Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai
Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai
Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai
eBook864 halaman8 jam

Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai

Penilaian: 0 dari 5 bintang

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai adalah buku yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip pokok ajaran Islam Sunni mainstream yang biasa disebut al-Sawad al-A'dzam. Aswaja mainstream di Indonesia dianut utamanya di Jawa oleh kalangan yang berafiliasi ke ormas Nahdlatul Ulama (NU), di Sumatera ke ormas Al-Washliyah, di NTB ke ormas Nahdlatul Wathan. Kalangan NU biasa menyebut dirinya Aswaja Nahdliyah.

 

Daftar isi

Pengantar Penerbit    vi
Pengantar Penulis    viii
Pengantar Edisi Revisi    xi
Prolog    xii
BAB I
Empat Pilar Ahlussunnah  Wal Jamaah    1

BAB II
Menghargai Perbedaan    65
1.    Islam itu Mudah    66
2.    Mentolerir Perbedaan    72
3.    Bid'ah itu Baik    78

BAB III
Makna Jihad    147
1.    Jihad Besar    148
2.    Jihad dengan Pendidikan    157
3.    Jihad dengan Akhlak    175
4.    Jihad Ibadah dan Sosial    195
5.    Jihad Kecil    199

BAB IV
Ideologi Intoleran dan Kekerasan    229

BAB V
Gerakan Transnasional    323
1.    Salafi Wahabi    324
3.    Jamaah Tabligh    354
4.    Ikhwanul Muslimin (IM)    361
7.    Hizbut Tahrir dan Salafi Wahabi    396
BAB VI
Gerakan Radikal Klasik    401
1.    Khawarij: Aliran Radikal Pertama dalam Islam    402
2.    Al-Ikhwan Gerakan Radikal Kakak Kandung ISIS    416
BAB VII
Amaliah Aswaja    425



 

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis13 Feb 2024
ISBN9798224708369
Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai
Penulis

A.Fatih Syuhud

A. Fatih Syuhud saat ini sebagai pengasuh dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang Buku yang sudah terbit: 1. Tip Menulis di Media Massa (Pustaka Al-Khoirot, 2008) 2. Santri, Pesantren dan Tantangan Pendidikan Islam (Pustaka Al-Khoirot, 2009) 3. Wanita Salihah, Wanita Modern ((Pustaka Al-Khoirot, 2010) 4. Pribadi Akhlakul Kariman (Pustaka Al-Khoirot, 2011) 5. Dasar-dasar Jurnalistik (Pustaka Al-Khoirot, 2012) 6. Pendidikan Islam: Cara Mendidik Anak Salih, Smart dan Pekerja Keras (Pustaka Al-Khoirot, 2011) 7. Menuju Kebangkitan Islam dengan Pendidikan (Pustaka Al-Khoirot, 2012) 8. Keluarga Sakinah (Pustaka Al-Khoirot, 2013) 9. Rumah Tangga Bahagia (Pustaka Al-Khoirot, 2014) 10. Meneladani Akhlak Rasul dan Para Sahabat (Pustaka Alkhoirot, 2015) Pendidikan: • Madrasah Diniyah Al-Khoirot • Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang. • Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. • Pondok Pesantren Langitan, Tuban. • S1 Fakultas Hukum Unisda Lamongan (1989-1995) • S1 Fakultas Syariah wa Ushuluddin, Nadwatul Ulama, Lucknow India (1995 – 1998) • S2 Islamic Studies, Aligarh Muslim University, (1999 – 2000) • S2 Political Science, Agra University, 2001-2003 • S3 Islamic Studies, Jamia Millia University, 2004-2007

Terkait dengan Ahlussunnah Wal Jamaah

E-book terkait

Islam untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Kategori terkait

Ulasan untuk Ahlussunnah Wal Jamaah

Penilaian: 0 dari 5 bintang
0 penilaian

0 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Ahlussunnah Wal Jamaah - A.Fatih Syuhud

    Aqidah Asy’ariyah

    Pilihan Mayoritas Ulama

    D

    alam kitab Risalatu Ahlissunnah Wal Jamaah, Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa golongan Ahlussunnah itu adalah mereka yang secara aqidah mengikuti madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari, dan dalam berfiqih mengikuti salah satu madzhab empat.[21]Madzhab aqidah yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah ini diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits ternama dan ulama fiqih utama seperti Al-Baihaqi, Al-Baqilani, Al-Qusyairi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Al-Nawawi, Al-Suyuti, Izzuddin bin Abdissalam, Taqiuddin Al-Subki, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Aqil Al-Hanbali, dan Ibnul Jauzi. Mereka meliputi ulama dari berbagai madzhab fiqih Syafi'i, Maliki, Hanafi dan sebagian Hanbali.[22]

    Di kalangan santri pesantren salaf, aqidah Asy’ariyah sudah tidak asing lagi. Kitab tauhid Asy’ariyah dipelajari di madrasah diniyah secara berulang-ulang dari sejak tingkat awal sampai kelas tingkat akhir. Umumnya kitab tauhid Asy’ariyah yang dikaji adalah Aqidatul Awam, Al-Dasuqi, Hushunul Hamidiyah,Al-Sanusiyah, Jawahir Al-Kalamiyah, Al-Luma’, dan lain-lain.

    Pelopor Aqidah Asy’ariyah

    Konsep dan metode yang terdapat pada aqidah Asy’ariyah pada dasarnya sudah ada dan diikuti oleh generasi salafus soleh, yakni generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Namun konsep ini disusun secara lebih terstruktur oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan para ulama Aswaja setelahnya.[23] Siapa Abul Hasan Al-Asy’ari?

    Abul Hasan Al-Asy'ari lahir di Basrah Irak pada tahun 260 H/874 M. Ia memulai belajarnya di kota kelahirannya ini sebelum melanjutkan studi ke Bagdad dan tinggal di kota ini sampai wafatnya pada tahun 324 H/936 M.

    Pada awal hidupnya ia mengikuti madzhab Muktazilah, lalu bertaubat dan kembali ke madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yakni madzhab Salaf dan membebaskan diri dari pandangan yang dianut Mu'tazilah seperti pendapat bahwa Al-Quran itu makhluk dan bahwa pelaku dosa besar itu berada di tempat di antara dua tempat (surga dan neraka).

    Abul Hasan Al-Asy'ari dikenal luas ilmunya dan dalam wawasannya. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya karya tulisnya di berbagai bidang studi Islam. Abu Ishaq Al-Isfirayini, seorang ulama madzhab Syafi'i yang masyhur, menyatakan: Aku dibanding Syekh Abul Hasan Al-Bahili bagaikan setitik buih di lautan. Aku mendengar Abul Hasan Al-Bahili berkata, 'Aku dibanding Syekh Abul Hasan Al-Asy'ari bagaikan setitik buih di pantai.[24]

    Imam Ahlussunnah Wal Jamaah

    Ketinggian ilmunya juga bisa dimaklumi dari banyaknya ulama dari berbagai generasi yang mengikuti madzhabnya. Dan itu menjadi bukti atas kebenaran aqidah Asy’ariyah. Dalam sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah bersabda: Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan[25]Dalam mengomentari hadits ini, Al-Sindi menjelaskan: Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan maksudnya dalam kekufuran, atau kefasikan atau kesalahan dalam berijtihad.[26] Dengan kata lain umat Islam tidak akan bersepakat dalam suatu pandangan aqidah atau ijtihad hukum yang salah. Justru, apabila umat sepakat atas suatu ijtihad maka kesepakatan itu menjadi dalil atas kebenarannya karena umat tidak akan sepakat dalam kesesatan. Lanjutan hadits ini menyatakan: Apabila kalian melihat perbedaan, maka ikutilah al-sawad al-a'zham.[27]

    Nabi bersabda dalam lanjutan hadits ini: "Apabila kalian melihat perbedaan, maka ikutilah al-sawad al-a'zham." Siapa yang dimaksud al-sawad al-a'zham? Al-Sindi menjelaskan: Yaitu golongan muslim yang banyak. Kesepakatan mereka mendekati pada ijmak. Imam Suyuti mengatakan yang dimaksud as-sawad al-a’zham adalah mayoritas umat yang sepakat pada jalan yang lurus. Hadis ini menunjukkan anjuran untuk mengamalkan pandangan mayoritas (ulama).[28]

    Dengan demikian, maka Abul Hasan Al-Asy’ari sebagai pelopor dari konsep aqidah tauhid Asy’ariyah sudah sewajarnya disebut sebagai Imam Ahlussunnah Wal Jamaah dan bahwa aqidah Asy’ariyah adalah aqidah yang benar. Karena, aqidah ini diikuti oleh mayoritas para ulama (as-sawadul a’zham) yang memiliki otoritas tinggi dalam berbagai bidang dan dari berbagai madzhab fikih seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

    ––––––––

    Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Senioritas

    Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib Al-Muftari menyebut sejumlah ulama besar yang mengikuti madzhab Asy'ariyah. Ia membagi pada lima kategori berdasarkan faktor senioritas. Ulama yang disebut di bawah hanya sebagian kecil untuk sekadar contoh. Menurut Tajuddin Al-Subki, seandainya disebut semua, niscaya hampir semua ulama madzhab empat mengikuti manhaj aqidah Asy'ariyah.[29]

    Generasi pertama yang menganut Asy'ariyah adalah para ulama abad Keempat Hijriyah antara lain: Abu Bakar Al-Baqilani (wafat, 403 H), Abu Bakar bin Faurak (w. 406 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (w. 406 H), Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418 H), Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H), Abul Qasim Al-Isfirayini (w. 452 H), Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H), Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H), Abul Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H), Abul Muzhoffar Al-Isfirayini (w. 471 H), Abul Walid Al-Baji (w. 474 H), Abu Ishaq Al-Syairazi (w. 476 H), Abul Ma'ali Al-Juwaini (w. 478 H).

    Ulama generasi kedua yang menganut Asy'ariyah adalah para ulama yang hidup pada abad kelima hijrah (abad ke-11 masehi) antara lain: Abu Hamid Al-Ghazali (wafat, 505 H), Abul Qasim Al-Anshari (w. 511 H), Ibnu Rusydi (w. 520 H), Abu Bakar Ibnul Arobi (w. 543 H), Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), Abul Fath Al-Syahrastani (w. 548 H), Ibnu Asakir (w. 571 H).

    Ulama generasi ketiga yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad keenam hijriyah (abad ke-12 masehi) antara lain: Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H), Abul Qasim Al-Rofi'i (w. 623 H), Saifuddin Al-Amadi (w. 631 H), Ibnul Hajib (w. 646 H), Al-Izz bin Abdissalam (w. 660 H), Muhyiddin Al-Nawawi atau Imam Nawawi (w. 676 H), Nasiruddin Al-Baidhawi (w. 691 H).

    Ulama generasi keempat yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad ketujuh hijriyah (abad ke-13 masehi) antara lain: Ibnu Daqiq Al-Id (w. 702 H), Kamaluddin Al-Zamlakani (w. 727 H), Badruddin bin Jamaah (w. 733 H), Aduddin Al-Iji (w. 757 H), Taqiuddin Al-Subki (w. 771 H), Syamsuddin Al-Kirmani (w. 786 H), Sa'duddin Al-Taftazani (w. 793 H).

    Ulama generasi kelima yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kedelapan hijriyah ( abad ke-14 masehi) antara lain: Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu Khaldun (w. 808 H), Al-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H), Taqiuddin Al-Hishni (w. 829 H), Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H), Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi (w. 895 H).

    Ulama generasi keenam yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesembilan hijriyah ( abad ke-15 masehi) antara lain: Syamsuddin Al-Sakhawi (w. 902 H), Jalaluddin Al-Suyuti (w. 911 H), Syihabuddin Al-Qastalani (w. 923 H), Zakariyah Al-Anshari (w. 926 H), Abdul Wahab Al-Sya'roni (w. 973 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H).

    Ulama generasi ketujuh yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesepuluh hijriyah ( abad ke-16 masehi) antara lain: Syamsuddin Al-Ramli (w. 1004 H).[30]

    Ulama Pengikut Asy'ariyah Berdasarkan Keilmuan

    Dari nama-nama ulama yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa pengikut Asy'ariyah adalah kalangan ulama papan atas yang berasal dari berbagai bidang keilmuan Islam. Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut kategorisasi ulama pengikut aqidah Asy'ariyah berdasarkan keahlian mereka dalam bidang ilmu tertentu.

    Dalam bidang tafsir dan ilmu Al-Quran terdapat sejumlah nama terkenal antara lain, Al-Jashash, Abu Amr Al-Dani, Al-Kayya, Al-Harasi, Ibnul Arabi, Al-Razi, Ibnu Atiyah, Al-Mahalli, Al-Baidhowi, Al-Tsa'alibi, Abu Hayyan, Ibnul Jazari, Al-Samarqandi, Al-Wahidi, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Al-Alusi, Al-Zarqani, Al-Nasafi, Al-Qasimi, Ibnu Asyur, dan banyak lagi yang lain.

    Dari kalangan ahli hadits dan ilmu hadits terdapat sejumlah nama masyhur berikut: Al-Daruqutni, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Asakir, Al-Khattabi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Al-Sam'ani, Ibnul Qattan, Al-Qadhi Iyadh, Ibnus Sholah, Al-Mundziri, Al-Nawawi, Al-Haitsami, Al-Muzi, Ibnul Hajar, Ibnul Munir, Ibnu Battal, mayoritas pensyarah kitab Bukhari dan Muslim, mayoritas pensyarah kitab hadits (kutub as-sunan). Juga, Al-Iraqi, putra Al-Iraqi, Ibnu Jamaah, Al-Aini, Al-Ala'i, Ibnul Mulqin, Ibnu Daqiq Al-Id, Al-Zamlakani, Al-Zaila'i, Al-Suyuthi, Ibnu Allan, Al-Sakhawi, Al-Manawi, Ali Al-Qori, Al-Jalal Al-Dawani, Al-Baiquni, Al-Laknuwi, Al-Zubaidi, dan banyak lagi yang lain.

    Dari ulama ahli sejarah antara lain: Qadhi Iyadh, Al-Tabari, Khatib Al-Baghdadi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Ibnu Hajar, Al-Muzi, Al-Suhaili, Al-Solihi, Al-Suyuthi, Ibnul Atsir, Ibnu Khaldun, Al-Tilmasani, Al-Qasthalani, Al-Shafdi, Ibnu Khalakan, Qadhi Syuhbah, Ibnu Nasiruddin, dan lain-lain.

    Dari ulama ahli bahasa antara lain: Al-Jurjani, Al-Qazwini, Abul Barakat Al-Anbari, Al-Suyuthi, Ibnu Malik, Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, Ibnu Manzhur, Al-Fairuzabadi, Al-Zubaidi, Ibnul Hajib, Khalid Al-Azhari, Abu Hayyan, Ibnul Atsir, Al-Hamudi, Ibnu Faris, Al-Kafawi, Ibnu Ajurum, Al-Hattab, Al-Ahdal, dan lain-lain.[31]

    Dari kalangan penguasa muslim, terdapat nama-nama tenar seperti Salahuddin Al-Ayubi, Muzhafar, Nizham Al-Muluk, Sultan Al-Fatih Turki dan para sultan Turki Usmani yang lain.[32]

    Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Madzhab Fiqih

    Dari kalangan ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih terdapat nama-nama besar antara lain:

    a) Dari madzhab Hanafi: Ibnu Najim, Al-Kasani, Al-Sarakhsi, Al-Zaila'i, Al-Haskafi, Al-Mirghanani, Al-Kamal bin Al-Hamam, Al-Syaranbalali, Ibnu Amir Al-Haj, Al-Bazdawi, Al-Khadimi, Abdul Aziz Al-Bukhari, Ibnu Abidin Al-Tahtawi, dan mayoritas ulama India, Pakistan dan Bangladesh.

    b) Dari madzhab Maliki: Ibnu Rusydi, Al-Qarafi, Al-Syatibi, Ibnul Hajib, Khalil, Al-Dardir, Al-Dasuqi, Zuruq, Al-Laqqani, Al-Zarqani, Al-Nafrawi, Ibnu Jazi, Al-Adwi, Ibnul Haj, Al-Sanusi, Ulaisy, mayoritas ulama Maroko, dan lain-lain.

    c) Dari madzhab Syafi'i: Al-Juwaini, Al-Razi, Al-Ghazali, Al-Amidi, Al-Syairazi, Al-Isfirayini, Al-Baqilani, Al-Mutawalli, Al-Sam'ani, Ibnus Sholah, An-Nawawi, Al-Rofi'i, Al-Iz Ibnu Abdissalam, Ibnu Daqiq Al-Id, Ibnur Rif'at, Al-Adzra'i, Al-Asnawi, Al-Subki, Al-Baidhawi, Al-Hishni, Zakariya Al-Anshari, Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Romli, Al-Syarbini, Al-Mahalli, Ibnul Muqri, Al-Bujairami, Al-Baijuri, Ibnul Qasim Al-Ibadi, Qalyubi, Umairah, Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Ibnu Naqib, Al-Attar, Al-Bannani, Al-Dimyati, Al-Ahdal, dan lain-lain.[33]

    Ahlussunnah Wal Jamaah Identik dengan Aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah

    Dari banyaknya ulama yang mengikuti aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah sehingga Al-Yafi’i menyimpulkan bahwa seandainya dihitung jumlah ulama yang tidak ikut kedua akidah ini, maka niscaya akan bisa dihitung dengan jari.[34] Ini semakin meyakinkan kita bahwa aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah aqidah yang benar dan harus menjadi pedoman dan panutan seluruh umat Islam. Karena, kebenaran aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah berdasarkan pada ijmak ulama yang tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan seperti disebut dalam hadits Nabi di atas. Juga, hal ini didukung oleh kaidah fiqih bahwa ijmak ulama adalah dalil yang pasti, sedangkan perbedaan mereka menjadi rahmat yang luas.[35]

    Oleh karena itu, maka tidaklah berlebihan apabila para ulama mengidentikkan label Ahlussunnah Wal Jamaah hanya pada mereka yang mengikuti akidah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Al-Murtadho Al-Zabidi (w. 1205 H/1732 M) dalam syarah Ihya Ulumuddin menyatakan: Apabila disebut Ahlussunnah Wal Jamaah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti paham Asy’ariyah dan Maturidiyah.[36][]

    ––––––––

    Pokok-pokok Ajaran Aqidah Asy’ariah

    Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa madzhab aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang paling banyak diikuti para ulama dan umat Islam salaf dan kholaf adalah aqidah Asy’ariyah yang dibentuk oleh Abul Hasan Al-Asy’ari.[37]  Oleh karena itu dapat dimaklumi apabila tidak sedikit dari golongan tertentu dalam Islam yang ingin menyebarkan aqidah mereka sendiri lalu mengklaim bahwa aqidah merekalah yang paling sesuai dengan aqidah Asy’ariyah. Caranya, misalnya, dengan menyatakan bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari telah berpindah madzhab mengikuti aqidah mereka.  Kelompok yang paling getol mengklaim hal ini adalah Wahabi Salafi. Golongan ini mengaku-ngaku dua hal yaitu (a) bahwa aqidah merekalah yang disebut aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah; (b) bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari pada akhir hidupnya telah berpindah mengikuti aqidah Wahabi Salafi.[38] Klaim ini tentu saja tidak benar dan akan dibahas secara khusus pada bagian akhir artikel. Tulisan ini hanya akan menyoroti prinsip utama aqidah Asy’ariyah yang membedakannya dengan aqidah yang lain seperti Maturidiyah, Atsariyah dan Wahabi Salafi.

    Pengertian Aqidah

    Dari segi sharaf, kata aqidah berasal dari masdar (verbal noun) dari kata kerja i'taqada ya'taqidu i'tiqad yang bermakna Aku mengambil dari akad. Aqad bermakna mengikat dengan kuat. Oleh karena itu istilah aqad diidentikkan dengan jual beli, sumpah, nikah dan lainnya; karena terikatnya hal-hal ini secara syariah dan ‘uruf.

    Adapun aqidah secara bahasa bermakna keyakinan sepenuh hati pada yang diyakini. Dalam istilah syariah, aqidah adalah perkara yang dikehendaki dalam hati bukan perbuatan, seperti aqidah adanya Allah dan terutusnya para Rasul.[39]

    Ilmu yang mempelajari aqidah disebut dengan ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama),  ilmu tauhid, dan ilmu kalam.[40]

    Beda Aqidah, Fiqih dan Syariah

    Dalam hadits sahih yang dikenal dengan sebutan hadits Jibril dikatakan bahwa agama itu meliputi tiga hal yaitu iman, Islam dan ihsan.[41] Syauqi Ibrahim Allam, mufti Mesir saat ini (2013-sekarang) menjelaskan bahwa hadits ini bermakna bahwa agama itu dibangun atas tiga hal yaitu Islam, iman dan ihsan. Para Sahabat dan Tabi'in dan generasi setelahnya selalu menganggap penting ketiga hal ini. Kemudian, ulama setelahnya memberi nama ilmu yang menjelaskan tentang rukun Islam dengan ilmu fiqih, ilmu yang menguraikan tentang rukun iman disebut ilmu aqidah dan ilmu yang menjabarkan kedudukan ihsan dengan ilmu tasawuf.[42]

    Sebagian ulama menyatakan bahwa aqidah adalah sesuatu yang dibenarkan dan diyakini oleh hati tanpa ada keraguan sedikitpun. Syariah adalah perintah Islam yang bersifat perbuatan seperti ibadah dan muamalah. Fiqih adalah mengetahui hukum syariah yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang rinci. Faqih atau ahli fiqih berperan untuk mengeluarkan hukum syariah amaliyah dari dalil-dalil syariah yakni Al Quran dan hadtis atau dari berbagai sumber yang oleh syariah dianggap benar seperti ijmak dan qiyas yang sahih.

    Jadi, fiqih atau syariah itu khusus membahas hukum amaliyah seperti ibadah dan muamalah, tentang halal haram sunnah makruh dan mubah; sedangkan aqidah lebih mengedepankan keimanan.[43]

    Beda Madzhab Aqidah dan Madzhab Fiqih

    Karena aqidah terkait masalah ushuluddin (pokok agama), sedangkan fiqih menyangkut masalah furu’uddin (cabang agama), maka perbedaan yang terjadi antara madzhab fiqih lebih bisa diterima dibanding perbedaan di kalangan madzhab aqidah. Itulah sebabnya, hanya ada dua madzhab aqidah utama di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu aqidah Asy’ariyah dan aqidah Maturidiyah. Sebagian ulama memasukkan madzhab aqidah Atsariyah sebagai bagian dari Ahlussunnah.[44]Sedangkan dalam fiqih ada empat madzhab yang diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah

    Wal Jamaah yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

    Madzhab Asy’ariyah adalah Madzhab Salafus Shalih (Salafi)

    Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) menyatakan:  Abul Hasan Al-Asy'ari tidak membuat hal baru dalam agama, dan tidak melakukan bid'ah. Aqidahnya berdasarkan pada pandangan para ulama generasi Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it tabi'in dalam segi ushuluddin dengan tambahan dan penjelasan. Pandangan para ulama tersebut dalam masalah ushuddin adalah benar. Berbeda dengan apa yang diduga oleh ahli hawa nafsu bahwa sebagiannya tidak benar. Al-Asy'ari dalam penjelasannya justru memperkuat argumen dalil yang belum ditunjukkan sebelumnya dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan membantu para ulama sebelumnya seperti Abu Hanifah, Sufyan Al-Tsauri dari Ahli Kufah; Al-Auza'i dan lainnya dari Ahli Syam, Malik dan Al-Syaf'i dari Ahli Haramain.[45]

    Qadhi Iyadh (w. 544 H) menyatakan tentang Imam Asy'ari dan madzhab aqidahnya: Ulama Ahlussunnah di Timur dan Barat mengikuti aqidahnya dan mengikuti manhajnya. Ia dipuji oleh banyak ulama. Mereka memuji madzhabnya.[46]

    Pokok-pokok Aqidah Asy’ariyah

    Secara umum akidah Asy’ariyah sama dengan dua aqidah Ahlussunnah yang lain yang merupakan implementasi dari rukun iman yang enam yang disebut dalam hadits Jibril.[47] Secara garis besar, aqidah Asy’ariyah memiliki ciri khas sebagai berikut:

    Istidlal. Argumen atau dalil yang digunakan Asy'ariyah dalam menyusun konsepnya adalah perpaduan antara naqliyah (nash Al-Quran dan hadits) dan aqliyah yang bersifat saling mendukung pada dalil naqliyah. Bagi Asy'ariyah, nash yang sharih (eksplisit) dan akal yang benar (sahih) tidak akan saling berlawanan.[48]

    Ilmu Kalam. Ulama Asy'ariyah menganggap mempelajari ilmu kalam itu tidak mendesak. Khususnya apabila tidak ada aliran-aliran yang berbeda yang membutuhkan respons dengan memakai ilmu kalam. Inilah juga yang dilakukan oleh kalangan Salafus Soleh yakni para Sahabat dan Tabi'in di mana pada masa mereka tidak ada aliran dan pandangan yang berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jamaah seperti Muktazilah. Sehingga ulama generasi Salaf mengingatkan agar tidak memakai ilmu kalam karena tidak adanya kepentingan dan kebutuhan ke arah itu. Ini menurut pemahahaman Asy'ariyah. Namun setelah jelas muncul sejumlah aliran yang meragukan aqidah Islam secara umum dan wujud Allah dalam aqidah Ahlussunnah secara khusus, maka sejumlah ulama melihat perlunya memakai ilmu kalam untuk menghadapi pendapat-pendapat yang meragukan tersebut.[49]

    Hukum Tahu Aqidah. Umumnya ulama Asy'ariyah berpendapat bahwa memahami aqidah Islam beserta dalilnya secara rinci itu tidak wajib bagi muslim awam. Mereka cukup memahami aqidah secara umum (mujmal). Ini pandangan Imam Ghazali dan sejumlah ulama yang lain. Pandangan ini berbeda dengan Al-Isfirayini.[50]

    Tafwid (Ta'wil Ijmali). Menurut Asy'ariyah, kalangan Salafus Salih yakni generasi Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it tabi'in, berpendapat bahwa mayoritas dari mereka menyikapi ayat dan hadits mutasyabihat dengan cara tafwid atau takwil ijmali. Takwil ijmali adalah memalingkan nash yang mengandung sifat Allah yang menyerupai (mutasyabihat) dengan makhluknya pada makna lain secara ringkas (tidak detail). Misalnya, Allah bersemayam di atas ‘Arsy. (QS Al-Araf 7:54) dimaknai Allah berkuasa atas Arasy.[51] Tafwid menurut Al-Izz bin Abdissalam adalah perilaku generasi Salaf. Sedangkan kalangan pasca-Salaf, lebih cenderung mentakwil karena adanya tuntutan melakukan hal itu sebagai respons pada kalangan ahli bid’ah.[52]

    Takwil Tafshili. Pada dasarnya Asy'ariyah berpegang pada makna zhahir atas suatu nash Quran dan hadits. Namun juga membolehkan memalingkan kata dari makna zhahirnya yang rajih (unggul) pada makna marjuh (makna kedua) apabila ada dalil (qarinah) yang menyertai kata tersebut sehingga dipalingkan dari makna zhahirnya. Sebagai contoh, dalam firman Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (QS Taubat 9:67). Kata Allah melupakan mereka dialihkan maknanya menjadi Allah meninggalkan mereka. Pengalihan arti lupa ke arti meninggalkan karena ada dalil yakni mustahilnya sifat lupa bagi Allah. Dalam hal bolehnya ta'wil, Imam Syafi'i sendiri menyatakan: Sebagian nash Al-Quran mengandung makna yang dari susunan kalimatnya bisa diketahui mengandung arti yang tidak sesuai dengan arti zhahirnya.[53]Adapun mengalihkan kata dari makna zhahirnya tanpa adanya dalil, maka hukumnya tidak boleh.

    Qadha dan Qadar

    Menurut Asy'ariyah, seluruh perbuatan manusia itu terjadi di bawah hukum dan kehendak Allah. Yang terjadi di alam ini, yang baik dan buruk, semua berasal dari Allah. Tidak ada kemungkinan pada terjadinya pertentangan kehendak manusia dengan kehendak Allah. Tidak ada pertentangan dalam kehendak manusia yang gagal dengan kehendak Allah. Allah berkehendak atas kemauan dan kegagalan manusia secara bersamaan. Tidak ada satupun di alam ini yang keluar dari kekuasaan kehendak Allah. Kehendak Allah itu meliputi seluruh perbuatan opsional manusia berdasarkan pada QS Al-Insan 76:30 Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.[54]

    Dilihat dari segi bahwa manusia itu melakukan apa yang mereka lakukan dengan pilihannya sendiri, maka manusia memiliki kebebasan memilih perbuatannya. Namun dari sisi bahwa manusia tidak bisa melakukan perbuatan kecuali yang dikehendaki oleh Allah, maka manusia itu dipaksa atau seakan dipaksa melakukan perbuatannya. Manusia itu berbuat apa yang dia kehendaki, namun ia tidak bisa berkehendak kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Jadi, manusia melakukan apa yang dikehendaki Allah dan apa yang dia kehendaki sendiri secara bersama-sama. Ada penyerahan otoritas pada manusia karena ia dapat melakukan apa yang dia suka. Namun pada waktu yang sama ada paksaan atau serupa paksaan pada diri manusia karena manusia tidak bisa melakukan apapun selain yang dikehendaki Allah. Kombinasi paksaan dengan kebebasan, aturan dengan pilihan, menurut Asy'ariyah, adalah termasuk dari kekhususan kekuasaan (qudrat) Allah. Pandangan ini berdasarkan firman Allah QS An-Nahl 16:93 Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.[55]

    Apabila demikian, lalu apa beda Asy'ariyah dengan Jabariyah dalam soal takdir? Perbedaannya adalah dalam pandangan Jabariyah manusia tidak memiliki kekuasaan (qudrat), kehendak (iradat) dan perbuatan (fi'l) sama sekali. Sedangkan menurut Asy'ariyah, manusia itu bersifat bisa memilih dalam perbuatannya. Di mana perbuatan tersebut bergantung pada kehendak dan pilihan manusia. Kehendak dan pilihan ini, menurut Asy'ariyah, berasal dari Allah. Oleh karena itu, Asy'ariyah memandang bahwa madzhabnya berbeda dengan madzhab Jabariyah dalam soal perbuatan manusia.[56]

    Kontroversi Kitab Al-Ibanah Imam Asy’ari

    Kitab Al-Ibanah fi Ushul al-Diyanah adalah kitab kontroversial yang konon menjadi kitab terakhir sebelum meninggal yang ditulis oleh Abul Hasan Al-Asy'ari. Isi dari kitab ini adalah bahwa Imam Asy'ari telah bertaubat dari cara pandang aqidah Asy'ariyah, seperti takwil dan tafwid, dan kembali ke aqidah Salafus Soleh yakni aqidah yang saat ini dianut oleh Salafi Wahabi. Benarkah demikian?

    Para ulama Asy'ariyah dengan tegas menyatakan bahwa isi kitab Al-Ibanah, kalaupun benar ditulis oleh Imam Asy'ari, maka isinya pasti telah dirubah oleh tangan-tangan jahil, terutama kalangan yang tidak suka pada aqidah Asy’ariyah. Beberapa pandangan ulama Asy’ariyah dan alasanyang mendasari asumsi ini antara lain:

    Gaya penulisan dalam kitab Al-Ibanah sangat berbeda dengan cara yang biasa dipakai oleh Imam Asy'ari dalam berbagai karya-karyanya. Setidaknya ada sebagian isi kitab yang bukan karya Al-Asy’ari.[57]

    Ulama Asy'ariyah memastikan bahwa naskah yang banyak beredar sudah dipalsu (tahrif), dikurangi dan ditambah. Al-Kautsari, dalam komentarnya atas kitab Al-Ikhtilaf fi Al-Lafdz li Ibni Qutaibah, menyatakan: Termasuk dari keanehan pemalsuan kitab adalah pemalsuan (tahrif) yang dilakukan pada sebagian naskah kitab Al-Asy'ari sebagaimana terjadi di hal-hal lain. Dalam naskah versi yang banyak beredar, kitab Al-Ibanah ini juga menyerang Imam Abu Hanifah sebagai mujassimah. Kitab ini telah dicetak dalam empat naskah yang berbeda dengan tahqiq oleh Dr. Fauqiyah Husain. Ketika dibandingkan antara naskah yang ada dengan cetakan Dr. Fauqiyah Husain beserta dua fasal yang dikutip oleh Ibnu Asakir, maka menjadi jelaslah jumlah pemalsuan yang terjadi pada kitab ini.[58]

    Dalam muqaddimah kitab Tabyin Kadzib Al-Muftari, Al-Kautsari mengatakan: "Naskah Al-Ibanah yang dicetak di India adalah naskah yang dipalsu secara serampangan oleh tangan-tangan jahat. Maka wajib mengembalikan cetakan versi asli yang dapat dipercaya."[59]

    Dr. Abdurrahman Badawi menguatkan pandangan Al-Kausari dengan menyatakan: Apa yang dikatakan Al-Kautsari adalah benar bahwa naskah kitab yang dicetak di India telah dipalsu oleh tangan-tangan kotor.[60]

    Syaikh Wahbi Sulaiman Ghawji menegaskan bahwa "kitab Al-Ibanah yang seluruhnya dinisbatkan pada Imam Abul Hasan Al-Asy'ari menggunakan argumen-argumen palsu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari kitab Al-Ibanah yang beredar saat ini tidak sah dinisbatkan pada Imam Asy'ari."[61]

    Aqidah Maturidiyah

    Berdasarkan sebuah hadits sahih yang dikenal dengan sebutan hadits Jibril Nabi bersabda bahwa pilar iman itu ada enam yaitu iman kepada Allah, para malaikat, para Rasul, kitab suci, hari akhir, takdir baik dan buruk.[62] Prinsip enam pilar inilah yang menjadi pedoman Ahlussunnah Wal Jamaah.

    Ahlussunnah Wal Jamaah adalah golongan mayoritas (al-sawad al-azham) muslim dari kalangan ulama dan umat Islam. Istilah Ahlussunnah artinya kalangan yang selalu menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pedoman utama dalam bersyariah. Sedangkan nama al-jama’ah itu sendiri diambil dari sebuah hadits di mana Nabi bersabda: Berpeganglah pada al-jamaah dan hindari perpecahan.[63] Kata al-jamaah dalam hadits ini menurut Al-Hafidz Ibnu Asakir bermakna golongan mayoritas bukan jamaah shalat.[64]

    Ahlussunnah Wal Jamaah generasi awal, yaitu para Sahabat Nabi, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'in, telah mengikuti prinsip enam pilar keimanan ini dengan baik. Itulah sebabnya kalangan yang biasa disebut dengan Salafus Salih ini adalah generasi terbaik Islam[65] sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits Nabi, sebaik-baik masa (abad)[66] adalah masaku, lalu masa setelahku, lalu masa setelahku.[67]

    Munculnya Aqidah Asy’ariah dan Maturidiyah

    Setelah 260 tahun dari hijrah terjadilah bid'ah di bidang aqidah yang dipelopori oleh Muktazilah dan lainnya. Pada saat terjadinya kekacauan ideologis yang dapat mengikis keimanan inilah, maka muncullah dua ulama pembaharu (mujaddid) di bidang aqidah yaitu Abul Hasan Al-Asy'ari (260 H/874 M - 324 H/936 M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (233 H/853 M-333 H/944M). Dengan dalil naqli dan aqli mereka berhasil merespons pandangan Muktazilah dengan sangat baik dan berhasil membawa umat Islam kembali ke dalam aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Salih. Oleh karena itulah, maka nama atau istilah Ahlussunnah Wal Jamaah dinisbatkan atau diidentikkan pada kedua ulama ini. Ketika istilah Ahlussunnah diucapkan, maka hanya ada dua kemungkinan yaitu pengikut aqidah Asy'ariyah atau pengikut Maturidiyah atau keduanya.[68]

    Maturidiah dan Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis, di mana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.[69]

    Perbedaan Pengikut Berdasarkan Madzhab Fiqih

    Apabila Asy’ariyah banyak diikuti oleh penganut madzhab fiqih Maliki, Syafi’i dan sebagian Hanbali, maka Maturidiyah diikuti oleh penganut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, penyebaran pengikut Maturidiyah itu sebanding dengan jumlah penganut madzhab Hanafi yang umumnya terdapat di negara India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, China, kawasan negara Balkan, dan sejumlah negara muslim di kawasan Kaukasus yaitu negara di kawasan yang berbatasan dengan Eropa Timur dan Asia Barat seperti Armenia, Azerbaijan, Iran, Turkmenistan, Kazakhstan, Georgia, Russia dan Turki.

    Oleh karena itu, walaupun aqidah Maturidiyah hanya diikuti oleh penganut madzhab fikih Hanafi saja, namun secara kuantitas memiliki jumlah terbesar. Karena, pengikut madzhab Hanafi merupakan madzhab fikih dengan penganut terbesar di banding tiga madzhab yang lain.[70]

    Perbedaan antara aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah

    Dalam hal-hal yang prinsip terkait enam pilar keimanan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak ada perbedaan yang mendasar.  Kalaupun ada, maka itu lebih kepada perbedaan dalam masalah detail. Berikut beberapa perbedaan di antara keduanya:

    Asyariah berpendapat bahwa beruntung dan celaka itu sudah tertulis dan tidak bisa berubah, sedangkan Maturidiyah berkeyakinan bahwa bahagia yang tertulis di Lauhul Mahfudz itu dapat berganti menjadi celaka apabila dia melakukan perbuatan dosa, begitu juga sebaliknya.

    Asy'ariyah berpendapat bahwa irodat (berkehendak) itu ditetapkan oleh ridha sedangkan ridha tidak menetapkan adanya iradat artinya keduanya tidak saling menetapkan. Karena, kekufuran itu tidak diridhai sementara itu ridha dikehendaki oleh Allah. Menurut Maturidiyah, iradat dan ridha itu dua hal yang sama.

    Menurut sebagian Asy'ariyah, imannya orang yang taqlid (muqallid) itu tidak sah, sedangkan menurut Maturidiyah hukumnya sah.

    Perbuatan manusia menurut Asy'ariyah adalah perbuatan yang bersifat majazi, bukan hakiki. Yang hakiki adalah dari Allah. Sedangkan menurut Maturidiyah, perbuatan manusia adalah perbuatan hakiki.

    Allah menyiksa orang yang taat, jaiz atau tidak? Baik Asy'ariyah dan Maturidiyah menyatakan bahwa hal itu tidak jaiz dan tidak akan terjadi secara syariah. Namun, secara aqliyah keduanya berbeda pendapat: (a) menurut Asy'ariyah secara aqli itu bisa saja dan itu tidak disebut zalim; sedangkan menurut Maturidiyah itu tidak mungkin terjadi baik secara syariah maupun aqliyah.

    Makrifatullah itu wajib secara syariah menurut Asy'ariyah, dan wajib secara aqliyah menurut Maturidiyah.

    Sifat perbuatan seperti penciptaan, pemberian rizqi, menghidupkan apakah qadim atau hadits (baru)? Menurut Asy'ariyah itu hadits, sedangkan menurut Maturidiyah itu qadim.

    Kalamullah yang berdiri dengan dzatnya sendiri itu bisa didengar atau tidak? Menurut Asy'ariyah bisa didengar, sedangkan menurut Maturidiyah tidak bisa didengar karena bukan dari jenis huruf dan suara.

    Taklif (memaksa) pada perkara yang tidak mampu dilakukan seorang hamba menurut Asy'ariyah hukumnya jaiz, sedangkan menurut Maturidiyah tidak jaiz.

    Nabi maksum dari dosa besar saja, ini menurut Asy'ariyah. Sedangkan menurut pandangan Maturidiyah, para Nabi itu maksum dari dosa besar dan kecil.[71]

    Al-Azhar Mengakui Keduanya sebagai Aqidah Ahlussunnah

    Terlepas dari adanya sedikit perbedaan yang terjadi antara aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, namun Universitas Al-Azhar (Jamiah Al-Azhar) menyatakan bahwa keduanya diakui sebagai aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah yang benar. Syeikh Al-Azhar, Dr. Ahmad Tayyib, menyatakan: Aqidah Al-Azhar mengikuti aqidah Imam Al-Asy'ari dan Imam Al-Maturidi; berfiqih dengan fiqih madzhab empat dan bertasawuf dengan tasawuf Imam Al-Junaid.[72]

    Al-Azhar Tidak Mengakui Salafi Wahabi sebagai bagian Ahlussunnah

    Universitas Al-Azhar, sebagai lembaga rujukan Ahlussunnah Wal Jamaah seluruh dunia,[73] tidak mengakui adanya aqidah tauhid lain selain Asy’ariyah dan Maturidiyah. Artinya, Al-Azhar  tidak menganggap aqidah Salafi Wahabi yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah.  Sikap ini kembali ditegaskan dalam muktamar Ahlussunnah yang diadakan di Grozny, Chechnya pada Agustus 2016.

    Dalam muktamar yang bertema Man Hum Ahlussunnah Wal Jamaah (Siapa Ahlusunnah Wal Jamaah?) dan dihadiri oleh Syaikhul Azhar Dr. Muhammad Tayyib dan para ulama yang lain itu dinyatakan kembali bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah adalah penganut Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam aqidah, pengikut madzhab empat dalam fiqih, dan penganut tasawuf yang bersih dalam segi ilmu, akhlak dan tazkiyah.[74] Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan  dan patut disyukuri bahwa sampai saat ini kita masih tetap menjadi bagian dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yang merupakan golongan Al-Sawadul A’zham atau kelompok mayoritas umat Islam.[]

    Aqidah Ahlul Hadits (Al-Atsariyah)

    Selain aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, sebagian ulama menganggap ada satu lagi aqidah yang dianggap termasuk dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Yaitu, aqidah Al-Atsariyah yang banyak dianut oleh pengikut madzhab fiqih Hanbali. Hal ini tidak mengejutkan mengingat pendiri pemikiran teologi ini adalah Ahmad bin Hanbal yang juga pendiri dari madzhab fiqih Hanbali. Al-Safarini, seorang ulama madzhab Hanbali, menyatakan: Ahlussunnah Wal Jamaah (secara aqidah) ada tiga golongan yaitu: Al-Atsariyah, imamnya adalah Ahmad bin Hanbal. Al-Asy'ariyah, imamnya Abul Hasan Al-Asy'ari, dan Al-Maturidiyah imamnya Abu Manshur Al-Maturidi.[75] Aqidah al-atsariyah disebut juga dengan Hanabilah atau ahlul hadits.

    Tajuddin Al-Subki, ulama madzhab Syafi’i, juga memasukkan aqidah Al-Atsariyah sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah:  Ahlussunnah Wal Jamaah semuanya sepakat pada satu aqidah terkait perkara yang wajib, mubah dan mustahil. Walaupun mereka berbeda dalam detail. Secara umum mereka ada tiga golongan. Yaitu, Ahlul hadits yang mendasarkan pada dalil sam'iyah yakni Al Quran, Al-Sunnah dan ijmak. Asy'ariyah dan Hanafiyah yang mendasarkan pada pandangan akal dan pemikiran. Guru Asy’ariyah adalah Abul Hasan Al-Asy’ari sedangkan guru Hanafiyah adalah Abu Manshur Al-Maturidi.[76]

    Hamad Sinan dan Fauzi Anjazi juga menyatakan bahwa istilah Ahlussunnah Wal Jamaah itu mengacu pada manhaj salafus salih yang berpegang pada Al-Quran, sunnah Rasul dan atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para Sahabat untuk membedakan dari madzhab ahli bid'ah dan ahlul ahwa'. Ketika istilah ini disebut dalam kitab-kitab para ulama maka yang dimaksud adalah Asy’ariah, Maturidiyah dan Ahli Hadits (atau Atsariyah).[77]

    Pelopor Aqidah Atsariyah: Ahmad bin Hanbal

    Keberadaan aqidah atsariyah atau ahli hadits tak lepas dari inisiatif pencetusnya yaitu Ahmad bin Hanbal. Walaupun pengikutnya mengklaim bahwa aqidah Ahlul Hadits ada sejak dulu dan diikuti oleh kalangan Salafus Salih[78] namun faktanya adalah bahwa aqidah ini secara konsep dibuat oleh Ahmad bin Hanbal.

    Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani Al-Dzahali. Lahir di Baghdad, Irak pada 164 H atau 780 M. Ia seorang ulama sangat berpengaruh pada zamannya dan dikenal dengan karakter yang mulia seperti rendah hati, sabar dan toleran. Ia sering dipuji oleh banyak ulama termasuk yang terkenal pujian dari Imam Syafi'i yang menyatakan: Aku keluar dari Baghdad dan aku tidak meninggalkan seseorang yang lebih wara' dan lebih ahli fiqih dari Ahmad bin Hanbal.[79]

    Selain dikenal sebagai pencetus aqidah Atsariyah atau Ahlul Hadits, ia juga dikenal sebagai pendiri madzhab fiqih Hanbali. Tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa ia lebih dikenal karena yang terakhir daripada yang pertama. Hal ini bisa dimaklumi karena aqidah Atsariyah hanya dikenal di kalangan terbatas. Ini berbeda dengan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah yang memiliki penganut terbanyak dari kalangan ulama dan awam.[80]Ahmad bin Hanbal wafat pada 241 H atau 855 M.

    Ciri Khas Aqidah Atsariyah

    Pada dasarnya prinsip utama dari aqidah Atsariyah dalam masalah tauhid tidak berbeda dengan dua aqidah Ahlussunnah yang lain yakni rukun iman yang enam. Yang berbeda adalah dari segi penafsiran detail terutama terkait cara memahami sifat-sifat tambahan Allah (sifat khobariyah) yang disebut dalam Al-Quran dan hadits. Seperti tangan, mata, bertempat tinggal, dan lain-lain. Berikut beberapa poin penting dalam aqidah atsariyah:

    Keesaan Allah (Tauhid)

    Percaya akan keesaan Allah artinya:

    Percaya bahwa Allah adalah Tuhan dan pencipta alam ini satu-satunya.

    Percaya bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang telah ditetapkan untuk diri-Nya sendiri yang tersebut dalam Al-Quran dan hadits.

    Menetapkan semua nama dan sifat Allah tersebut dan wajib mengimani semuanya secara apa adanya tanpa mentakwil dan tasybih.[81]

    Meyakini bahwa sifat dan nama Allah tidak menyerupai apapun dari sifat-sifat makhluk.[82]

    Takdir

    Aqidah Atsariyah atau Ahli Hadits mengimani takdir baik dan buruk berasal dari Allah dan meyakini semua tingkatannya:

    Ilmu. Bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang bersifat azali yang meliputi semua hal. Allah tahu apa yang sudah terjadi, yang akan terjadi dan yang belum terjadi. Apabila terjadi bagaimana itu bisa terjadi.

    Kitab (buku catatan). Mengimani bahwa Allah yang pertama menciptakan kitab dan pena. Lalu menyuruhnya untuk menulis takdir makhluk sampai hari kiamat tiba. Lalu pena (al-qalam) menulis takdir itu di Lauh Mahfudz.

    Kehendak Allah (al-masyi'ah). Allah memiliki kehendak. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak terjadi peristiwa kecil atau besar kecuali dengan kehendakNya.

    Kehendak Allah itu ada dua yaitu kehendak alam (al-masyi’ah al-kauniyah) dan kehendak syariah (al-masyiah al-syar'iyah). Yang dikehendaki Allah secara alam akan diciptakan Allah sama saja hal baik atau buruk. Sedangkan kehendak Allah yang bersifat syariah maka Allah memerintahkan dan mengajak pada hambaNya, sama saja dilakukan atau tidak.

    Penciptaan (al-khalq). Yang dikehendaki Allah untuk diciptakan, maka Ia menciptakannya pada masa yang diketahui. Sebagian ulama Atsariyah menyatakan bahwa beda antara qadha dan qadar adalah makhluk. Yakni, apa yang diketahui Allah lalu menulisnya dan berlakulah kehendakNya, maka itu adalah qadar. Sedangkan apa yang diciptakan oleh Allah itu adalah qadha.[83]

    Iman

    Ulama aqidah Atsariyah sepakat terkait masalah iman bahwa:

    Iman adalah ucapan dengan lisan dan ikhlas dengan hati, dan mengamalkan dengan raga. Iman meningkat dengan bertambahnya amal dan iman menipis dengan berkurangnya amal.

    Ucapan iman tidak sempurna kecuali dibarengi dengan amal. Dan tidak ada ucapan dan perbuatan kecuali dengan niat. Dan tidak ada ucapan, perbuatan dan niat kecuali sesuai dengan sunnah.

    Muslim tidak kufur sebab perbuatan dosa yang dilakukannya.

    Iman itu ada yang pokok dan ada yang tingkat cabang. Iman tidak hilang kecuali dengan hilangnya yang pokok. Oleh karena itu, Atsariyah tidak mengafirkan seorang muslim karena dosa dan maksiat yang dilakukannya kecuali apabila hilang iman yang pokok.[84]

    Sahabat

    Atsariyah atau Ahlul Hadits memiliki pandangan tentang Sahabat Nabi sebagai berikut:

    Sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, kemudian 10 Sahabat yang dijamin masuk surga.

    Istri-istri Nabi adalah ummahat al-mukminin (ibunda kaum mukminin).

    Istri-istri Nabi adalah istri Nabi di akhirat terutama Khadijah dan Aisyah.

    Sahabat tidak maksum, dalam arti bisa saja melakukan dosa.

    Sahabat dianggap maksum dalam segi kesepakatan (ijmak) pendapat mereka saja.

    Tidak berkomentar tentang perselisihan di antara Sahabat. Para Sahabat adalah mujtahid yang perselisihannya dimaafkan, sama saja apabila salah atau benar.

    Para Sahabat secara umum adalah manusia terbaik setelah para Nabi.[85]

    Beda Aqidah Atsariyah dan Salafi Wahabi

    Apabila aqidah Hanabilah atau Atsariyah termasuk dari tiga aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, maka tidak demikian dengan aqidah Salafi Wahabi. Walaupun pengikut aqidah Wahabi berasal dari pengikut madzhab Hanbali secara fiqih dan Atsariyah secara aqidah, namun di bawah kepemimpinan Ibnu Taimiyah mereka sengaja atau tidak sengaja telah membentuk madzhab dan akidah sendiri yang disebut dengan aqidah Salafi.[86] Akidah gerakan salafi yang ditentang oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ was sifat. Pembagian tauhid menjadi tiga ini, oleh sebagian ulama Aswaja, dianggap sebagai cara kaum Salafi untuk mengkafirkan kalangan Ahlussunnah atau siapapun yang tidak mengikuti manhajnya.[87]

    Setelah munculnya Muhammad bin Abdil Wahab pada abad ke-18 masehi atau abad ke-12 hijriyah aliran Salafi lebih dipertajam dalam segi ekstrimitasnya menjadi aliran Wahabi Salafi.  Selain doktrin tiga tauhid di atas, Ibnu Abdil Wahab menambahnya dengan 10 pembatal keislaman di mana pelakunya dianggap kafir dan halal darahnya baik melanggar secara sengaja atau tidak. 10 pembatal keislaman ini menjadi doktrin yang digunakan ISIS dalam membunuh sesama muslim.[88]

    Oleh karena itu, Dr. Ahmad Tayyib, Syeikh Al-Azhar, institusi yang menjadi rujukan muslim Ahlussunnah Wal Jamaah, menegaskan bahwa Aliran Salafi Wahabi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah: Gerakan Salafi yang baru adalah 'kaum Khawarij abad ini'. Mayoritas muslim tidak mengikuti madzhab Salafi. Karena, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pengikut salah satu dari madzhab empat yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi atau Hanbali dari segi fiqih. Dan pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dari segi aqidah. Sedangkan Salaf atau Salafiyah bukanlah madzhab (yang diakui).[89]

    Dalam kesempatan lain, Syeikh Ahmad Tayyib menyatakan bahwa kata salaf tidak disebut dalam Al-Quran kecuali dalam satu tempat itupun dalam konotasi negatif (QS An-Nisa 4:22-23). Begitu juga, kata salaf tidak disebut dalam hadits Nabi. Misalnya, tidak ada hadits yang menyatakan bahwa Apabila terjadi perbedaan pendapat maka berpeganglah pada madzhab salaf! Yang ada adalah hadits yang menyatakan: Apabila terdapat perbedaan di antara kalian, maka berpeganglah pada jamaah.[90]

    Pernyataan Syeikh Al-Azhar di atas semakin dikukuhkan dengan resolusi Muktamar Ahlussunnah Wal Jamaah se-Dunia  yang diadakan di Grozny, Chechnya. Muktamar yang diadakan pada 25 sampai 27 Agustus 2016 tersebut menyatakan, antara lain, bahwa:

    Ahlussunnah Wal Jamaah adalah yang beraqidah Asy'ariyah, Maturidiyah dan sebagian Ahlul Hadits dan secara fikih mengikuti madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dan dalam bertasawuf mengikuti tasawuf yang bersih secara ilmu dan akhlak mengikuti tarekat Imam Al-Junaid dan yang sejalan dengannya.

    Mengeluarkan aliran ekstrim dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Seperti Khawarij zaman dulu, dan Khawarij zaman sekarang yakni Salafi Takfiri, gerakan ISIS (Islamic State in Iraq and Sham), dan gerakan ekstrim lain yang mudah mengafirkan dan menghalalkan darah sesama muslim.[91]

    Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa aqidah Ahlul Hadits atau aqidah Atsariyah atau Hanabilah sama sekali berbeda dengan aqidah Salafi Wahabi. Sementara yang pertama diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah, yang terakhir dianggap telah keluar dari Aswaja karena doktrin intoleran pada sesama muslim.[]

    Fiqih Madzhab Empat

    Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa penganut Ahlussunnah Wal Jamaah adalah mereka yang secara aqidah mengikuti Asy’ariyah dan secara fiqih menganut salah satu madzhab empat.[92]Yang dimaksud madzhab empat adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Madzhab fiqih yang empat ini adalah kelanjutan dan intisari dari fiqih yang dianut oleh para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it tabi'in. Pada awal munculnya keempat madzhab ini, ada dua metode pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang populer yaitu metode pemikiran (ahl al-ra'yi) dan analogi (ahl al-qiyas). Pelopornya adalah Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H/767 M) dan ulama pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Ahlul Iraq.[93]

    Kedua, metode ahlul hadits yang menjadi metode ulama Hijaz (Ahlul Hijaz). Sistem ini dipelopori oleh Malik bin Anas (w. 176 H/795 M). Setelah Anas bin Malik, muncul Muhamad bin Idris Al-Syafi'i (w. 204 H/820 M)  yang pada awalnya berfiqih dengan metode Ahlul Hadits. Kemudian setelah Imam Syafi'i pindah ke Irak, lalu berguru pada ulama pengikut Abu Hanifah, maka ia mengombinasikan dua metode istinbat hukum yaitu metode Ahlul Hadits dan metode Ahlul Hijaz. Setelah itu, muncullah Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), seorang ahli hadits (muhaddits) yang banyak mengambil dan meriwayatkan hadits dari Imam Syafi'i dan mengikuti madzhab Syafi'i. Pada akhirnya, Ahmad bin Hanbal membuat madzhab sendiri yang dikenal dengan madzhab Hanbali.[94] Keempat madzhab ini dalam segala aspeknya, mulai dari produk hukum yang sudah dibuat sampai metode pengambilan hukum baru, kemudian menjadi rujukan para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah sejak awal berdirinya sampai saat ini.

    Madzhab Hanafi

    Madzhab Hanafi adalah madzhab fiqih pertama dari tiga madzhab yang lain. Oleh karena itu, tidak heran apabila madzhab ini menjadi madzhab fikih yang paling banyak pengikutnya dan paling luas jangkauan geografisnya di dunia. Walaupun disebut madzhab Hanafi, merujuk pada nama pendirinya, namun produk hukum fiqih yang dibuat bukan hanya ijtihad Abu Hanifah, tapi juga hasil ijtihad para ulama lainnya. Abu Hanifah termasuk dari ahli fiqih dari kalangan Tabi’in.

    Abu Hanifah dan ulama madzhab Hanafi setelahnya dianggap sangat berjasa dalam mempelopori kodifikasi (pembukuan) ilmu syariah dan menyusunnya dalam sejumlah bab secara sistematis. Aktifitas ini kemudian diteruskan oleh Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam kitab Al-Muwatta'. Dianggap perintis pembukuan kitab fikih karena aktifitas pembukuan ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat dan Tabi'in. Kalangan Sahabat dan Tabi'in tidak mencatatnya karena mereka mengandalkan pada kekuatan hafalan. Kenyataan ini yang membuat Imam Abu Hanifah khawatir akan hilangnya sumber utama syariah Islam. Lalu disusunlah kitab syariah dalam bentuk yang sistematis dan tersusun rapi mulai dari bab taharah (bersuci), bab shalat, bab puasa, bab zakat, dan masalah ibadah lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan bab muamalah sampai bab hukum waris. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh kalangan ulama fikih setelahnya.[95]

    Madzhab Hanafi diikuti oleh umat Islam di sejumlah negara yaitu Turki, Balkan, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Mesir, sebagian Irak, Kaukasus, sebagian Rusia, Turkmenistan, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Uzbekistan, Afghanistan, Pakistan, sebagian kawasan India, Cina dan Bangladesh.[96]

    Adapun metode pengambilan hukum (istinbat al-hukm) dari madzhab Hanafi ada tujuh yaitu: Al-Quran, hadits, ijmak, pendapat Sahabat, qiyas, istihsan dan uruf (tradisi).[97]

    Madzhab Maliki

    Madzhab Maliki adalah madzhab fiqih kedua dalam segi senioritas. Madzhab ini muncul pada abad kedua hijriah. Diperkirakan 35 persen muslim Ahlussunnah Wal Jamaah mengikuti madzhab Maliki. Mereka tersebar di sejumlah kawasan seperti Afrika utara meliputi negara Aljazair, Sudan, Tunisia, Maroko, Libia, Mauritania, sebagian Mesir, dan Eritria. Juga terdapat di kawasan negara jazirah Arab seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait dan sebagian Arab Saudi, Oman, dan negara lain di Timur Tengah. Madzhab ini juga tersebar di sejumlah negara Afrika barat seperti Senegal, Mali, Niger, Chad, Nigeria Utara. 

    Sumber rujukan dalam pengambilan hukum (istinbat al-hukm) pada madzhab Maliki ada 11 yaitu Al-Quran, hadits, ijmak ulama, perilaku muslim Madinah, ucapan Sahabat, syariah para Nabi sebelum Nabi Muhammad, masalih mursalah (berdasarkan kemaslahatan), istihsan (pendapat berdasarkan dalil terkuat), sadd al-dzarai' (melarang hal yang menjadi penyebab keharaman), dan istishab (menetapkan hukum pada asalnya).[98] Ini menunjukkan bahwa madzhab Maliki memakai metode gabungan antara aqli dan naqli dalam berijtihad atau membuat produk hukum Islam.

    Madzhab Syafi’i

    Fiqih madzhab Syafi'i dianut di sejumlah negara di seluruh dunia. Mulai dari Suriah, Libanon, Mesir, Indonesia, Malaysia, Afrika timur, India selatan. Madzhab ini dianut mayoritas penduduk di negara Yaman. Dan tersebar di sebagian kawasan Arab Saudi seperti Hijaz, Tihamah, Ahsa, Jazan. Juga, di kawasan Irak tengah dan Kurdistan dan sebagian kawasan Iran, Oman selatan dan negara-negara kaukasus seperti Dagestan dan Chechnya. [99]

    Sumber rujukan dalam metode pengambilan hukum (istinbat al-hukm) dalam madzhab Syafi'i ada lima yaitu Al-Quran, hadits, ijmak, ucapan Sahabat dan qiyas (analogi). Metode ini dikenal sebagai kombinasi antara ahlul Iraq-nya madzhab Hanafi dan ahlul Hijaz-nya madzhab Maliki.[100]

    Madzhab Hanbali

    Madzhab Hanbali adalah madzhab termuda di antara keempat madzhab fiqih Aswaja. Oleh karena itu, tidak heran apabila pengikut madzhab ini secara kuantitas dan jangkauan geografis paling sedikit. Madzhab ini hanya tersebar di Najed, Teluk Arabia, Mesir dan kawasan Syam (Suriah, Libanon, Irak, Yordania).

    Menurut Al-Tsaqafi, ada beberapa faktor mengapa pengikut madzhab Hanbali sangat sedikit. Antara lain,

    Lokasi penyebaran sudah ditempati tiga madzhab lain yang lebih dulu ada.

    Ulama madzhab Hanbali tidak ada yang menjadi qadhi (hakim). Sedangkan produk hukum hasil keputusan para hakim memiliki kontribusi signifikan pada tersebarnya suatu madzhab fiqih.

    Madzhab Hanbali terlalu keras, untuk tidak mengatakan radikal terutama pada kalangan muslim yang mereka sebut sebagai ahlul bid'ah. Sikap kaku ini dipengaruhi antara lain dengan prinsip sadd al-dzarai’(mencegah penyebab keharaman);

    Ulama Hanbali yang sampai pada derajat Imamah tidak mau aktif tampil dan menduduki jabatan tertentu di pemerintahan, justru malah menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.[101]

    Adapun metode rujukan dalam pengambilan hukum madzhab Hanbali mirip dengan madzhab Syafi'i dan madzhab Maliki yaitu: Al-Quran, hadits, ijmak, fatwa Sahabat, istishab, masalih mursalah, dan sadd al-dzarai'.

    Perbedaan Pendapat (Khilafiyah) adalah Rahmat

    Dengan adanya sejumlah perbedaan dalam metode pengambilan hukum antara keempat madzhab, maka tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan pada produk hukum yang dihasilkan walaupun ada pula yang sepakat. Kesepakatan antarmadzhab disebut ijmak. Seperti wajibnya shalat, jumlah rakaat shalat lima waktu, haramnya zina, dan lain-lain. Sedangkan perbedaan antarmadzhab disebut ikhtilaf al-ulama. Seperti cara menyucikan najis. Bahkan tentang status najisnya anjing itu sendiri masih menjadi perbedaan ulama madzhab empat.

    Perbedaan pendapat di antara ulama madzhab empat adalah biasa. Bahkan, perbedaan itu menjadi rahmat bagi muslim awam sehingga mereka bisa memilih pendapat yang dapat memberikan solusi pada masalah yang dihadapi sehari-hari. Ibnu Qudamah, seorang ulama madzhab Hanbali, menyatakan dalam muqaddimah kitab Al-Mughni: Kesepakatan ulama menjadi hukum yang pasti, sedangkan perbedaan ulama menjadi rahmat yang luas.[102]

    Dengan kata lain, dalam hukum fiqih kebenaran itu tidak tunggal. Empat pendapat yang berbeda dari para ulama yang ahli di bidangnya bisa jadi sama-sama benar. Seperti kata Imam Syafi’i: Pendapatku benar tapi mungkin saja salah. Pendapat orang lain salah tapi bisa saja benar.[103] Pemahaman bahwa kebenaran itu tidak tunggal perlu selalu menjadi catatan kita agar kita bisa lebih toleran terhadap perbedaan. Baik berbeda dalam syariah maupun aqidah.[]

    Tasawuf

    Murtadha Al-Zabidi dalam Syarah Ihya’menegaskan bahwa tasawuf adalah bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Al-Zabidi menyatakan: Yang dimaksud dengan Ahlussunnah ada empat golongan yaitu Al-Muhaddits, tasawuf, Asy'ariyah dan Maturidiyah.[104]Pernyataan Al-Zabidi ini terkesan bahwa tasawuf adalah salah satu aqidah sebagaimana aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Padahal maksudnya tidak demikian. Al-Zabidi hanya ingin menyatakan bahwa penganut tasawuf tetaplah seorang muslim dan tidak keluar dari koridor Ahlussunnah Wal Jamaah. Karena, dari segi akidah seorang sufi bisa saja berakidah Hanabilah atau Ahlul Hadits seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, sementara sebagian yang lain beraqidah Asy'ariyah seperti Imam Ghazali.[105]

    Tasawuf bukan madzhab aqidah atau fiqih. Ia merupakan implementasi dari pilar agama (arkan al-din) yang ketiga yaitu ihsan.[106] Dalam hadits dari Sahabat Umar bin Khattab Rasulullah ditanya malaikat Jibril tentang tiga pilar agama yaitu Islam, iman dan ihsan.[107] Ihsan, jawab Rasulullah, adalah menyembah Allah seakan engkau melihatNya walaupun engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Ia melihatmu.[108]

    Definisi Tasawuf

    Ulama sufi mendefinisikan tasawuf atau tarekat dalam beberapa pengertian yang berbeda-beda. Berikut beberapa di antaranya:

    Tasawuf adalah mengamalkan ilmu. Seandainya para fuqaha (ahli fikih) mengamalkan ilmu mereka, maka itu sudah cukup (dianggap sufi).[109]

    Tasawuf adalah membuang akhlak tercela dan menanamkan akhlak terpuji (al-takhliyah wa al-tahliyah).[110]

    Tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Siapa yang meningkat akhlaknya, maka berarti meningkat kualitas tasawufnya.

    Dr. Nuh Salman menyimpulkan bahwa apabila tasawuf dimaknai seperti di atas, maka ia adalah sistem pendidikan untuk mempraktikkan hukum syariah yang zhahir dan batin. Metode pendidikan bisa berbeda secara zhahirnya namun tujuannya tetap satu. Apabila tasawuf difahami demikian, maka tasawuf adalah baik dan berkah dan mengamalkan perintah Islam. Tidaklah penting lagi darimana kata tasawuf itu berasal.[111]

    Hukum Tasawuf

    Hukum boleh tidaknya tasawuf atau tarekat adalah berdasarkan pada parameter syariah Islam. Sepanjang tidak berlawanan dengan syariah Islam, maka amaliah tasawuf tidak ada masalah. Ulama sufi sepakat bahwa tasawuf harus komitmen pada syariah. Imam Al-Junaid, imam para sufi, berkata: "Semua jalan (tarekat) itu akan tertutup bagi makhluknya kecuali bagi orang yang mengikuti langkah Rasulullah. Barangsiapa yang tidak mengikuti Al-Quran dan hadits

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1