Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident: 2
Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident: 2
Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident: 2
eBook214 halaman2 jam

Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident: 2

Penilaian: 4 dari 5 bintang

4/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Tak kuasa menahan rasa ingin tahu Sandra membaca buku harian Arlisa yang jatuh di kelas, Sandra dan Arlisa akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa hubungan mereka semakin meruncing, sebuah kesalahan fatal yang sulit dimaafkan oleh Arlisa. Berawal dari sebuah pengering rambut yang jatuh ke dalam bak cuci, akhirnya menyebabkan bencana di kampus mereka.

Kisah konyol, baper dan lucu para calon apoteker yang kuliah di Universitas Jayakarta di Jakarta. Kampus dengan akreditasi C dengan fasilitas minim. Tapi diantara kekurangan itu mereka belajar untuk berhati besar dan bersyukur.

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis13 Jun 2019
ISBN9781393887003
Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident: 2
Penulis

Bernadi Malik

Bernadi Malik adalah seorang penulis, ceo pabrik novel baper & thriller, blogger di bernadimalik.com, penikmat seni dan fotografi, bernafas dan hidup di Indonesia, berjalan di muka bumi, pengagum alkimia dan filsafat bergelar apoteker, memposisikan diri di tengah-tengah, punya sifat humanis, pecinta sate kambing dan tongseng. Senang jalan-jalan dan menulis.

Baca buku lainnya dari Bernadi Malik

Terkait dengan Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident

E-book terkait

Romansa untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident

Penilaian: 4 dari 5 bintang
4/5

2 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Eliksir Dua Rindu - Hairdryer Accident - Bernadi Malik

    AWALNYA

    Sandra dan Arlisa akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa hubungan mereka semakin meruncing, tapi Sandra salah langkah, ia membuat kesalahan fatal yang sulit dimaafkan oleh Arlisa. Berawal dari sebuah pengering rambut yang jatuh ke bak cuci akhirnya menyebabkan bencana di kampus mereka. Rizal dan Bob setelah kehilangan Mas Temon kini mereka harus beradaptasi lagi dengan kakak senior. Namanya Kak Ijul, seorang ahli komputer yang terdampar di Fakultas Farmasi.Ada juga dosen baru ala milenial, namanya Bu Astin yang cantik padahal sudah separuh abad . Ini adalah kisah para calon apoteker yang kuliah di Universitas Jayakarta di Jakarta. Kampus dengan akreditasi C dengan fasilitas minim. Tapi diantara kekurangan itu mereka belajar untuk berhati besar dan bersyukur.

    BAB 1 Hairdryer Accident

    S elamat siang, ucap Sandra ia berdiri di depan kelas. Kami dari kelompok 6 akan mempresentasikan contoh obat analgesik non steroid. Obat penghilang nyeri yang paling dikenal dari kelompok ini. adalah parasetamol, ibuprofen dan asam mefenamat. Disingkat AINS obat ini memiliki efek samping gangguan lambung kecuali yang spesifik menghambat enzin COX1 atau COX-inhibitor, Sandra sedang bicara di depan kelas Farmakologi bersama empat orang rekan mahasiswi dari kelompok 6, sementara itu ada Parasetamol berfungsi antipiretik, yaitu penurun demam. Sementara AINS yang lain tidak berfungsi sebagai antipiretik, di kursi deret belakang ada Bob dan Rizal yang sudah mulai menguap ketika jam berdetak lambat menunjukkan pukul 14:00 wib.

    Gimin ada di kursi depan ia bersama kelompok 3 sudah selesai presentasi sehingga ia bisa santai sambil membuka telepon selulernya. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kuliah selesai ia mencari-cari dimana Lisa duduk karena tadi ia terlambat masuk ke kelas. Di sudut sebelah kanan Lisa hanya diam menyaksikan Sandra, semakin bersemangat menjelaskan apa yang ia sampaikan. Kira-kira lima menit presentasi itu selesai dan di akhiri dengan pertanyaan oleh Sandra.

    Ada yang ingin bertanya ? Sandra duduk di kursi di bagian depan kelas, di samping meja dosen dan sebuah ohp dan proyektor tempat ia menyalakan laptop berisi diagram klasifikasi obat analgesik Eh, kalau tidak ada maka presentasi kali ini kami akhiri dengan ucapan terimakasih, ketika kalimatnya berakhir ia mendengar bunyi bel tanda kelas Farmakologi selesai.

    Oh ya sebelum lupa...saya ingin menyampaikan bahwa kalian akan kedatangan dosen baru dari Universitas Kyoto, ucap Ibu Dewi, rambutnya yang pendek dan memiliki uban terlihat jelas dari tempat duduk Gimin.

    Namanya Ibu Astin...beliau ahli dalam bidang Fitokimia, seperti Pak Sutrisno. Kemungkinan akan di tempatkan di departemen Fitokimia. Baik itu saja terimakasih sudah memberikan presentasi Sandra. 

    Ibu Dewi mematikan laptopnya, lalu puluhan mahasiswa buru-buru keluar dari dalam kelas. Seperti biasanya Bob dan Rizal sudah sibuk dengan rencana jalan-jalan hari itu. Tapi yang membuatnya bingung adalah sore mereka harus ikut kuliah biokimia di ruang F1. Jadi kita nongkrong dimana Bob ? tanya Rizal. Ia berdiri di belakang Bob antri keluar dari dalam kelas.

    Kamu tau roti bakar dekat Tip-top itu kan...enak loh disana, sahut Bob.

    Hmm, ya ya kayaknya memang enak tuh, sambung Rizal.

    Sandra dari depan kelas langsung berlari ke belakang ia mendekati Rizal dan Bob, sambil menenteng tas ransel dan jas praktikum miliknya.

    Loh kalian tidak ikut hari ini praktikum Kimia Analisa Kualitatif...?

    Gimin mendekat dari depan, ia menggeser-geser kursi yang menghalangi dirinya keluar dari depan kelas.

    Iya, kami ikut kok Praktikum Kualitatif.. Sahut Bob. Kami punya rencana nanti setelah praktikum baru kita ke roti bakar...apa sih namanya aku lupa.

    Min....kamu ikut praktikum nggak ? tanya Sandra, ia mendekat ke pintu keluar. Antri bersama beberapa mahasiswa lain.

    Aku beda kelas dengan kamu Sandra....aku kelas A, jadi besok baru bisa ikutan, jawab Gimin.

    Sandra, Gimin, Bob dan Rizal keluar dari dalam kelas mereka berjalan di sepanjang selasar kampus. Lisa yang keluar dari pintu depan mengikuti mereka.

    Eh Sandra... jadi kita pisah praktikum yaa, kata Lisa

    Iya Lis,...Kamu kelas apa sih ? tanya Sandra.

    Aku kelas A...sama dengan Gimin, Jawab Lisa.

    Ya udah, kami pergi dulu ke Lab. ya, sahut Sandra. Ia bersama Rizal dan Bob yang mengambil barang bawaannya di bawah tangga kelas. Sebuah tas berisi peralatan praktikum yang sudah disiapkan sejak semalam.

    Di dalam laboratorium semua sudah di siapkan, beberapa sampel yang harus di uji untuk mencari zat apa yang ada di dalam sebuah wadah. Masing-masing mahasiswa mendapat dua sampel yang harus dicari zat apa yang ada di dalam tempat itu. Rizal, Bob dan Sandra meletakkan barang di sebuah meja yang dibuat dari porselen warna putih. Permukaannya dingin dan aroma gas H2S di lemari asam yang bau comberan itu tercium sayup-sayup di hidung para mahasiswa.

    Sandra, Rizal dan Bob meletakkan selembar kain di atas porselen putih, menggunakannya sebagai taplak meja. Lalu tabung reaksi disusun rapi, mengambil sampel dan meletakkan di lemari asam untuk melihat reaksi dengan gas H2S.

    Uhhm..bau-nya ituloh, ucap Rizal yang mengenakan masker aroma comberan masih saja tembus masuk ke hidungnya.

    Iya jadi ingat kali di belakang kos ya, balas Bob yang mengocok-ngocok tabung reaksi.

    Sandra terlihat sudah lebih dulu mulai praktikum, ia kini sibuk mengambil reagen-reagen yang tersusun rapi di atas meja. Ia meneteskan satu demi satu berharap ada hasil yang positif dari reagen yang diteteskan.

    Sementara itu di luar Gimin sedang duduk-duduk di depan tata usaha ketika DR.Ilham keluar dari lantai dua di kantornya. Biasanya dia lupa dengan nama mahasiswa tapi mungkin hari itu ia sedang ignat dengan Gimin. Tidak biasanya ia menyapa Gimin.

    Gimin,....kau tidak kuliah ? tanya pria itu sambil menggenggam tas kulit diantara lengan dan punggangnya.

    Tidak Pak, saya tidak ada kuliah hari ini, jawab Gimin salah tingkah.

    Oh begini, saya bisa minta tolong siang ini ada seorang dosen dari Universitas Kyoto, beliau datang dari Surabaya dan minta di jemput di Bandara.Kau bisa bantu saya ?

    Maksud bapak saya menjemput beliau Pak ?

    Iya, saya akan mengikuti rapat di rektorat.

    Oke Pak, beres, ucap Gimin. Ia berjalan menuju tata usaha, berharap ada Pak Tum yang bisa di pinjam mobilnya. Benar Pak Tum sudah berdiri didepan  ruang tata usaha.

    Pak Tum,...aku mau pinjam mobil untuk jemput bu dosen baru..

    Min, ya..aduh masalah nih mobil itu sedang di bengkel...

    Loh jadi aku naik apa Pak ? Gimin jadi panik.

    Pinjam Rizal bisa nggak ? balas Pak Tum.

    Bisa Pak tapi yang nyetir masak saya sendirian, sahut Gimin.

    Hmm, ya coba deh tanya Rizal dulu. Ini nomer penerbangan Bu Astin ya, Pak Tum memberikan sebuah lembaran kertas. Tertulis di sana sebuah jadwal penerbangan dari Surabaya. Pesawat Bu Astin mendarat pukul 16:00 wib, sementara sekarang baru pukul 12:00 masih cukup waktu naik mobil menuju Bandara Soekarno Hatta.

    Gimin segera keluar dari dalam ruangan tata usaha, ia berlari ke lantai dua menuju laboratorium kualitatif. Di depan pintu ruangan ia mengetuk-ngetuk pintu minta ijin. Ibu Ririn yang sedang berjaga di meja dosen terlihat tersenyum pada Gimin.

    Kenapa Min...? tanya Ibu Ririn.

    Mau ketemu Rizal Bu, ucap Gimin. Ibu Ririn melongokkan kepalanya yang mengenakan kerudung hijau, ia terlihat mencari-cari diantara beberapa mahasiswa yang menggunakan jas praktikum putih.

    Jal...Rizal, panggil ibu Ririn. Rizal terlihat mendekat, ia membawa sebuah tabung reaksi, wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Tapi ia masih bersemangat.

    Kenapa Min ?

    Aku mau pinjam mobil jemput dosen...

    Oh boleh ini ambil saja kunci mobil, Rizal menyerahkan kunci mobil Mitsubishi Pajero putih miliknya kamu sama siapa ? aku kan belum selesai praktikum Min.

    Nanti aku cari dulu, Gimin segera mengambil kunci mobil di tangan Rizal. Ia segera berlari ke lantai satu dan mencari-cari siapa yang bisa mengemudikan mobil milik Rizal. Tapi semua mahasiswa sedang sibuk dengan pergantian jadwal kuliah. Pergerakan manusia yang pindah ruangan itu sangat cepat, dan mereka tak memperhatikan Gimin yang kebingungan. Satu-persatu mahasiswa dan dosen menghilang masuk lagi ke dalam kelas. Gimin  mencari-cari Lisa tapi tak menemukan dia di taman. Sementara mahasiswa sudah masuk ke kelas masing-masing. Ia punya ide dan berlari menuju ke belakang kampus, disana biasanya ada kakak kelas yang duduk-duduk sambil merokok. Kali ini suasana sepi dan dia hanya sendirian.

    Jadi siapa nih yang menyetir mobil, gumamnya dalam hati. Perasaan bersalah muncul di hatinya karena ia jadi ingat almarhum Mas Temon yang pernah kebagian tugas jadi seksi transportasi.

    Tapi ada jawaban atas keresahan Gimin, Kak Feri yang datang terlambat rupanya tidak masuk ke kelas. Ia sedang menunggu dosen Bioteknologi yang belum datang sejak pagi. Kak Feri ini orangnya penuh senyum, punya logat banjar kental seperti Rizal. Dia juga adalah salah satu pemain musik senior di kampus Fakultas Farmasi.

    Min,...kenapa kok sibuk ? Kak Feri berjalan mendekati Gimin.

    Kak,...aku butuh sopir untuk jemput dosen di bandara nih,...

    Oh ya, aku bisa bantu. Jam berapa sih ?

    Jam Empat kak, jawab Gimin.

    Ok,...ayo berangkat, Kak Feri mengangguk berjalan menjauhi kampus ke halaman depan. Ia mencari-cari mobil putih milik Rizal, biasanya mobil Rizal di parkir di samping sebuah pohon beringin agar tidak terkena panas. Tapi hari itu Rizal sepertinya datang terlambat. Ia memarkir mobilnya sedikit dekat pagar.

    Awalnya Kak Feri masih kaku mengeluarkan mobil melalui pagar depan kampus. Tapi setelah keluar di Jalan Pemuda semua berjalan lancar. Jalanan kosong yagn tidak di penuhi kendaraan Kak Feri langsung tancap gas. Ia menambah kecepatan lalu belok ke kanan di lampu merah rawasari.

    Kita lewat jalan layang saja ya, kata Kak Feri naik lewat jalan tol. Ia mengambil sejumlah uang dan membayar ke petugas jaga.

    Gimin terus terang senang melihat Kak Feri yang lincah mengemudikan mobil. Apalagi siang itu mereka harus sudah sampai di Bandara pukul empat sore. Mereka melalui jalan tol menuju ke kawasan Ancol lalu terus ke barat masuk ke Gerbang Tol Bandara.

    Di depan kawasan Pantai Indah Kapuk mobil mereka melambat mereka menunggu antrian truk dan mobil yang keluar ke arah kiri. Sepertinya di sana sudah biasa macet dan pengemudi harus antri.

    Sampai di terminal dua waktu menunjukkan pukul tiga sore hari. Masih ada waktu satu jam sebelum pesawat yang ditumpangi oleh Ibu Astin sampai. Kak Feri memarkir kendaraan di depan terminal dua dan turun bersama Gimin. Mereka berjalan menuju terminal sambil mencari-cari tempat yang cocok untuk nongkrong.

    Min, kita duduk di starbucks di samping Mc.Donalds itu ya, kata Kak Feri.

    Oke kak...kayaknya sih penuh banget tapi nggak papa deh, Gimin menyeberang jalan lalu berjalan di teras bandara. Ia belok ke dalam terminal kedatangan lalu masuk ke dalam Starbucks. Ia memesan kopi hitam sementara Kak Feri secangkir Espresso. Duduk di kursi di depan Gimin membuka-buka teleponnya, ia membuka Instagram milik Lisa, memberikan tanda hati pada foto Lisa, ia terlihat cantik mengenakan topi warna hitam dan kaos putih kesayangannya sedang duduk di taman di depan rumahnya sambil mengecup sebuah bunga mawar warna merah.

    Tapi ada sebuah pemandangan yang mengganggu Gimin di dalam kafe itu, ada seorang wanita mengenakan seragam biru – ia seorang pramugari berpenampilan menarik—wajahnya terlihat letih tapi masih tersenyum. Rambutnya di sanggul ke atas, bibirnya tipis mengenakan lipstik warna merah. Pipinya tegas kaku seperti matanya yang tipis menatap tajam. Diantara bibirnya yang merekah itu ada deretan gigi putih yang rapi. Ia masuk kedalam Starbuck dan membeli secangkir kopi hitam. Di benak Gimin ia langsung berkata itu kayaknya Mbak Eva, Mbak Eva yang dulu menjaga aku naik pesawat pertama kali. "

    Tapi kalau tidak salah sih, Gimin bangkit dari kursinya, sementara disebelahnya Kak Feri sibuk merokok sambil mengutak-atik teleponnya. Gimin mendekati wanita tersebut menatap papan nama di dada sebelah kiri. Di situ tertulis Astria, bukan Eva, sepertinya ia salah tapi terlanjur menghampiri ia memberanikan diri bertanya pada wanita itu.

    Eh Mbak, maaf, saya kira tadi teman saya ternyata bukan.. Wanita itu terkejut menatap Gimin di sebelahnya.

    Oh ya nggak apa mas, hehe memangnya aku mirip dia ya, wanita itu terkekeh-kekeh

    Iya mirip dari belakang, namanya Mbak Eva, ucap Gimin.

    Tunggu dulu, Eva Sundari ya, tadi kami terbang ke Jakarta sampai disini sama-sama kok. Barangkali masih ada di depan tuh dia nungguin taksi, wanita itu menunjuk ke arah seorang wanita yang sedang berdiri di teras Bandara. Gimin langsung ingat wajah wanita itu.

    Oh iya, itu Mbak Eva.... Terimakasih Mbak, Gimin buru-buru keluar dari dalam Starbucks ia berlari mendekati seorang wanita yang berdiri di samping sebuah antrian taksi. Ia mengenakan seragam biru, seperti rekannya ia mengenakan kain batik dan menatap menunggu taksi yang menjemputnya.

    Mbak Eva...Mbak Eva, teriak Gimin mendekati wanita itu. Ia sepertinya bingung namanya dipanggil oleh Gimin. Ia mencari-cari suara itu lalu memperhatikan seorang pria yang berlari mendekat. Di depan Gimin ia tersenyum, ia sebenarnya masih lupa-lupa ingat siapa Gimin. Tapi Gimin lebih dulu nyerocos.

    Hai Mbak, ini aku Gimin...yang dulu takut naik pesawat.

    Hehe,hai Mas Gimin ia mengulurkan tangannya menyalami Gimin, tapi tidak bisa bohong wanita itu terlihat lelah, kelopak matanya gelap, bola matanya kemerahan, dia mengantuk.

    Ayo duduk di sana, ucap Gimin. Sebenarnya  Mbak Eva ingin menolak tapi ia tak punya alasan.

    Aku mau jemput dosenku dari Surabaya, tadi aku liat wanita di Starbucks kirain Mbak Eva...ternyata dia bilang dia teman Mbak.

    Wanita itu tertawa. "Iya,...tapi pasti kenal lah

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1