti rajin olahraga dan merawat tubuhnya.

    Ada kesenyapan di antara keduanya, mata bertemu mata yang diikuti dengan harapan bertemu harapan. Tiba-tiba ada kerinduan yang terasa. Ada yang tidak perlu dijelaskan oleh pertemuan itu tetapi tiba-tiba hadir menelisik hati. Keduanya hanya mampu saling pandang, tidak lebih, namun seolah cukup menjelaskan apa yang mereka butuhkan. Nel merasakan kehangatan dan penerimaan yang telah lama lenyap, kehangatan dan penerimaan yang menyamankan, yang menciptakan perasaan tenang meski belum saling berucap.

    Bagaimana mungkin kehangatan hadir tanpa sentuhan fisik? Bagaimana mungkin penerimaan hadir tanpa bisikan kata yang terdengar di telinga. Atau keduanya memiliki frekuensi yang cukup untuk membuatnya terdengar meski tidak berucap?

    Om Andi bergumam lama, tampak mencoba menguasai dirinya. Masuk! Ajaknya.

    Baik om. Kata Nel. Ia melangkahkan kakinya dengan ragu untuk masuk ke dalam rumah om Andi. Orang pada ke mana om?

    Istri dan anak-anakku liburan ke Bali. Jawabnya.

    Nel mendekati foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu. Ia memandang foto yang tampak sempurna itu. Suami, istri, dan dua anak lelakinya, tersenyum bahagia, mengenakan seragam batik yang dominan berwarna biru.

    Istri om?

    Iya.

    Nel memandang kedua anak laki-laki di antara om Andi dan istrinya.

    Yang itu kakaknya 10 tahun dan adiknya 4 tahun. Jelasnya tiba-tiba, seolah memahami pikiran Nel.

    Kenapa om? Tanya Nel tanpa berpaling.

    Panjang ceritanya. Aku mencari apa yang tidak kuketahui. Jawabnya datar. Tampaknya, aku tidak lagi bernafsu. Gumamnya. Om Andi pergi menghilang, Nel berpaling sebentar melihat kepergian om Andi dan berbalik lagi memandang foto keluarga itu.

    Beberapa saat kemudian om Andi datang dengan celana panjang dan baju kaos oblong, ia memegang handphone dan kunci mobilnya.

    Gak jadi? Atau mau main di luar? Tanya Nel heran.

    Aku akan mengantarkanmu pulang. Jawabnya.

    - Keresahan yang diabaikan -

    Fadel

    2013

    Kami sekeluarga memutuskan pindah tempat tinggal setelah papa meninggal. Itu pilihan yang berat namun kami tidak mungkin selamanya bersitegang dengan keluarga lainnya setelah papa tiada. Mama memutuskan melanjutkan kehidupan di rumah yang lebih sederhana untuk kami—mama dan ketiga kakakku.

    Aku menjadi anak bungsu yang paling bingung dan paling tidak tahu harus berbuat apa setelah papa meninggal. Setahuku, semua perekonomian akan berubah beberapa waktu ke depan, apalagi masih ada kakak ketigaku yang kuliah di luar kota. Kakak pertama dan kedua juga masih belum mendapatkan pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Sepertinya, aku lagi yang akan menjadi korban atas kepergian papa.

    Yang pasti, kuliahmu harus tetap lanjut. Tegas mama.

    Bagaimana biayanya?

    Kita sisihkan uang pensiun papa sembari mama cari-cari kerja sampingan.

    Ma, aku kerja aja ya? Tanyaku getir.

    Asalkan kuliahmu tetap berjalan.

    Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan sembari kuliah. Apply lamaran kerja di beberapa tempat sekaligus. Keberuntungan berpihak kepadaku, tidak lama berusaha aku kemudian diterima di sebuah kafe untuk menjadi pelayan. Aku tidak memilih-milih pekerjaan apapun sepanjang mereka menerimaku bekerja part-time.

    Sejak itu, aku memulai aktivitas perkuliahan sembari bekerja. Awalnya masih terasa mudah. Pagi kuliah, sore hingga malam bekerja. Hingga tiga bulan setelah itu, aku mulai merasa kelelahan, tugas-tugas kuliah yang semakin banyak membuatku tidak sanggup mengerjakannya. Apalagi jika kafe sedang ramai-ramainya, yang harusnya aku bekerja part-time malah menjadi full-time hingga pulang larut malam. Kalau sudah seperti itu, aku bakal kelelahan, ketiduran dan melewatkan kelas di pagi hari.

    Hal itu membuatku perlahan-lahan menarik diri dari kampus. Semua waktuku tersita untuk kerja dan istirahat setelah bekerja. Di satu sisi aku merasa bersalah, tapi di sisi lain hal itu cukup membuat mama tenang karena ia tidak lagi memikirkan biaya hidup, paling tidak untukku. Hanya persoalan waktu, pikirku. Intinya, aku akan tetap kuliah sampai selesai.

    Ting. Handphoneku tiba-tiba berbunyi.

    Aku memeriksa pesan yang baru saja datang. Kenapa kak Ari mengirimiku pesan malam-malam? Kak Ari adalah orang yang dulu pernah aku mintai tolong ketika mencari pekerjaan. Ia cukup banyak memiliki informasi tentang lowongan pekerjaan bagi kami yang mencari pekerjaan sampingan. Malam itu ia mengirimiku informasi lagi tentang lowongan pekerjaan.

    Terima kasih kak. Nanti saya teruskan ke teman-teman. Aku membalasnya untuk sekadar basa-basi.

    Terima kasih dek. Jawabanya. Sudah kerja dek?

    Sudah kak. Jawabku singkat.

    Sekarang kerja di mana?

    Dan pembicaraan itu berlanjut hingga larut malam. Pikirku percakapan itu hanya sekadar basa-basi dan berakhir dengan ucapan terima kasih, namun kami malah terlibat obrolan yang begitu menarik, yang sejak aku sibuk bekerja, tidak lagi aku rasakan. Dari percakapan itu aku bisa menangkap kalau kak Ari adalah orang yang sangat enak diajak ngobrol.

    Oke kak. Lanjut besok lagi ya kak ceritanya. Saya harus istirahat karena besok mau kerja pagi.

    Ma. Aku berangkat kerja ya. Kataku pamit. Seperti biasa aku memulai pagi dengan terburu-buru. Sudah hampir sebulan ini aku tidak lagi bekerja part-time, pimpinanku mempercayaiku menjadi koordinator pelayan sehingga aku harus bekerja full-time.

    Pekerjaan hari itu berjalan lancar. Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Waktunya untuk pulang meskipun sudah terlalu telat karena lembur lagi. Aku berjalan ke ruang ganti seraya mengecek handphoneku dan membaca pesan-pesan yang sedari tadi belum terbaca. Rupa-rupanya kak Ari menghubungiku lagi.

    Halo dek. Masih sibuk kerja ya? Pesan yang masuk satu jam yang lalu. Aku langsung membalasnya.

    Halo kak. Iya kak. Ini baru aja kelar kerja. Kakak di mana? Tanyaku.

    Tidak menunggu lama, balasannya segera tiba. Di rumah nih dek. Ketemuan yuk, kita ngobrol-ngobrol kalau kamu gak kecapekan.

    Tawaran yang menarik. Aku melihat jam. 20.20.

    "Share loc aja ya kak. Saya balik mandi dulu terus lanjut ke tempat kakak."

    Aku perlu berlaku adil dengan diriku sendiri. Sejak papa meninggal, aku tidak lagi memikirkan kesenanganku, bahkan untuk berkumpul dan main bersama teman-temanku. Aku perlu mengambil waktu sebentar untuk menghilangkan penat.

    Semangatku membuncah, aku langsung berbenah, mengganti pakaian dan mengambil dompet di loocker. Saat itu, tidak sengaja dompetku terjatuh dan foto papa tercecer dari tempatnya. Aku mengambilnya dan seketika itu terlintas senyum di masa kecil yang tidak pernah terlupakan.

    Papa bawa martabak manis.

    Beberapa kali dalam seminggu, jika papa pulang malam karena pekerjannya, ia selalu pulang membawakanku martabak manis. Aku sangat senang dengan perlakuan papa seperti itu. Sebagai anak bungsu, papa memang sangat memanjakanku dan sering membawakanku martabak manis. Sejak saat itu, aku sangat menyukai martabak manis.

    Makasih papa. Kataku kegirangan.

    Iya. Bagaimana sekolahmu? Maaf tadi papa tidak menjemputmu.

    Baik pa, saya kan sudah kelas 6 SD, sudah berani pulang sendiri kok.

    Sudah besar ya. Katanya, memelukku dan menggendongku. Memang kamu anak kesayangan papa yang paling jago. Nanti kamu dengar-dengaran ya kata-kata papa.

    Siap pak.

    Fadel dimanjain terus pa. Kata kakakku, Mita. Kakak kedua yang jaraknya berbeda lima tahun denganku.

    Bukan gitu sayang. Papa sayang kalian semua. Fadel kan kebetulan yang paling kecil dan masih kecil, jadi ya beda cara sayangnya. Ayo makan lagi.

    Kisah martabak manis menjadi penutup manis di malam itu, sebelum aku terbangun karena mendengarkan mama menangis di lantai bawah, entah karena apa. Aku turun, bertanya ke mama dan mama hanya menjawab tidak apa-apa. Mama lalu memintaku kembali ke kamar dan tidur dengan banyak pertanyaan dibenakku.

    Beberapa waktu kemudian, hal yang membingungkan kembali terjadi. Tentang papa dan seorang perempuan yang bukan mama. Kita mau ke mana pa? Tanyaku. Aku duduk di kursi samping papa yang menyetir dengan cepat. Dia seperti terburu-buru untuk pulang, tetapi anehnya tidak melalui jalan yang semestinya kalau pulang ke rumah.

    Kita main ke rumah teman papa dulu ya. Oh iya, kamu kan sudah kelas 6 SD, papa minta untuk jaga rahasia. Jangan sampaikan ke mama dan kakak-kakakmu kalau kita main ke rumah teman papa. Jelasnya. Aku mengangguk, tanpa menyanggupinya.

    Mobil papa lalu berhenti di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Papa memarkir mobilnya di halaman rumah yang cukup luas. Tidak lama berselang, seorang perempuan yang tampak lebih muda dari mama keluar dari rumah dan menyambut papa. Sekilas dari dalam mobil, aku mendengar ia memanggil papa dengan sebutan sayang.

    Seperti permintaan papa, aku hanya menunggu di mobil. Aku yang tidak paham apa-apa, hanya mengiyakannya saja permintaannya. Awalnya aku masih betah menunggu papa, tapi karena ia tidak kunjung kembali, aku menjadi gelisah. Akhirnya, aku memutuskan untuk turun dan menyusul papa ke dalam.

    Aku melangkahkan kakiku perlahan-lahan, seperti maling yang hendak mencuri. Aku mencari di mana papa berada. Di ruang tamu, aku tidak menemukannya, namun aku berhenti sejenak untuk melihat-lihat isi ruang tamunya. Aku terkejut karena menemukan sesuatu yang menurutku aneh. Ada foto papa bersama perempuan itu di pigura besar bersama anak laki-laki yang aku perkirakan seusiaku. Aku bertanya-tanya, mengapa papa mepunyai foto yang sama seperti di rumah kami dengan orang yang berbeda.

    Dan aku mendengar suara sayup-sayup dari kejauhan, sebuah suara erangan yang aku yakin berasal dari seorang perempuan. Aku memalingkan wajahku, mencari sumber suara itu. Tampaknya, suara itu berasal dari sebuah ruang di balik dinding ruang tamu. Aku melangkahkan kaki ke sumber suara itu, mengendap-ngendap melihatnya, pintunya tidak tertutup rapat sehingga aku dapat melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu dengan jelas.

    Aku melihat papa dan perempuan itu telanjang. Papa duduk menindih perempuan itu sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya. Semakin lama semakin banyak tingkah laku papa dan perempuan itu yang tidak aku pahami. Aku hanya menyaksikan, tanpa berkedip, merekam setiap detil yang mampu aku rekam tanpa tahu maknanya.

    Tidak ada catatan cerita atau potongan informasi tentang adegan itu di kepalaku, yang hanya aku tahu, papa seharusnya memeluk mama, karena mama adalah istri papa tetapi aku tidak tahu apakah setiap seseorang yang bernama papa boleh memeluk perempuan lain selain mama.

    Beberapa saat kemudian, mereka tampak akan berhenti. Aku harus segera pergi sebelum papa tahu kalau aku melihat aktivitas mereka barusan. Aku berlari ke mobil, membuka pintu

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1