Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Pelarian Amoy: Sepenggal Tragedi Jakarta '98 dan Kengerian di Baliknya
Pelarian Amoy: Sepenggal Tragedi Jakarta '98 dan Kengerian di Baliknya
Pelarian Amoy: Sepenggal Tragedi Jakarta '98 dan Kengerian di Baliknya
eBook124 halaman1 jam

Pelarian Amoy: Sepenggal Tragedi Jakarta '98 dan Kengerian di Baliknya

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Kisah tragedi pilu yang dialami seorang perempuan amoy (keturunan Tionghoa) saat terjadinya tragedi kerusuhan Jakarta pada Mei 1998. Ini adalah novel fiksi, tetapi peristiwa di dalamnya terinspirasi dari kisah-kisah kesaksian atas peristiwa nyata di tahun ini. Buku ini ditulis dengan gaya pemaparan yang cukup detil layaknya sebuah laporan investigatif. Meski hanya menceritakan kejadian yang berlangsung hanya sekitar 1-2 jam pada suatu sore di bulan Mei 1998, tetapi kisah ini juga memuat beberapa latar kejadian yang detil dan sangat mengejutkan... Bagaimana jika latar kejadian itu nyata adanya?

BahasaBahasa indonesia
PenerbitGarudhawaca
Tanggal rilis25 Des 2023
ISBN9786234220667
Pelarian Amoy: Sepenggal Tragedi Jakarta '98 dan Kengerian di Baliknya
Penulis

Rama Yanti

Ramayanti Alfian Rusid, alias Rama Yanti, lahir di Meulaboh, Aceh pada 12 Juni 1981 dari ayah dan ibu keturunan China. Ayah bernama Alfian, kakek bernama Rusid, dan ibu bernama Lindia. Rama Yanti pindah ke Jakarta mengikuti kedua orangtua di usia 3 tahun. Sarjana Psikologi Universitas Atmajaya, dan Magister Management Communication di Universitas Trisakti. Kini sedang menyelesaikan kuliah hukum di Universitas Bung Karno. Bekerja sebagai profesional di perusahaan telekomunikasi.

Terkait dengan Pelarian Amoy

E-book terkait

Kategori terkait

Ulasan untuk Pelarian Amoy

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Pelarian Amoy - Rama Yanti

    Novel ini adalah fiksi, yang ditulis seperti kejadian sebenarnya. Cerita keru-suhan Mei 1998 dalam novel ini, mengungkap siapa di balik peristiwa itu, bagaimana peristiwa itu direncanakan, dan ada kepentingan apa di balik itu.

    Membaca novel ini seperti membaca laporan intelijen yang disajikan dengan gaya bertutur. Sangat detil seperti sebuah tulisan jurnalistik ‘indept news’.

    Saking detilnya, membaca novel ini seperti menonton sebuah film. Sesung-guhnya ini adalah novel berat, tetapi oleh penulisnya disajikan dengan sangat ringan, sehingga membacanya tidak melelahkan, Tau-tau sudah tamat aja.

    Pengantar Penulis

    Novel ini saya tulis kurang lebih selama 10 tahun. Saat saya memulai menulisnya, saya menangis. Dan air mata saya selalu keluar di hari-hari berikutnya, sampai penulisnya selesai. Artinya novel ini menguras semua perasaan saya. Perasaan sebagai seorang yang berada di tengah-tengah hiruk-pikuk kerusuhan itu. Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih SMA kelas tiga. Tetapi isinya saya pagari dengan rapat agar tidak memancing emosi siapapun yang membaca novel ini.

    Dalam masa-masa penulisan novel ini, saya 'terpaksa' mengambil S2 manajemen komunikasi, agar saya mampu bertata bahasa dengan baik dan komunikatif dalam menulis, dan di dalamnya ada 'roh' jurnalistik.

    Novel ini saya tulis dengan harapan, tidak ada lagi kerusuhan rasial di masa mendatang. Karena sesungguhnya ada kepentingan di balik semua kerusuhan. Orang-orang di jalanan hanya dimanfaatkan oleh yang berkepentingan.

    Novel ini bercerita dalam rentang waktu satu jam, dari pukul 18.00 sampai 19.00.

    Selamat membaca

    ***

    Setelah hampir tiga tahun menunggu surat balasan dari Bapak Presiden Joko Widodo, untuk memberikan sepatah kata untuk novel ini, akhirnya tidak datang juga. Saya pun tidak sanggup menunggunya, karena mungkin yang saya tidak tidak akan kunjung datang. Tentu saja saya harus memaklumi bahwa beliau sangatlah sibuk sebagai kepala negara. Maka saya pun mencoba menjadi Presiden Imajiner Joko Widodo dengan memberikan sekapur sirih imajiner.

    Selain kepada Bapak Joko Widodo, saya juga berkirim surat kepada Menhan Letjen (Purn) Prabowo Subianto untuk hal yang sama. Juga tidak mendapatkan balasan. Akhirnya saya karang juga dalam bentuk imajiner.

    Jakarta Maret 2023

    Ramayanti Alfian Rusid

    Sambutan Presiden Joko Widodo

    (imajiner)

    Tidak ada yang lebih penting daripada menjaga keutuhan bangsa dan negara.

    Bila buku novel ini sampai ke tangan saudara sekalian sebangsa setanah air, maka akan menjadi pengingat bahwa pernah terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan sebagai tumbal reformasi 1998.

    Melalui novel berjudul Pelarian Amoy ini, politik tidak boleh lagi diwarnai kekerasan, apalagi sampai memakan korban jiwa. Politik itu mulia, jadi janganlah kita kotori dengan darah dan penderitaan.

    Peristiwa kekerasan politik cukup sampai 1998, tidak ada lagi. Karena sesungguhnya kita semua bersaudara

    Ir Joko Widodo

    Sambutan Letnan Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto

    (imajiner)

    Bila di dalam novel ini ada disebut nama saya, itu karena imajinasi penulisnya, Mbak (Cici) Ramayanti.

    Bila saya terlihat garang, itu karena saya tentara. Saya sebetulnya adalah manusia berhati lembut, penuh kasih sayang. Saya tidak suka yang namanya kekerasan apalagi melakukan kekerasan.

    Novel ini merupakan sejarah walaupun hanyalah imajinasi. Tetapi latarbelakang cerita di balik novel ini, itulah kejadian yang direkam oleh penulisnya melalui kata-kata. Selamat membaca.

    Letjen TNI Prabowo Subianto

     Awal Bertemu

    Ketika pesawat Cathay Pacific baru saja meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta pada pukul 18.00, sebuah benda kecil jatuh ke kakiku dan masuk ke celah sepatuku. Tidak tahu itu apa. Aku menunggu tanda pelepasan sabuk pengaman, baru aku meraba untuk mengambilnya.

    Di ketinggian 20 ribu kaki, aku perhatikan tanda aman pelepasan sabuk pengaman sudah menyala, aku merunduk sambil sedikit angkat kaki untuk mengambil benda itu. Rok mini yang kukenakan tersingkap sedikit. Saat yang bersamaan aku lihat mata pria di sebelah memandangi wajahku dan tersenyum. Aku sadar dia baru saja melihat pahaku.

    Benda kecil itu berwarna hitam berbentuk segi empat. Salah satu ujungnya tidak rata.

    Ini punya siapa ya? aku bergumam sendiri, tanpa bermaksud bertanya kepada siapa pun.

    Pria di sebelahku tampak meraba-raba kantong bajunya, lalu meraba kantong celana. Dan mengeluarkan dompetnya. Menjelajah semua celah dompetnya kemu-dian berkata. Mungkin SD card tadi milik saya. Sambil melihat ke wajahku.

    Oh ya, kataku sambil memberikan benda kecil hitam itu, yang kusimpan di dalam genggaman dan berharap ada pemilik yang mencarinya.

    Sambil meraihnya, dia mengatakan, Untung tidak hilang. Banyak rekaman peristiwa penting tersimpan di sini.

    Dia menyodorkan tangannya meng-ajak salaman, sambil memperkenalkan namanya, Mister Chang, sambil tersenyum. Wajahnya bulat, nyaris seperti persegi untuk menggambarkan bahwa wajahnya tidak lonjong atau bulat telur seperti wajah orang kebanyakan. Itu ciri khas wajah-wajah orang-orang China di pegunungan. Mereka yang tinggal di tempat dingin umumnya memiliki wajah seperti itu, mungkin karena sejak di dalam kandungan sudah harus menahan dingin. Dan berevolusi selama ratusan tahun. Mereka yang menetap di ketinggian, asal-usulnya dari pesisir. Karena peperangan atau alasan lainnya, mereka mencari tempat aman yang tidak mudah dijangkau.

    Mister Chang? Aku mengulang menyebut namanya dengan nada agak ditekan, memberi tanda bahwa ada sesuatu dengan nama itu.

    Alisnya terlihat seketika mengkerut. Kedua ujung bagian dalamnya bertemu. Menandakan ada tanda tanya besar di dalam pikirannya. Mungkin dia menduga bahwa aku telah mengenalnya sebelumnya. Atau minimal mengetahui siapa sebetulnya dia.

    Kita pernah bertemu sebelumnya? Saya coba ingat-ingat, di mana ya? kali ini kedua alisnya terangkat, dan memunculkan beberapa kerutan di dahinya, yang sedikit tertutup oleh ujung rambut. Rambutnya agak panjang, termasuk gondrong. Berkali-kali dia sibak ke atas ketika rambut itu turun menutupi dahinya.

    Oh tidak, aku cepat-cepat meng-hapus rasa penasarannya. Namaku miss Chang. Chang Yen Kyun, aku cepat-cepat menyebut nama lengkapku.

    Dia pun menyebut nama lengkapnya, Chang Hwan. Dia tertawa lepas, dan badannya sedikit terguncang. Menandakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dengan namanya. Kami pun tertawa bersama, seperti rekan yang sudah lama saling mengenal. Kesamaan itu telah membuat kami cepat akrab satu sama lain.

    Nama depan kami sama bukan karena kebetulan. Bisa saja di dalam pesawat ini terdapat lima atau 10 orang bernama depan Chang. Chang adalah nama marga. Seperti juga bentuk wajah, nama marga Chang juga sudah berevolusi menjadi Cang, Chong, Cheng, Caung, Chung, atau Ching. Hal serupa juga terjadi terhadap marga lainnya, seperti Liem, berevolusi menjadi Lim, Lee, Lem, Lam, Liam dan lainnya. Dalam keluarga China, nama yang dipakai umumnya dari garis keturunan ayah. Itulah yang membuat keluarga China sangat berharap memiliki anak laki-laki. Bila hanya memiliki anak perempuan, maka garis keturunannya akan hilang. Cucu yang dilahirkan oleh anak perempuan pasti menggunakan nama marga suaminya.

    Di rumah atau oleh kerabat dekat, aku dipanggil Kyun. Di luar rumah aku dipanggil Yuni. Nama resmiku yang terdaftar di dokumen negara Yeni Yuanita. Orang keturunan China di Indonesia umumnya memiliki dua nama. Nama di rumah dan nama resmi. Nama di rumah untuk menghormati keturunan dan nenek moyangnya. Sedangkan nama resmi, lebih kepada untuk mematut-matutkan diri, bahwa kami sama dengan orang kebanyakan. Sama dengan orang keturunan Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya. Harapannya dengan menggunakan nama resmi meniru nama-nama yang umum digunakan di Indonesia, dengan harapan tidak ada sekat dengan orang

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1