Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Pembunuhan di Penerbangan 1829
Pembunuhan di Penerbangan 1829
Pembunuhan di Penerbangan 1829
eBook390 halaman4 jam

Pembunuhan di Penerbangan 1829

Penilaian: 4 dari 5 bintang

4/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Setelah terbang selama 8 jam dari Kota Madinah, Pramugari Nining yang bertugas menjadi purser menemukan Haji Ridwan terkulai lemas, wajahnya pucat pasi, tangannya terasa hangat, namun denyut nadinya nyaris tak berdetak lagi. Di sebelahnya duduk istrinya yang pucat bingung dan tak mengerti apa yang terjadi kepada suaminya. Saat itu mereka sedang terbang di langit Kota Semarang menuju embarkasi Surabaya.

Kapten Ito yang bertugas di pesawat itu menghubungi menara Surabaya dan meminta persiapan evakuasi di Bandara Juanda. Ia mengemudikan pesawat Boeing 777-300ER untuk mengantar penumpang yang pulang haji tahun 2017.

 Haji Jamal detektif partikelir dan Inspektur Rajiv ditugaskan oleh Kepala Polisi Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus itu. Mereka harus bertindak cepat menginvestigasi 210 orang yang namanya tercantum di manifes penerbangan dari Madinah menuju Surabaya.

Di kejar-kejar oleh pihak penerbangan yang dituntut oleh perusahaan asuransi, pemerintah Republik Indonesia, Haji Jamal dan Inspektur Rajiv harus mencari benang merah yang direncanakan jauh hari oleh seseorang.

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis19 Agu 2019
ISBN9781393552659
Pembunuhan di Penerbangan 1829
Penulis

Bernadi Malik

Bernadi Malik adalah seorang penulis, ceo pabrik novel baper & thriller, blogger di bernadimalik.com, penikmat seni dan fotografi, bernafas dan hidup di Indonesia, berjalan di muka bumi, pengagum alkimia dan filsafat bergelar apoteker, memposisikan diri di tengah-tengah, punya sifat humanis, pecinta sate kambing dan tongseng. Senang jalan-jalan dan menulis.

Baca buku lainnya dari Bernadi Malik

Terkait dengan Pembunuhan di Penerbangan 1829

E-book terkait

Misteri untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk Pembunuhan di Penerbangan 1829

Penilaian: 4 dari 5 bintang
4/5

4 rating1 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 3 dari 5 bintang
    3/5
    untuk Pembunuhan di Penerbangan 1829 nice book and story. . .

    1 orang merasa ini bermanfaat.

Pratinjau buku

Pembunuhan di Penerbangan 1829 - Bernadi Malik

AWALNYA

Setelah terbang selama 8 jam dari Kota Madinah, Pramugari Nining yang bertugas menjadi purser menemukan Haji Ridwan terkulai lemas, wajahnya pucat pasi, tangannya terasa hangat, namun denyut nadinya nyaris tak berdetak lagi. Di sebelahnya duduk istrinya yang pucat bingung dan tak mengerti apa yang terjadi kepada suaminya. Saat itu mereka sedang terbang di langit Kota Semarang menuju embarkasi Surabaya.

Kapten Ito yang bertugas di pesawat itu menghubungi menara Surabaya dan meminta persiapan evakuasi di Bandara Juanda. Ia mengemudikan pesawat Boeing 777-300ER untuk mengantar penumpang yang pulang jamaah haji tahun 2017.

Haji Jamal detektif partikelir dan Inspektur Rajiv ditugaskan oleh Kepala Polisi Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus itu. Mereka harus bertindak cepat menginvestigasi 210 orang yang namanya tercantum di manifes penerbangan dari Madinah menuju Surabaya.

Di kejar-kejar oleh pihak penerbangan yang dituntut oleh perusahaan asuransi, pemerintah Republik Indonesia, Haji Jamal dan Inspektur Rajiv harus mencari benang merah yang direncakan jauh hari oleh seseorang.

DATA PENERBANGAN

AIRLINE : SKYNET AIRLINES

Flight No : 1829

Route : Surabaya – Medan – Madinah – Medan – Surabaya

Penumpang : 297

Awak : 13 Orang

Tipe Pesawat : Boeing 777-300 ER

Rangkuman :

Di atas Kota Semarang, Haji Ridwan ditemukan terkulai lemas, dokter Nia memeriksa pasien dan menyebutkan beliau sudah tak bernyawa, prosedur pendaratan darurat dilakukan di Bandara Juanda, pesawat mendarat dan pasien dibawa ke rumah sakit.

Data Bagasi penumpang, 6,97 ton

DATA AWAK KABIN 

Kapten Ito Subroto,

Kopilot Mira Santy Adela

Kopilot : Marty De Pena

Purser : Balqiz Fahri Azizah 45 th

Pramugari/a :

Nining Andiana, 21 th

Fifi Karli 22 th

Rinie 34 th

Ade Yuantari 32 th

Putri Safitri 32 th

Debby Amara 23 th

Geta Marlina 22 th

Pramugari/b

Erlina Martha 24 th

S. Antari Diana 22 th

Wiwik Sartika 32 th

Katarina Wayna 29 th

Heradiana Yuliantara 27 th

BAB 1 PENERBANGAN 1829

Bruuk, bruukkkk, roda depan menyentuh aspal, hidung pesawat miring kiri dan terbanting ke kanan, tiba  di kampung halaman ? Tentu saja bukan, karena Mira masih terikat keras pada kursi paling depan tempat duduk nomer  2 di moncong pesawat, tanpa selimut,jus, soda, televisi pribadi dan alunan musik.  Ini adalah penerbangan terakhir menuju Madinah.

"Waktu setempat menunjukkan 11:20 dan  bla,bla,bla," ucap Mira dalam hati. Sayup-sayup suara wanita berdengung di pengeras suara di panel atas kepalanya, "Silahkan tunggu hingga pesawat benar-benar berhenti."

Bla,bla,bla. Mereka masih saja bersuara seperti itu, tak pernah berubah dari  8000 jam terbang yang pernah dilaluinya.

"Madinah Ground Skynet 1828, Hajj Flight request taxi to gate 113." Suara keheningan memecah ruang kendali pesawat. Itu suara  Mira sendiri. Biasa pada malam hari penerbangan lebih banyak dijumpai yang menuju ke eropa dan Amerika.

"What the Hell?, Singapore Ground...kresek...kresek, Jakarta Centre..kresek... kresek juga ...ya begitulah. Semua juga tahu  buruknya komunikasi Radio. Mungkin sebaiknya komunikasi di Pesawat sekarang menggunakan gelombang GSM.  Tapi operatornya siapa ya ?" tanya Mira dalam hati.

Setelah sedikit bersabar terdengar suara balasan dari seberang, itu Tower Bandara Madinah, "Skynet 1828,exit runway using taxiway juliet 4 and november,  "

"Exit runway using taxiway, juliet 4 and november, Skynet 1828," jawab Mira.

huuhhhh Mira mendesah, menambah putaran mesin pesawat sambil mendorong tuas gas disamping kirinya ia  menekan pedal di kaki kanan untuk berbelok. Memutar tuas di sebelah kanan, Mira mengarahkan Boeing 777-300ER itu, ia membayangkan rute yang harus ia lalui untuk memarkir pesawatnya.

Kapten Penerbang Ito Subroto di sebelahnya tersenyum menyaksikan ia bekerja keras membelokkan pesawat kekanan. Saat ini perhatiannya terarah pada instrumen dan pemeriksaan  setelah pendaratan, dia berkata, "Flaps up, Airbrake off, Auto pilot off."

Mira menaikkan sandaran kursi ke posisi tertinggi kemudian menegadahkan kepalanya ke jendela di depannya, dia menggumam, "Lagi-lagi aku  yang memarkir pesawat sialan ini.  Ia melirik ke sebelah kanan, belok kanan kemudian kanan...setelah itu kiri...dan...semoga tidak ada pesawat kerupuk yang melintas di depanku. Kalau ada yang melewati di depanku semoga saja ia tidak terlalu lambat." Kepalanya menjulur ke depan sementara ia memicingkan matanya pada  garis  kuning yang terletak dibawah pesawatnya.

"Sejak kapan pesawat tidak memiliki klakson, aku akan membeli sebuah terompet dan menyambungnya dengan APU di pesawat....penerbangan ini akan berganti nama menjadi Terlena Airlines dan aku akan meletakkan kasur di kokpit pesawat. Persis seperti raja jalanan merek Fuso. Argghhh," Mira mengantuk dan dia mengomel dalam hati. 

Pagi hari Pukul  6:00 WIB penerbangan dimulai dari Surabaya menuju Madinah,  Di Jakarta sempat transit selama 4 jam, mengisi bahan bakar, disana Mira membeli setengah lusin donat,secangkir kopi panas, dan sebungkus permen rasa durian,  ia menyalakan mesinnya lagi, dia ingat. Kali Ini Madinah, dan aku ingin berkumpul dengan bantal di rumah. Mestinya besok dia libur, namun perusahaannya memintanya untuk melanjutkan penerbangan kembali ke Surabaya-Madinah. 

Emangnya aku ini sedang menunggangi motor turbofan merek Bukati atau Yamahksa...?

Ingin rasanya Mira melontarkan kalimat tersebut di depan Chief Captain. "Emangnya aku ini Babumu ya Chief...heh huh ? seenaknya aja nyuruh?"

Mengherankan ia hanya membalas dengan sigap, Siap Chief! sambil mengepalkan tangan dibelakang punggung tanda ia menyimak.

Kata Chief pada Mira,  Kamu lanjutkan penerbangan hari ini. Rekan-rekan sekarang sedang cek pesawat di Hanggar sebaiknya kamu segera meluncur kesana dan.... jangan lupa belikan saya nanti sebungkus rokok.

Mira tahu pernyataan terakhir hanya bercanda. Lagipula Chief Captain emang paling jago bikin  Mira menelan ludah dan terpesona pada pandangan pertama. Uhuy.

Akhirnya setelah berkelok-kelok  suara Kapten Ito menggema di Kokpit, "Cabin crew door may be Open."  

Kapten Ito berbisik sambil mengacungkan jempolnya, Ssst Nice landing.

Mira tersenyum simpul dan ia  melepas sabuk pengaman yang terikat di dadanya. Kapten memutar Ipodnya dan  di kokpit pesawat menggema lagu Brian Adam yang menggelora membangkitkan semangat yeahh summer of 69....mampu membangkitkan semangat setelah 10 jam di udara. Padahal Mira, lebih suka U2, Marshmello, Zedd atau One Direction, semua jenis Electronic Dance Music yang dia dengar unduh di Spotify atau Youtube.  

Mira meninggalkan kursi meraih jas penerbangnya dan menyalakan telepon genggam. Beberapa pesan singkat ia terima ketika ia terbang tadi, ia mulai membaca satu-demi satu hingga perhatiannya tertuju pada sebuah nomer dan pesan singkat. penting ! Baiklah  sedikit rasa malas Mira menghubungi nomer tersebut.

Mira menekan nomer telepon dan bertanya, Halo, dengan Siapa ini ? Lama hingga terdengar suara balasan di seberang sana.

"Tadi masih terbang ya Mbak Mira ?’’ terdengar suara suara Tika di bagian keberangkatan.

Heeh, iya dong terus pesan apa say ? tanya Mira.

"Pesan dari Adrienne, katanya mendadak naik pesawat sama mbak tuh sekarang.

Mira jadi ingat, "Adrienne, Adrienne...... hmmm, lagipula nama ini kalau disebutkan selalu membuat lutut lemas dan jantung berdebar-debar."

"Halo, udah ya mbak nomer di sms ke hp." suara  telepon memecah keheningan.

Iya deh, terima kasih, balas Mira.

Mendadak tangan  Mira mengeluarkan keringat dan nafasnya terasa naik ketenggorokan.

Dia berkata dalam hati, "Hkkkk,..aku aku harus memperbaiki rambutku,lipstik pakaian, dimana baju baruku ? Apa kah aku harus ketemu dia atau tidak ? Apakah dia sedang meneliti kasus UFO di Hongkong ..eh Jakarta. Kira-kira apa yang membuat dia naik pesawatku. Kenapa dia Tahu ? aku kan sudah lama rindu sama kamu, kok kamu baru muncul sih ?"

Mira meraih jas hitamnya, menyemprotkan Etienne Aigner Private number yang ia beli di Changi dan berharap kecantikan dan keanggunannya  tidak luntur   di hadapan lelaki itu.  Oh, Kenapa tubuhku langsung lemas membayangkan harus berhadapan dengannya, setelah beberapa tahun aku berusaha melupakannya, pikirnya.

Ia meminta izin kepada Kapten Ito untuk keluar,sebelumnya ia melirik ke kaca di toilet depan, mengejap-ngejapkan matanya berusaha untuk tampil berwibawa meski ia sangat lelah dan  bayangan ingin menikmati bantal yang empuk kini semakin pudar.

"Sampai jumpa," ucap seorang pramugari dihadapan para penumpang, Mira cuek dan memberi isyarat bahwa ia akan meninggalkan pesawat lebih dahulu. Ia menutup tinggi-tinggi leher jaket kulitnya dan berharap tak seorangpun tahu bahwa ia adalah penerbang di pesawat itu.   Sebaiknya aku langsung meninggalkan mereka karena biasanya banyak yang  cukup heran melihat penerbang wanita dan ingin berfoto dengan dirinya.

Setelah memastikan bahwa ia berada didalam ruang tunggu,  ia melangkah keluar menuju ruang kedatangan dan segera menyalakan telepon genggamnya.

Dia menekan nomer telepon yang dikirim Santi, Halo, kamu di mana, ucap Mira pada Adrienne. Membayangkan wajahnya pria yang  sedang tersenyum. Pasti dia sedang mengamatiku, pikir Mira.

Seorang lelaki tersenyum pada Mira dan menghampirinya. Dia orang asing,  kulit putih, kecoklatan terbakar matahari, rambut hitam dan ikal, ia mengenakan kemeja berwarna biru bergaris dan celana kain. Wajahnya memberikan inspirasi bagi Mira untuk meraih dan memeluk tubuh lelaki tersebut.

Tulang pipinya sedang, bahunya tidak terlalu lebar namun ia menjulang tinggi dihadapan Mira. Bola matanya biru, hidung mancung, wajah yang dulu pernah menghiasi masa lalu Mira. Rambutnya yang pirang dan ikal terurai rapi di kepalanya. Sorot matanya yang tajam dan ekspresinya yang tenang seperti menghuncam dan menusuk kepada siapa yang berani menatapnya.

Mira pernah berkata pada Adrienne bahwa ia terlalu takut jika ia memandanginya tanpa ekspresi. Namun makhluk bernama Adrienne ini hanya tersenyum dan melempar Mira dengan kata-kata yang sadis.

Ketemu juga dengan Kamu, ucap Adrienne sambil meraih dan menyalami tangan Mira. Mira tertawa dan menepuk-nepuk pundak sahabatnya. "Seandainya ia tahu isi hatiku," pikir Mira.

"Aku tadi sempat takut dan berdoa membayangkan kamu yang menerbangkan pesawat"

Oh ya, kenapa ? tanya Mira. Ia tahu Adrienne pasti tidak berbohong, sebelumnya kawan- kawannya sempat ketakutan membayangkan Mira sedang menerbangkan dan mendaratkan pesawat.

Kamu tau kan, katanya matematika saja kamu gak lulus kok nerbangin pesawat. 

Mira meraih tangan Adrienne dan mencubit keras-keras

Hahaha, duh duh...sudah-sudah,  kata Adrienne sambil tertawa.

Mereka berdua menuju ke loket imigrasi dan setelah memastikan bahwa mereka adalah pendatang legal, mereka berdua menuju ke kedai kopi yang banyak dikunjungi oleh para penumpang yang masih menunggu kendaraan penjemput.

Kenapa kamu ke Madinah? tanya Mira setelah memesan capuccino latte dan sebuah croissant rasa cokelat.

Aku ada perlu dengan mekanik dan perawatan pesawat di Madinah,  hanya survey dan besok atau lusa kembali ke Jakarta.

Si Adrienne manusia tengil bergaya culun ini ternyata masih juga jadi konsultan dan marketing Perawatan Pesawat. Malas aku bertanya kenapa dia masih saja menikmati pekerjaan itu. Tapi aku juga punya pekerjaan dalam bidang penerbangan yang dia juga tak mengerti. Sebaiknya aku diam saja memperhatikan wajahnya yang penuh kenangan ini, pikir Mira.

Adrienne menjelaskan kesibukannya beberapa bulan terakhir ini, lalu dia bertanya, Bukankah kau dulu pernah kerja di Papua?

Ya untuk beberapa bulan menambah jam terbang, jawab Mira mengenang awal kelulusannya di sekolah penerbang ia magang di sebuah perusahaan minyak dan menerbangkan pesawat perintis di hutan-hutan Sulawesi dan Irian Jaya. Tapi setelah itu ia memutuskan untuk mengambil rating pesawat jet komersial sehingga kini ia bekerja di Skynet Airlines  dan menerbangi rute-rute asia terutama Jakarta, Jeddah, Madinah,  Bali dan Hongkong.   Mira bergidik membayangkan harus menembus kabut dan cuaca yang tak bersahabat di daerah Jayapura dan saat itu ia menjadi satu-satunya pilot wanita yang ada di sana. Sahabat-sahabat penerbangnya lebih banyak pria yang sudah menikah sementara ia hanyalah seorang gadis belia yang mencari petualangan.

Dia menghadapi badai tropis di Timika, suatu ketika cuaca memaksanya untuk mendarat darurat di sebuah pantai yang tak berpenduduk, di landasan setelah mendarat Mira menangis, memeluk kopilotnya dan berjanji tak akan menerbangkan pesawat sambil membawa barang kebutuhan makanan dan minuman untuk penduduk di pedalaman. Dia ingat, saat itu berkata, Seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi mengherankan karena Mira justru ingat pada Adrienne .

Seorang pria, sahabatnya yang lebih tua. Seorang yang penuh perhatian dan sangat memperhatikan dirinya ketika kesepian.

Saat ia berlari-lari memakai pakaian pramuka dan Adrienne menghampirinya untuk minta uang.

Belikan aku  Es ya, kata Adrienne.

Heran, kenapa aku suka dengan dia.

Saat Mira menangis karena jatuh dari bangku sekolah Adrienne datang dan menarik rambut Mira dan tersenyum memandangi wajahnya.

Lagi-lagi wajah itu yang membuat tubuhku bergetar dan menghentikan air mata. Si anak bule yang terkenal ganteng sejak sekolah dengannya. Mira bertanya-tanya,"Dimana kamu waktu aku terbang di Irian Jaya, aku selalu ingat kamu, fotomu, buku harianku, setiap awan dan penerbangan yang kulewati tanpa dirimu."

Jadi apa kita kita pulang sama-sama ? tanya Adrienne .

Ya bisa saja, kapan-kapan hehe. Mira menganggukkan kepalanya, tenggorokannya terasa kering membayangkan impiannya selama ini terkabul. "Siapa bilang aku tidak punya perasaan, mulai dari purser, chief , supervisor, pramugari dan semua awak kabinku mengetahui aku menyimpan sebuah foto dan buku harian di dalam tasku. Suatu hari jika ternyata penerbanganku berakhir, aku harap buku harian ini dibaca oleh seseorang...Adrienne . Mengapa kamu baru datang ?"

BAB 2 TURUN

Mira menuju kamar mandi di ruang tunggu, membasahi seluruh wajahnya dengan air dari kran di wastafel putih, menikmati pegal dan keram menghinggap di punggungnya, penyakit karena terlalu lama duduk di pesawat, dia merapikan tanda pangkat dan pin kemudian menuju cermin tempat ia memandangi wajahnya.

Dia menatap pada wajah oval berdagu lancip dan tulang pipi yang tinggi , ia gadis asia biasa, rambutnya tergerai sampai di bahunya. Biasa mengenakan kerudung yang menutup seluruh rambut, pipinya yang putih dan kemerahan membuat siapa yang memandangnya mengakui keeelokannya. Bulu matanya yang lentik dan alisnya yang lebat ia biarkan tak tak teratur. Baginya alisnya tak perlu diatur karena akan memakan waktu jika harus memakai pinsil. Kakinya yang jenjang dan pinggulnya yang kecil namun padat menambah kesan elegan pada tubuh Mira. Ia memoles bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda, tak lupa sedikit lip gloss kemudian ia melihat sebuah bibir yang kecil dan padat merona.

Aku sudah selesai dengan wajahku, pikir Mira.

Hari itu ia kembali duduk di kokpit dan melakukan cek sebelum terbang bersama kapten Ito,

Suaranya terdengar, "Electric...starter..light..flaps slat. Satu demi satu memakan waktu kurang lebih 30 menit. Air conditioning, Gear light, No Smoking and Fasten seat Belt On."

Mira memperhatikan data-data penumpang beserta namanya.Setelah itu ia mencatat di kepalanya bahwa ia menerbangkan 297 orang dan 5 ton barang yang harus diangkut hingga Jakarta.

Mira mendengar kapten Ito menghubungi menara Madinah. "Skynet 1829  ready to Surabaya."

Mira masih terpaku membayangkan andai saja Adrienne kini menjadi salah satu penumpang dipesawatnya.

"Skynet 1829 , you are clear to Surabaya, take off  runway 17, climb to 6000,  right to 180, direct to Lonim and climb to 18.000, squawk 6685."

Kali ini Mira bertugas menerbangkan pesawat, menyaksikan Marshaller di samping kanan mengacungkan jempol dan memberi tanda bahwa mobil pendorong telah siap.

"We are using runway 17, climb to 6000 right turn to 180, direct to Lonim and climb to 18.000, squawk 6685," balas Kapten Ito ke menara pengawas.

"Skynet 1829  contact ground on 121.90."

Kapten Ito mengganti frekuensi radio.

"Madinah Ground,Skynet 1829  ready for take off," Kapten Ito dan Mira mengatur volume pengeras suara di headsetnya.

"Skynet 1829 clear to take off, runway 17 via taxiway Lima, Juliet, Juliet 8."

Mira mengambil  peta airport dan mengamati jalan yang akan di lalui menuju runway. Kapten Ito membalas konfirmasi radio.

Oke Mira. Ucap kapten Ito.

Pesawat didorong kebelakang dan sebuah suara terdengar di headset Mira untuk  menyalakan mesin pesawatnya. "You can start engine Madam," itu suara teknisi darat.

Mobil pendorong itu perlahan lahan mengarahkan pesawat ke kanan menghadap ke jalur yang akan ia tuju. Mira menambah sedikit putaran mesin sehingga cukup untuk membuat pesawatnya meluncur. Kali ini perjalanan menuju landas pacu berbelok kekiri, lurus dan kemudian kekanan.

Tidak ada pesawat yang menghalangi dan lalu lintas penerbangan terlihat sepi.  Di ujung landas pacu suara kapten Ito mengkonfirmasi menara Madinah. Dia berkata di radio, Skynet ready for take off.

Skynet 1829 , you are clear for take off, terdengar jawaban dari menara, mempersilahkan pesawat untuk terbang.

Ok Mira, flaps up and light on. Kapten Ito balik ke kiri memeriksa sayap kiri, dia berkata di radionya, "Tower, we are clear for take off."

Mira merasakan adrenalin mengalir ditubuhnya, ia menarik nafas dalam-dalam, memastikan tubuhnya tegak dan nyaman. Membayangkan semua penumpang kini sudah menikmati musik dan film yang diputar di tv, ia menyaksikan instrumen dan mengamati kondisi mesin , ia memastikan rem otomatis telah atur ke posisi normal.  Ia menekan tuas gas ke posisi penuh.

Take Off, kata Mira.

Pesawat bergerak perlahan diikuti  getaran yang semakin keras suara mesin  meraung dan menghentakkan Mira ke belakang kursinya. Mira menutup matanya sejenak dan berdoa agar penerbangan kali ini dapat ia laksanakan dengan baik. Ketika ia membuka matanya ia menyadari bahwa ini saat paling mencekam,sekaligus mengasyikkan setiap kali ia mengemudi pesawat.

"100, 150, V1, rotate," itu suara Kapten Ito.

Mira menarik kemudi di hadapannya merasakan gerakan halus pesawat meninggalkan landasan pacu dibelakangnya. V2, kata Kapten Ito.

"Gear up....flaps up," balas Mira. Dia belok kanan 20 derajat,  terdengar suara dengung roda yang dimasukkan.

Tak seperti lalu lintas di Changi atau Soekarno Hatta yang cukup antri, disana ia dengan mudah  keluar dari lalu lintas bandar udara Madinah, menuju ketinggian 5.000 kaki.

Mira menyalakan autopilot, dia meminta pramugari mengirimkan segelas air. Kapten Ito menyalakan sebatang rokok dan menawarkan padanya.

Mira mengambil sebatang Mild Seven selundupan kesukaan Kapten Ito dan turut menyalakan, ia bukan perokok namun jika Kapten ito menawari sebaiknya ia terima dan berharap agar hubungan mereka berdua di kokpit akan baik-baik saja. Pikir Mira, " Daripada aku mengkritiknya lebih baik aku menemaninya merokok."

Apa yang ia lakukan selama 9 jam menuju Jakarta ? tak ada yang bisa memastikan. Mira mengakui akan mendengarkan musik, mencatat data-data penerbangan dan kadang mereka juga melakukan komunikasi dengan pesawat lain yang terbang berdekatan.

Pagi itu Mira menyalakan Macbook Pro miliknya, dia menyibukkan diri membaca rencana perjalanan, dan Peta Garmin yang ada di hardisknya.Dia sudah punya rencana membeli ipad di Singapura meskipun harganya lebih mahal dibanding di Amerika, namun seorang rekannya menyarankan untuk membeli di Singapore karena garansinya lebih terjamin. Lagipula ia selalu transit disana, kota kecil yang hiruk pikuk dengan kendaraan dan lalulintas yang lalu lalang dengan kecepatan tinggi.

Dua jam membosankan melewati langit Abu Dhabi, Boeing 77-300ER belok ke kanan menuju ke arah Colombo. Mereka melewati laut samudra pasifik kira-kira 25 mil dari kepulauan Maladewa ketika waktu penerbangan menunjukkan 4,5 jam terbang, tanda adanya awan yang berbahaya muncul dirute perjalanan.

Mendadak getaran dan suara memecah keheningan di kokpit pesawat.

Kamu merasakan  itu ? Tanya Kapten Ito. Mira mematikan laptopnya dan mulai merasakan gangguan yang akan dihadapi selama penerbangan. Beritahu Penumpang.

Mira meraih mikrofon yang ada di atas kepalanya dan mengumumkan pada penumpang untuk menggunakan sabuk pengaman dan mempersiapkan akan adanya goncangan yang akan dihadapi. Kapten Ito mematikan autopilot dan membanting kemudi pesawat kekiri, kali ini pesawat miring ke kiri.

Mira menambah tenaga pendorong dan mempertahankan agar tetap berada pada ketinggian 35.000 kaki. Tapi saat mereka mengelak tiba-tiba saja pesawat bergerak sendiri terbanting  ke kiri dan menukik dengan cepat.

Wah apa ini ? tanya Mira. Merasakan nafasnya sesak dan kedua bahunya mengalami tekanan gravitasi yang  sangat keras.

Tambah Tenaga, Kapten Ito kemudian menyuruh Mira menghubungi India Centre, Kita turun ke  15000 kaki.

Mira memanggil di radionya, "India centre, India centre, request to 15000, Indonesia1829."

Kapten ito menukikkan hidung pesawat, Tekanan gravitasi kembali menghentak badan Mira ke belakang. "Serasa mengemudikan pesawat tempur," kata Mira dalam hati.  

Pesawat itu berada di ketinggian 34.000 kaki dan turun dengan kecepan 5000 kaki per menit.

Seperti biasa India centre masih juga tidak menyahut. Mira memanggil lagi, "India centre,  request to 15000 .....Indonesia1829."

Sayup-sayup terdengar jawaban, "You have a problem Madam ?"

Dasar Sendal Jepit! pikir Mira,  rasanya ia ingin melempar orang diseberang sana. Lagipula mengapa ATC selalu menanyakan keadaan tanpa ekspresi.

Seandainya mereka saat ini ada disebelahku pasti mereka akan berteriak karena panik.

No sir, we have turbulence, balas Mira, badannya terbanting kekanan.

Indonesia1829 clear to 15000....good luck. Madam   Mira membalas menyetujui, dia mengamati instrumen di depannya. Sebuah lampu berwarna merah berkelap-kelip menandakan sesuatu akan datang menambah pekerjaan nya hari itu.

Gangguan mesin no .2 kapten. Mira mengamati mesin nomer dua mengalami dekompresi, temperatur dan tekanan oli sudah melewati ambang normal."

Nyalakan ulang Mira, perintah Kapten Ito. Hidung pesawat semakin tidak terkontrol menukik dan cenderung berbelok ke kiri. Mira mematikan mesin.Dia menggumam, " Oke, aku bukan seorang wanita yang memiliki kehebatan seperti banyak lainnya. Mungkin aku tidak berbakat menjadi seorang politikus, analis kimia, Bankir atau Notaris. Namun aku memiliki keyakinan bahwa aku mampu menghadapi tantangan yang akan aku hadapi dalam menghadapi hidup ini. Semoga tidak ada masalah baru."

Engine restart,  kata Mira, dia merasa pesawat terdorong ke kanan.

Pesawat belok ke kanan. Kapten Ito berusaha mempertahankan arah yang ia tuju. Kini mereka berada di ketinggian 24.000 kaki dan terus turun menuju 15.000 kaki.

Overspeed, brake,brake, itu suara Mira.

Pesawat bergoncang naik turun diikuti getaran batang kemudi ditangan Mira. Mereka terbang melampui kecepatan maksimal, kini pesawat semakin sulit untuk dikendalikan.

Mira menurunkan putaran mesin dan menaikkan tuas rem udara. Sayap bergetar keras karena tekanan manuver , dan alarm mulai berbunyi. Menegangkan, pikir Mira.

Dia berkata, Seven thousand ago. Mira memberi informasi kepada Kapten Ito.

Mematikan rem udara dan bersiap mempertahankan ketinggian. Kapten ito kembali menukikkan hidung pesawat dan tekanan kembali dirasakan oleh Mira. Kini pesawat meluncur deras menuju ketinggian 15.000 kaki dan getaran kembali dirasakan di batang kemudi dihadapan Mira.

"Sebaiknya aku berdoa." Dia pasrah, Mira memejamkan mata membiarkan tekanan gravitasi menimpa tubuhnya. Ia belum sempat mengucapkan doa,  bayangannya kembali teringat pada kenangan masa kecilnya.

Ia adalah murid sekolah dasar kelas 3  bersama kakaknya Arian ia akan berangkat sekolah ia akan menikmati saat-saat kesepian karena Arian lebih banyak diam dan membaca buku-buku di pangkuannya. Mira tak pernah akrab dengan Arian selain ia memiliki kepribadian yang berbeda ia juga selalu kalah jika harus berhadapan dengan Arian. Ia seorang gadis kecil berambut panjang dan berbadan gemuk. Kulitnya kuning kecoklatan karena terbakar matahari. Tiba di sekolah Arian akan mencari Adrienne yang duduk sendirian diatas sepeda butut. Saat-saat seperti itu ia akan mengamati Adrienne seraya terpesona.

Seorang bocah  yang penuh dengan keceriaan. Hobinya mengumpulkan gambar-gambar pesawat terbang dan memamerkan pada Arian apa yang ia Miliki. Mira sangat senang jika Arian terpaksa harus berdua dengannya karena Adrienne biasanya akan bercerita tentang kehebatannya main sepak bola, "Kamu tau Mir....aku cetak 2 gol dan ...aku jatuh."

Mira mengamati wajah Adrienne yang berseri-seri. Ia siap mendengarkan kelanjutan cerita Adrienne . "Tau nggak apa yang terjadi ?" Mira menggelengkan kepalanya.

Untuk cerita selanjutnya.....traktir aku es ya ? kata Adrienne.

Kenapa sih nggak minta dari tadi. Si Adrienne ini memangnya selalu kehabisan duit ya ? selalu aku yang jadi korban memberi 5000 perak hanya untuk mendengar kelanjutan ceritanya, Mira berkata dalam hati.

Dia kaget mendengar suara di kokpit.

Level off.

Itu suara Kapten Ito.Ketinggian pesawat 15.000 kaki, sunyi dan sepi merasuki suasana kokpit pesawat dan goncangan yang dialami pesawat menghilang. Semua bunyi alarm dan lampu peringatan yang berkedip-kedip kini kembali normal.

Sayup-sayup terdengar mesin pesawat memecah keheningan. Kapten Ito menyalakan kembali autopilot dan mengatur ketinggian 35.000 kaki agar mereka kembali ke rencana terbang semula. Mira mengamati gelas kosong yang tergeletak miring di kaki kanannya karena terlempar ketika pesawat berbelok. Pesawat kembali terbang dengan tenang dan semua parameter menunjukkan kondisi normal.

"Hahaha .......Seribu juta Topan badai."

Suara Kapten Ito menirukan Kapten Haddock di komik Tintin. Mira pun geli mendengar kaptennya tertawa. "Hahahaha, disini Marlinspike 421......." Balas Mira.

Kapten Ito, kembali mengeluarkan rokok menyulut dan mengepulkan asapnya.

Mira  meminta awak kabin untuk menyediakan 2 gelas Soda kesukaan kapten Ito. Mira menyulut sebatang rokok dan memperhatikan awan yang berwarna kelabu berada di sebelah kanan pesawatnya.

Mungkin profesor Kalkulus perlu diundang menganalisa cuaca tadi, kata Mira berusaha membuka pembicaraan.

Hahaha.Kapten Ito tertawa, " apakah

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1