Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Hanya $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Crying Rose
Crying Rose
Crying Rose
eBook141 halaman1 jam

Crying Rose

Penilaian: 3.5 dari 5 bintang

3.5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Khanza diajak bertunangan oleh sahabatnya Hendrik. tentu saja Khanza merasa senang. mereka berjanji akan menikah di London karena Hendrik tahu sahabatnya Khanza sangat menyukai sungai Thames dan Big Ben. Rupanya, Khanza ditipu. Di atas sungai Thames, Hendrik menikah dengan Iren, yang ternyata adalah sahabatnya sendiri. dan rupanya Iren tidak mengetahui latar belakang Hendrik. Tentu saja Khanza sangat kecewa. tapi, demi kebaikan sahabatnya, Khanza tetap membiarkan kejahatan dan kesalahan Hendrik menetap dalam kegelapan.

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis12 Jan 2015
ISBN9781310230639
Crying Rose
Penulis

Rifqi Mahdi Saindra

I'm an Indonesian who like to write so much. My adventure in writing begun when I was 13 years old. I wrote many stories in many notebook. But, the first time I publish my very own E-book is when I joined Smashwords. And, I also would like to thank all of the reader who read my books. without you, I'm absolutely no one. thank you for your great support these years.

Penulis terkait

Terkait dengan Crying Rose

E-book terkait

Romansa untuk Anda

Lihat Selengkapnya

Ulasan untuk Crying Rose

Penilaian: 3.5 dari 5 bintang
3.5/5

6 rating1 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

  • Penilaian: 4 dari 5 bintang
    4/5
    i like it..

Pratinjau buku

Crying Rose - Rifqi Mahdi Saindra

Chapter 1

Mawar yang Menangis

Dia berdiri disana. Dibawah cahaya bulan purnama. Dia menangis tanpa suara. Aku meyakininya. Dia terlihat sangat bersedih. Air mata turun dari bola mata coklat indahnya. Bahkan dia tampak tidak merasakan air mata jatuh membasahi gaun mahalnya. Tidak ada yang memperhatikan. Hanya aku, angin dan malam. Juga Big Ben

Aku tidak tahu siapa dia. Aku juga tidak tahu darimana dia berasal. Lagipula, sekarang ini musim semi. Setahuku, tidak ada orang yang benci musim semi. Taman dipenuhi bunga bermekaran yang harumnya dapat dirasakan dalam radius ratusan meter dan angin lembut yang membelai rambutmu. Nah, kalau orang ini menangis, aku ingin tahu kenapa. Pasti ada yang tidak beres. Apapun itu.

Bagaimanapun, naluriku sebagai seorang fotografer seolah mengambil alih. Aku melakukan hal yang mestinya memang aku lakukan. Aku mengambil gambarnya dari setiap sudut. Tentu saja hal itu mudah bagiku. Karena saat ini aku membawa lensa tele yang cukup besar.

Ekspresi wanita ini benar-benar alami. Aku belum pernah melihat kesedihan semacam itu sebelumnya. Entah siapa yang telah membuatnya menangis seperti itu. Aku jadi kesal sendiri. Siapa sih orang yang tega melukai perasaan wanita berparas ayu nan anggun ini? Kalau aku tahu orangnya, aku mungkin akan memukul wajahnya keras-keras.

Oh iya. Ngomong-ngomong, perkenalkan, namaku Efriadi Nugroho. Teman-teman di tempatku bekerja biasa memanggilku Adi. Aku merupakan salah satu fotografer sepak bola untuk harian Sports Daily. Walaupun aku fotografer, jangan samakan aku dengan Peter Parker ya. Haha.

Tadinya aku ingin mendekati orang itu. Tapi rupanya temanku menahanku. Mengambil gambar? tanyanya. Dia adalah pria dengan umur sekitar 25 tahun. Lebih tua satu tahun dari umurku saat ini. Rambutnya dipotong pendek. Dan dia selalu mengenakan jaket kulit kemanapun dia pergi.

Iya. Kau tahu kegiatanku kalau malam hari, kan?

Tentu, sobat. Bisa kulihat gambarnya? Oh iya. Ini. Aku bawa secangkir kopi untukmu. Nikmatilah selagi masih hangat.

Terima kasih. Aku memberikan kameraku padanya, dan segera menikmati kopi hangat itu.

Luar biasa! Seru temanku. Dia memang agak sensasional sih. Sudah berkali-kali dia hampir membuat jantungku keluar dari tempatnya.

Ada apa lagi, Roman?

Foto ini luar biasa. Darimana kau mendapatkannya?

Dari sini. Ujarku singkat.

Lalu orangnya?

Disana. Aku menunjuk ke satu arah.

Dimana? Tidak ada orang disana, Adi.

Disan...a Saat aku melihat titik tempat si gadis tadi berdiri, aku tidak menemukan apapun. Hanya satu unit kapal Silver Sturgeon di atas sungai Thames. Dia lenyap.

Nah. Benar, kan. Tidak ada.

Iya. Tapi tadi dia ada disana.

Mungkin kau butuh istirahat. Roman memberikan kamera besar itu padaku. Tapi tetap saja. Foto-foto yang kau ambil itu luar biasa. Dia bangkit dan menepuk-nepuk celananya. Nah. Aku pergi dulu ya. Aku harap kau siap untuk hari esok

Cahaya matahari pagi menerangi kamarku. Seperti biasa, sinarnya yang masih mengandung vitamin E membangunkanku. Setelah meregangkan badan, aku menatap jalanan. Masih sepi. Banyak orang yang berlari pagi itu. Aku melihat beberapa orang sedang bersih-bersih di depan bangunan berwarna putih itu. Ada juga beberapa keluarga yang jogging bersama.

Secangkir teh hangat dan sepiring pan cake sudah mengisi perutku. Menu sarapan yang sebenarnya bukan pilihan utamaku. Biasanya, aku lebih memilih membuat sendiri nasi goreng dengan bumbu yang biasa kubeli di minimarket. Tapi, beginilah hidupku sebagai wartawan dan fotografer olah raga. Selalu dikejar waktu.

Ducati Monster menemaniku ke kantor hari ini. Tapi, entah kenapa, sepanjang perjalanan, kepala dan pikiranku hanya diisi oleh wanita yang aku ambil gambarnya tadi malam. Dia tampak begitu anggun, begitu tenang dan begitu lembut. Aku tidak menyangka ada orang yang tega melukai hatinya.

Akhirnya kau datang, Adi. Roman. Sahabat sekaligus senior ku di Sports Daily menyambutku bahkan sebelum aku melangkahkan kaki ke lobby kantorku. Kuakui. Cukup sulit untuk menghubungimu pagi ini.

Roman menghubungi aku? Langsung kuperiksa handphone tipisku. Astaga. Ada sebelas panggilan masuk yang tak terjawab. 10 diantaranya dari Roman. Maaf. Aku sedang banyak pikiran. Aku membela diri sekenanya.

Ya, sudah. Aku mengerti. Nah, sekarang. Bawa monstermu ini ke Emirates Stadium segera. Kau tentu tidak ingin menyia-nyiakan pertandingan Arsenal lawan West Ham, kan?

Tentu saja. Aku akan megambil banyak gambar bagus seperti biasanya.

Nah, itu baru temanku. Roman menepuk bahuku.

Aku melajukan motorku di tengah keramaian lalu lintas. Yah, sebenarnya jalan yang aku lalui tidak begitu ramai. Keramaian dengan mudah aku lewati karena motor besarku. Tentu cukup mudah untuk melesat dengan satu unit Ducati Monster, iya kan?

Dalam waktu singkat, aku sudah mencapai stadion Emirates yang merupakan kebanggaan Arsenal. Dengan mudah aku mencapai tempat yang biasa aku tempati untuk mengambil gambar. Pinggir lapangan. Rupanya, disana salah satu rekanku sudah menunggu. Ronny Jackson namanya.

Dia adalah orang yang berbadan cukup besar. Dengan rambut gondrong berponi yang menutupi dahi. Hari ini, dia menenakan kaus polo merah dengan rompi coklat. Kedua tangannya menggenggam satu unit kamera dengan lensa tele.

Kau kalah. Ujarnya tiba-tiba.

Kalah? Apa maksudmu?

Lihat. Dia menunjukkan hasil jepretan kameranya. Rupanya dia sudah mengambil beberapa gambar luar biasa. Diantaranya adalah gambar Danny Welbeck yang sedang berebut bola denagan kiper West Ham Adrian di udara. Fantastis. Dibutuhkan timing akurat untuk mengambil gambar seperti itu.

Aku mendirikan tripod dan menyiapkan kameraku. Aku tidak akan menyerah tanpa melawan. Aku segera memotret para pemain. Bahkan aku mengambil gambar Arsene Wenger. Tapi, dalam melakukan pemotretan hari ini aku tidak bisa fokus. Entah kenapa, aku tidak bisa menghilangkan wajah wanita itu dari pikiranku. Biasanya, aku mudah melupakan gambar atau wajah yang aku lihat. Kecuali jika orang tersebut pernah berbicara denganku. Tapi, dalam kasus ini, entah kenapa muka orang ini selalu menghantuiku. Sebenarnya, aku hampir menabrak trotoar saat membawa motor tadi. Kenapa? Karena aku tidak bisa menghilangkan wajahnya. Lucu, ya.

Ronny mencengkram bahuku. Mengembalikanku ke kenyataan. Kau melamun saja, partner.

Iya, eh. Tidak. Aku kan ingin mengalahkanmu. Jadi, aku memotret sebanyak yang aku bisa.

Baiklah. Ronny menarik nafas. Bisa kau lihat dimana targetmu? Tanya mantan pemain rugby itu padaku.

Aku melihat lapangan dan tidak mendapati satu pemainpun disana.

Babak pertama sudah berakhir. Dan mereka sudah meninggalkan lapangan sekitar tujuh menit yang lalu. Ronny menjawab kebingunganku. "Terbukti kan, kau melamun.

Yah… mungkin. Aku mundur beberapa langkah dan rupanya tumitku membentur tas yang biasa aku bawa untuk membawa kamera. Tentu saja. Hal itu membuatku terjatuh. Untungnya kedua tanganku turun lebih dulu untuk menahan badanku.

Kau mungkin butuh istirahat. Ronny membantuku berdiri. Ayo kita minum. Disana. Pemuda gemuk dan tinggi itu menunjuk sebuah café tidak jauh dari stadion.

Disana, kami hanya menikmati secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar.

Terima kasih. Kau memang yang terbaik, Ron. Aku menyesap teh manis hangat itu perlahan.

My pleasure. Ronny menikmati segigit roti bakarnya. Sudah menjadi hobiku untuk berbagi.

Kalau soal sharing. Kaulah yang terbaik.

Haha. Benar. Terutama jika kau punya masalah. Dia mengangkat alis.

Maksudmu?

Aku tahu kau punya masalah, Adi. Matamu tidak akan berbohong. Apalagi kepadaku.

Aku memaksakan sebuah senyum. Yah, aku rasa aku tidak bisa menyembunyikan ini darimu.

Santai saja. Kalaupun kau tidak ingin cerita, itu pun tidak akan jadi masalah.

Tidak, tidak. Aku bersikeras. Kau harus tahu yang satu ini.

Baiklah. Ronny menikmati minuman hangatnya. Aku mendengarkan.

Kau memang baik. Aku membuka folder galeri pada handphone-ku dan menunjukkan beberapa gambar padanya. Dari sinilah semuanya bermula.

Ronny merebut handphone tipis itu dariku dan membesarkan gambarnya. Karena aku mengambil gambar itu dengan kamera, perbesaran gambar yang dilakukan Ronny tidak membuat gambarnya pecah. Cantik sekali. Siapa ini?

Aku tidak tahu. Aku melihatnya di pinggir jembatan beberapa hari yang lalu.

Menemukan. Ronny membeo. Sepertinya dia sedih sekali.

Aku rasa juga begitu.

Coba perhatikan. Apa yang kira-kira dilihat oleh gadis ini? Apa kau melihatnya juga?

Aku rasa dia melihat sebuah Silver Sturgeon di sungai. Dilihat dari pakaiannya, dia sepertinya hendak mengunjungi sebuah pesta di kapal itu.

Menarik. Ronny mengembalikan ponsel itu padaku. Jadi, sekarang wajah manis nan sedih ini selalu mengisi benakmu?

Aku mengangkat alis. Bisa dibilang seperti itu.

Sebenarnya ini kisah yang sudah sering terjadi. Tapi karena hal ini terjadi padamu, yang tidak pernah berbicara tentang cinta, hal ini jadi menarik.

Haha. Ujarku sekenanya. Terima kasih.

"Tidak. Aku serius. Apa yang akan

Menikmati pratinjau?
Halaman 1 dari 1